Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Harapan Ibu Kota Baru

Baca di App
Lihat Foto
Pixabay
Lanskap kota Brasilia, yang merupakan ibu kota negara Brasil sejak tahun 1960
Editor: Sandro Gatra

DI ALAM demokrasi wajar apabila segala sesuatu menimbulkan pro dan kontra masyarakat, termasuk pemindahan ibu kota.

Sebenarnya pemindahan ibu kota sama sekali bukan merupakan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia.

Sejarah

Dengan menyimak sejarah, maka dapat disadari Republik Indonesia sudah mengalami empat kali pemindahan ibu kota.

Pertama kali ibu kota negara kesatuan Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

Selanjutnya dari Yogyakarta ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948, kemudian pada tahun yang sama dipindahkan ke Bireun, Aceh, sebelum kembali lagi ke Jakarta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun beda dengan pemindahan ibu kota Indonesia pada abad XXI, empat kali pemindahan ibu kota pada abad XX tidak dilakukan dengan pembangunan ibu kota baru serta bukan berdasar alasan banjir dan kemacetan lalu-lintas.

Namun secara gawat-darurat demi keselamatan pemerintah dari ancaman angkara murka penjajah yang tidak rela melepas Hindia Belanda sebagai jajahan yang sangat menguntungkan untuk dihisap kekayaan alamnya.

Pemindahan Jakarta ke Nusantara bukan berdasar kepentingan gawat-darurat dalam waktu mendesak akibat tekanan eksternal.

Dana

Maka wajar ada kekhawatiran tersendiri tentang pembangunan ibu kota baru yang tidak dibutuhkan secara gawat-darurat.

Namun kekhawatiran bahwa pembangunan ibu kota baru yang jelas sangat mahal biaya itu akan makin menggerogoti keuangan negara yang seharusnya diberikan ke rakyat dalam menghadapi pagebluk Corona yang kini makin menggila sebagai Omicron, ditepis oleh kesaktian mandraguna Menteri Keuangan terbaik di dunia, DR. Sri Mulyani untuk menghimpun dana yang dibutuhkan.

Juga konon beberapa negara sahabat mau pun bukan sahabat sudah siap siaga untuk melakukan penanaman modal pada ibu kota baru yang namanya sudah diresmikan sebelum didirikan, yaitu Nusantara.

Naga-naganya pembangunan ibu kota baru memang potensial mendatangkan laba bagi pihak tertentu.

Juga menarik bahwa nama ibu kota memang beda dari kelaziman nama anak sehingga dapat dipastikan namanya sebelum dilahirkan.

Pembangunan ibu kota baru yang memakan waktu cukup berkepanjangan juga siap didayagunakan sebagai alasan kuat memperpanjang masa jabatan pemerintahan yang secara konstitusional berakhir pada tahun 2024.

Mumpung konstitusi masih bisa diubah sesuai kebutuhan.

Harapan

Sebagai rakyat jelata awam pembangunan apalagi pembangunan ibu kota baru, saya hanya berhak asasi mengharapkan dua harapan.

Harapan pertama pembangunan ibu kota baru ditatalaksanakan sesuai agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati para anggota PBB termasuk Indonesia sebagai pedoman pembangunan abad XXI tanpa merusak alam dan tanpa menggusur masyarakat adat yang sudah terlebih dahulu bermukim dan hidup bersama hutan yang dibumiratakan sebagai lahan pembangunan ibu kota baru.

Harapan ke dua adalah agar tidak keliru membangun seyogianya pemerintah Indonesia berkenan menyimak demi memetik pelajaran dari negara lain yang telah melakukan pemindahan dan/atau pembangunan ibu kota baru.

Seperti yang telah sukses dilakukan oleh Jerman dalam memindah ibu kota Jerman Barat di Bonn (kembali) ke Berlin sebagai ibu kota Jerman Bersatu.

Brasil yang memindah ibu kota dari Rio De Jainero ke Brasilia yang kini menjadi warisan kebudayaan dunia versi UNESCO dengan alasan mirip Jakarta ke Nusantara, yaitu kemacetan lalu-lintas.

Nigeria dari Lagos ke Abuja, Belize dari Belize City ke Belmopan. Pakistan dari Karachi ke Islamabad. Kazakstan dari Almaty ke Astana.

Selain itu Uni Sovyet dari Petersburg ke Moskow mau pun Malaysia dari Kuala Lumpur ke Petaling Jaya.

Namun jika boleh saya harapkan selama mengharap belum dilarang secara konstitusional, Insya Allah, para pembangun ibu kota baru Nusantara jangan, sekali lagi jangan meniru pembangunan ibu kota baru Myanmar menggantikan Yangon, yaitu Naypyidaw.

Naypyidaw kini lalu-lintasnya bukan hanya sama sekali tidak macet, namun bahkan mubazir kosong melompong sehingga oleh berbagai pihak diberi julukan Kota Hantu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi