Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Panic Buying Minyak Goreng, YLKI Kritik Kebijakan Pemerintah dan Konsumen

Baca di App
Lihat Foto
kompas.com/REZA AGUSTIAN
Operasi Pasar minyak goreng murah di Kecamatan Johar Baru, yang digelar oleh Sinar Mas bersama Sudin PPUKM Jakarta Pusat, Senin (17/1/2022).
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Panic Buying terjadi setelah pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng satu harga di seluruh Indonesia Rp 14.000 per liter.

Masyarakat mendatangi toko-toko kelontong dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.

Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Sebagian masyarakat tidak kebagian.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini tanggapan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI):

Baca juga: Ahli: Subsidi Minyak Goreng Saja Tak Cukup, Harga Tinggi Bisa sampai Lebaran

Tanggapan YLKI

Melihat fenomena panic buying semacam ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang ada beberapa aspek yang perlu disorot.

Pertama adalah lemahnya pemahaman konsumen terkait panic buying.

"Edukasi dan kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan oleh semua pihak, berkaca dari banyak kejadian- sebelumnya," kata anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/1/2022).

"Panic buying bukan tindakan yang smart, baik dari sisi ekonomi dan sosial," lanjut dia.

Tak hanya di pihak konsumen, Agus juga melihat kebijakan yang dibuat pemerintah kurang spesifik dan lemah dalam pengawasan.

"Tidak ada yang salah dalam pemberian subsidi, namun jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat di lapangan, justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Agus.

Masalah yang dimaksud, misalnya adalah rentan terjadinya salah sasaran.

Kelompok yang semestinya mendapatkan manfaat subsidi justru kalah oleh kelompok lain yang lebih berdaya secara ekonomi.

"Subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran, sebab semua bisa mengakses dengan mudah. Potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi," terang dia.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Rp 14.000, Imbauan Mendag, dan Sanksi jika Nekat Menaikkan Harga

Menurut dia, persoalan semacam ini sudah sering terjadi, tetapi pemerintah tidak juga menjadikannya sebagai pelajaran untuk mengadakan program subsidi dengan aturan main dan pengawasan yang lebih baik.

"Gelontoran subsidi bisa dilakukan, tetapi dengan terget yang jelas, berapa masyarakat yang bisa mendapat manfaat ini. Dengan demikian perlu pengawasan yang kuat dalam implementasi," ujar dia.

Lemahnya mekanisme dan pengawasan ini lah yang menyebabkan panic buying dan penimbunan terjadi di masyarakat.

Selain itu, Agus menilai selama ini pemerintah juga kurang tepat dalam mengukur keberhasilan program subsidi yang dilakukan.

"Tolok ukur subsidi selama ini adalah berapa barang/Rupiah yang sudah digerojokan, bukan berapa banyak masyarakat terdampak yang menikmati subsidi," kata Agus.

Terakhir, Agus mengatakan selain memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, pemerintah hendaknya memikirkan solusi akhirnya, karena subsidi dinilai bukan jalan keluar atas tingginya harga suatu produk di pasaran.

"Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberiaan subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja," ujar Agus.

"Idealnya pemerintah mendiagnosis penyebab dari mahalnya minyak goreng, kemudian memberikan obat yang tepat," pungkas dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi