Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Lampion, Tebu dan Terong Susu yang Mewarnai Imlek

Baca di App
Lihat Foto
Unsplash/Nigel Tadyanehond
Memasang lampion adalah salah satu tradisi Imlek yang lestari hingga kini
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Imlek selalu sarat dengan tradisi, selain tarian barongsai, ada pula lampion-lampion cantik yang digantungkan di teras rumah dan terong susu yang dijadikan hiasan ruangan di samping bunga meihua.

Di Semarang sendiri ada perayaan rutin bernama Pasar Imlek Semawis yang digelar setiap tahun selama tiga hari dua malam menjelang Imlek.

Namun karena pandemi, Pasar Imlek Semawis untuk sementara ditiadakan dahulu, terhitung sejak tahun lalu yaitu 2021. 

Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata atau Kopi Semawis, meniadakan gelaran rutin ini karena Pasar Imlek Semawis dinilai sangat bisa memancing kerumunan sehingga bisa memicu penyebaran Covid-19.

Meski Pasar Imlek Semawis ditiadakan, namun masyarakat Tionghoa tetap merayakan Imlek dengan cara menggelar ibadah, memasang patung shio dan juga lampion.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua Kopi Semawis, Harjanto Halim, mengatakan kepada Kompas.com, Sabtu (29/01/2022) pagi, bahwa berbagai ritual dan tradisi Imlek tetap dijalankan di masing-masing rumah masyarakat Tinghoa.

Baca juga: Sejarah Imlek di Indonesia: 32 Tahun Dilarang Soeharto, Aturan Dicabut Gus Dur

Beragam tradisi Imlek

Tradisi Imlek tak terhitung banyaknya, begitulah menurut Harjanto Halim. Dan tradisi ini bisa berbeda-beda dari satu rumah dengan rumah lainnya.

"Saya sendiri berasal dari suku Hokkian, jadi saya memiliki tradisi yang mungkin berbeda dengan suku Tinghoa lainnya," papar Harjanto.

Perbedaan tradisi ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari perbedaan suku, hingga tradisi di dalam keluarga masing-masing yang menurun dari generasi ke generasi.

Jadi di hari Imlek, akan ada banyak tradisi yang mewarna rumah-rumah masyarakat Tionghoa.

Mulai dari tradisi membasuh kaki orang tua, tradisi memasang tebu di depan rumah, tradisi berburu dan memasang terong susu, tradisi sungkem dan memohon maaf kepada para orang tua, hingga tradisi menyuapi makanan. 

Menurut Harjanto, semua tradisi memiliki pemaknaan masing-masing, mulai dari cerita legenda hingga segi estetika.

"Namun esensinya sama sebenarnya, yaitu bahwa tradisi-tradisi itu bertujuan mempererat jalinan keluarga dan kekerabatan, menghangatkan isi rumah," ujar CEO dari PT. Marimas Putera Kencana ini.

Baca juga: Libur Imlek 2022 Tanggal Berapa? Ini Ketentuan SKB 3 Menteri

Lampion, tebu dan terong susu

Hampir semua tradisi dan ornamen Imlek memiliki pemaknaan sendiri-sendiri.

Barongsai misalnya, ternyata tak hanya atraksi untuk menarik kerumunan saja. Di dalamnya terkandung makna sebuah perlawanan teguh manusia melawan kekuatan roh jahat.

Oey Eng Tek atau Sutikno Wiro Utomo, perajin barongsai asal Semarang, memaparkan bahwa lahirnya barongsai didasari pada cerita rakyat Tinghoa di musim dingin menjelang pergantian tahun.

Di musim dingin tersebut, masyarakat Tionghoa terancam dengan kehadiran makhluk menyeramkam yang bernama Nian, bertanduk lima dan memiliki seringai gigi tajam, yang selalu datang di malam pergantian tahun.

Perlawanan terhadap Nian ini dilambangkan dengan warna merah yang melambangkan keberanian, yang ditingkahi suara tambur juga petasan gaduh yang bertujuan menakut-nakuti Nian.

Baca juga: Asal Muasal Tradisi Cap Go Meh, Dirayakan 15 Hari Setelah Imlek

Selain barongsai, ada pula tradisi lain yang tak kalah menariknya, yaitu memasang lampion, terong susu dan juga tebu.

Soal lampion, Harjanto Halim menyatakan bahwa ada pergeseran fungsi di sini, dari fungsional, menjadi estetik, kemudian menjadi ritual.

"Lampion dulunya ya digunakan sebagai penerangan sebelum ada listrik. Kemudian jadi hiasan khas dengan warna merah menyala. Warna merah dipilih karena melambangkan kebahagiaan."

Warna merah juga dipilih menjadi selubung lampion karena membuat pendaran cahaya menjadi lebih indah, hangat dan temaram.

Sedangkan pemasangan tebu, hingga kini masih dianut oleh beberapa masyarakat suku Hokkian. Tebu sendiri adalah lambang penyelamat.

Dulu, tepat di pergantian tahun, suku Hokkian justru tak merayakan Imlek karena sibuk bersembunyi dari kejaran musuh. Mereka masuk ke kebun tebu untuk bersembunyi, dan baru keluar di hari ke-8 di tahun baru.

Hingga kini masyarakat suku Hokkian masih banyak yang memasang tebu di depan pintu rumah, satu di sisi kanan dan satu lagi di sisi kiri.

Tradisi lain yang juga menarik adalah pemasanan terong susu. Terong ini memiliki bentuk yang khas, berwarna kuning dengan tonjolan-tonjolan di bagian bawah mirip puting susu.

Terong susu melambangkan kemakmuran dan keberlimpahan. Menjelang Imlek, beberapa buah terong susu akan ditata di dekat pohon meihua, di samping ornamen-ornamen meriah angpau merah.

Baca juga: Penyebab Selalu Turun Hujan Menjelang dan Saat Imlek

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi