Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KSAU 2002-2005
Bergabung sejak: 25 Feb 2016

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Mencermati Satelit Komunikasi Pertahanan

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Stanislaw Tokarski
Ilustrasi satelit mengorbit planet Bumi.
Editor: Sandro Gatra

BERITA hangat belakangan ini yang beredar adalah tentang satelit komunikasi pertahanan.

Berawal dari pejelasan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan telah merugikan negara.

Kerugian itu muncul dalam format keputusan sidang arbiterase internasional yang mewajibkan negara membayar ratusan miliar rupiah.

Tuntutan tersebut datang dari berbagai pihak yang merasa dirugikan dalam proses pengadaan satelit komunikasi pertahanan itu.

Diketahui dalam proses pengadaan satelit komunikasi pertahanan tersebut terdapat sejumlah kontrak yang berkait dengan beberapa perusahaan antara lain Airbus, Détente, Hogan Lovelis dan Telesat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gugatan datang dari Avanti Communications Group di pengadilan arbiterase London dan dari pihak Navajo di pengadilan arbiterase Singapura.

Reaksi muncul dari berbagai pihak yang antara lain merespons pernyataan Menko Polhukam.

Di sisi lain Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin menjelaskan bahwa kejaksaan agung akan meningkatkan penyelidikan kasus ini ke tahap penyidikan dalam waktu dekat.

Sementara itu seorang peneliti BRIN mengutarakan bahwa munculnya persoalan ini telah menunjukkan adanya kelemahan dalam faktor pengawasan terhadap Kemhan dari Komisi I DPR RI.

Dalam hal ini, Komisi I DPR RI memiliki fungsi pengawasan terhadap pengelolaan anggaran di Kemhan.

Dari banyak berita yang beredar di media, diketahui konon permasalahan muncul ketika di tahun 2015, yaitu ketika satelit Garuda -1 keluar dari orbit 123 derajat Bujur Timur.

Dalam kasus ini, ternyata ada peraturan tata kelola satelit yang tercantum dalam organisasi PBB bernama ITU (International Telecommunication Union).

Peraturan tersebut antara lain menyebutkan bahwa negara yang telah mendapat hak pengelolaan satelit pada Orbit tertentu, apabila tidak digunakan dalam rentang waktu 3 tahun, maka slot orbit tersebut dapat digunakan oleh negara lain.

Artinya adalah hak Indonesia pada orbit itu menjadi hilang.

Nah, pada proses kontrak kontrak pengadaan satelit itulah, kurang jelas apa penyebabnya, terjadi permasalahan serius yang mengakibatkan Indonesia dituntut oleh para pihak melalui proses di International Arbitration.

Hal inilah yang disebut oleh Menko Polhukam sebagai merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Terlepas dari persoalan kerugian yang diderita negara sebagai akibat dari kontrak pengadaan satelit, kesimpulan sementara yang dapat di petik adalah, memang kita memiliki beberapa kelemahan dalam kasus ini.

Kelemahan yang sangat mendasar adalah bahwasanya Indonesia belum memiliki kemampuan membuat satelit komunikasi sendiri dan juga kemampuan mengorbitkannya.

Berikutnya adalah kelemahan sistem administrasi birokrasi dalam proses kontrak pengadaan satelit.

Selanjutnya terdapat kelemahan kita dalam memahami berbagai peraturan, ketentuan dalam tata kelola satelit pada jalur orbitnya di ruang angkasa.

Peraturan dan tata kelola satelit setidaknya akan beririsan atau bahkan merujuk langsung kepada ketentuan hukum internasional yang berlaku di udara dan ruang angkasa.

Dalam hal ini Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa atau yang dikenal sebagai International Air and Space Law.

Demikianlah, maka dalam coba memahami kerugian negara pada pelaksanaan proses kontrak pengadaan satelit komunikasi pertahanan dapat disoroti pada 3 kelemahan mendasar yang kita miliki.

Secara teknologis kita belum sepenuhnya menguasai technical know how mengenai satelit komunikasi dan pengelolaan jalur orbitnya.

Di sisi lain kita juga terlihat adanya indikasi kelemahan pada administrasi birokrasi proses pengadaan satelit komunikasi.

Selanjutnya dalam pemahaman tentang ketentuan dan aturan terutama pada International Air and Space Law, kita memang baru memiliki sedikit sekali personel profesional di bidang tersebut.

Terakhir dengan berat hati harus diakui bersama tentang sebuah realita bahwa kita saat ini tidak memiliki institusi National Space Agency pada tataran Strategis yang seyogyanya mengelola wilayah udara dan ruang angkasa Indonesia.

Mengelola dalam artian membuat perencanaan jangka panjang dalam manajemen penggunaan teknologi mutakhir yang berkaitan dengan dirgantara Indonesia sebagai sumber daya alam startegis, bagi kesejahteraan rakyat.

Kedepan kita akan banyak sekali berhadapan dengan kemajuan teknologi dirgantara sebagai tantangan dalam konteks National Prosperity dan sekaligus terutama sekali pada masalah masalah National Security.

Tantangan yang risikonya adalah menjurus kepada arah sebagai negara yang “tidak berdaya” pada tataran global.

Mencermati Satelit Komunikasi Pertahanan yang tengah kita hadapi bersama ini adalah sebuah gambaran utuh dari bayang-bayang ketidak berdayaan kita sebagai bangsa.

Sebuah peringatan atau wake up call bagi kita semua untuk mulai memberikan perhatian yang lebih besar lagi pada aspek kedirgantaraan nasional.

Sekali Dirgantara Nasional sebagai sumber daya alam yang kita miliki.

Mudah mudahan kita semua terbangun dan sadar atas wake up call kali ini, sehingga kita dapat terhindar untuk tidak menuju pada arah sebuah negara yang tidak berdaya. Semoga saja.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi