Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
COLLECTIE TROPENMUSEUM
Gerbang kehormatan Tionghoa di Kesawan saat perayaan 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina ada September 1923.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Media sosial tengah diramaikan dengan istilah "Chindo" atau singkatan China Indonesia atau Chinese Indonesia.

Hal itu untuk menyebut warga keturunan China atau Tionghoa Indonesia.

Seperti diketahui, warga keturunan China atau Tionghoa Indonesia cukup banyak jumlahnya.

Baca juga: Sejarah Imlek di Indonesia, dari Zaman Jepang, Orde Baru sampai Gus Dur

Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia

Menurut Goodstats.id, ada 7.670.000 diaspora China di Indonesia. Nomor dua terbanyak setelah Thailand yaitu 9.300.000.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebaran orang China yang dimaksud adalah "Diaspora China” atau Orang China perantauan, yakni orang-orang dengan keturunan China yang menetap di luar China.

Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di China dan berdarah China yang menjadi warga negara tetap atau menetap sementara di negara asing.

Thailand dan Indonesia menjadi negara dengan diaspora China terbanyak, masing-masing mencatat angka 9,3 juta dan 7,6 juta jiwa. Sebagian besar diaspora China tersebar di kawasan Asia Tenggara.

Dikutip dari National Geographic Indonesia, catatan sejarah juga merekam gelombang besar kedatangan Tionghoa dari abad ke-18 hingga abad ke-20.

Pada masa kolonial Belanda, banyak orang Tionghoa yang datang sebagai buruh perkebunan atau pekerja tambang timah. Migrasi ini mencapai puncaknya pada perempat awal tahun 1900-an, dengan masuknya sekitar setengah juta etnis Tionghoa ke Hindia-Belanda.

Dalam gelombang migrasi tersebut, terjadi pula proses peleburan dan kawin campur. Demograf M. Sairi Hasbullah menyebutkan bahwa migran Tionghoa di awal abad ke-20 sangat didominasi oleh laki-laki yang menjadi pekerja migran.

Berdasarkan sensus Hindia-Belanda tahun 1930, rasio jenis kelamin penduduk Tionghoa adalah 155 laki-laki berbanding 100 perempuan.

Baca juga: Arkeolog Temukan Baju Perang Kuno Berusia 2.500 Tahun di China

Suku bangsa terbesar kelima belas di Indonesia

Dari hasil sensus 2000, tercatat bahwa orang Tionghoa merupakan suku bangsa terbesar kelima belas di Indonesia.

Terdapat 1.738.936 penduduk yang mengaku sebagai orang Tionghoa, yang mencakup 0,86 persen dari seluruh penduduk Indonesia.

Angka persentase ini menurun jika dibandingkan dengan sensus tahun 1930. Pada sensus tersebut, tercatat bahwa orang Tionghoa mencakup 2,03 persen dari penduduk Indonesia, atau sekitar 1.233.000 jiwa.

Penurunan ini kemudian dikaji oleh para demograf. Mereka menyimpulkan bahwa banyak orang yang menolak mengaku dirinya sebagai Tionghoa.

Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru membuat banyak orang Tionghoa yang menanggalkan identitas etniknya.

Sepuluh tahun berselang, populasi orang Tionghoa kembali dihitung pada tahun 2010. Hasil sensus tersebut menyebutkan bahwa populasi Tionghoa mencapai 2.832.510 jiwa, atau sekitar 1,2 persen dari penduduk Indonesia.

Baca juga: Sejarah Mi, Lahir di China ataukah Italia?

 

Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia

Gelombang imigrasi dari utara

Kedatangan etnis Tionghoa ke Hindia Belanda tak lepas dari jatuh bangunnya dinasti-dinasti di China yang telah memicu gelombang emigrasi orang Tionghoa ke selatan, terutama ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Dikutip dari paparan Dosen Fakultas Teknik Universitas Kristen Immanuel FX Sugianto, selama masa kejayaan Dinasti Ming di awal abad ke-15, ada tujuh ekspedisi besar yang dilakukan di seluruh dunia. Salah satunya yang dipimpin oleh Sam Po (Cheng Ho), berhasil mengunjungi Palembang (Sumatera Selatan).

Dilaporkan bahwa Sam Po membawa ratusan pekerja Tionghoa termasuk sejumlah besar orang Muslim Yunan.

Setelah berhasil menduduki Palembang, Sam Po membangun komunitas Muslim Tionghoa pertama di Indonesia.

Kemudian sejumlah masyarakat Muslim Tionghoa secara berturut-turut dibangun di berbagai tempat di Indonesia antara lain Batavia, Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik dan Mojokerto. Inilah awal tumbuhnya komunitas Muslim Tionghoa di Indonesia.

Baca juga: Sejarah Tahun Baru Imlek dan Gelar Bapak Tionghoa Indonesia untuk Gus Dur

Penyebaran Islam di Indonesia

Sambil membangun komunitas Muslim di banyak tempat, orang Tionghoa mulai mengambil bagian dalam kehidupan komunitas Kerajaan Majapahit saat itu.

Ratu Suhita pernah mengangkat Gan Eng Wan menjadi Kepala Daerah Muslim pertama di Tumapel, sebuah wilayah kecil di dalam Kerajaan Hindu itu.

Antara 1451-1477 Bong Swi Hoo, kemudian disebut Sunan Ampel, berhasil membentuk komunitas Muslim Jawa di pantai utara Jawa.

Sementara itu, Swan Liong, putra Raja Wisesa (Raja Majapahit) dan istrinya yang Tionghoa, diangkat menjadi Kapilen (pemimpin lokal) Islam pertama di Palembang. Dilaporkan bahwa Swan Liong telah membesarkan Djin Bun (Raden Patah), putra Raja Kertabumi (raja terakhir Majapahit) dengan istrinya yang beretnis Tionghoa.

Pada tahun 1475 Raden Patah dikirim oleh Sunan Ampel kembali ke Jawa dan ditempatkan di Demak. Pada tahun yang sama ia mengambil alih Majapahit, dan menyatakan dirinya sebagai Raja Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Dalam upaya mereka membangun masjid, orang Tionghoa baik yang berlatar belakang Muslim maupun non-Muslim terlibat karena keahlian mereka dalam pembuatan tiang kapal. Dengan demikian, gelombang pertama Cina telah membawa gaya hidup mereka yang penuh warna ke kehidupan dinasti dan berkontribusi pada komunitas Muslim di Jawa.

Baca juga: Pembantaian Geger Pecinan 1740 dan Perlawanan Bangsa Tionghoa ke VOC

Orang Tionghoa di Kerajaan Jawa

Di seluruh Kerajaan Islam di Jawa, orang Tionghoa memainkan peran penting, yaitu sebagai penasihat perdagangan dan militer.

Masuknya VOC (Perusahaan Belanda yang melegenda) ke Indonesia telah menggeser peran Tionghoa menjadi mediator, pemegang sewa barang-barang kerajaan atau gerbang tol.

Kedekatan etnis Tionghoa dan Kerajaan Jawa juga dibuktikan dengan dukungan Lasem dan Rembang Kapiten (pemimpin lokal) kepada Raden Rangga dalam usahanya mengalahkan Belanda di Rernbang dan Surabaya pada tahun 1310.

Hubungan erat ini akhirnya mencapai titik balik dengan diangkatnya Ka iten Tan Jin Sing (atas jasanya yang terpuji) sebagai Bupati Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat (KRT Secodningrat) di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III.

Dalam perannya sebagai perwira tinggi kerajaan, Secodiningrat menjadi sombong, sehingga menimbulkan rasa sakit hati di antara perwira kerajaan lainnya.

Meninggalnya Sultan Hamengkubuwono III pada tahun 1814 (setelah memerintah hanya dua tahun) memaksa Secodiningrat dan keluarganya meninggalkan jabatan tinggi mereka dan pensiun dengan uang pensiun. Sejak saat itu benih-benih kecurigaan terhadap etnis Tionghoa mulai tumbuh.

Baca juga: Oei Ing Kiat, Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning

 

Orang Tionghoa selama Gerakan Nasional

Selama pendudukan Belanda di Indonesia, orang Tionghoa juga terlibat dalam sejumlah masalah sosial dan politik. Namun, mereka cenderung lebih terlibat dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan.

Dalam urutan menurun, ada tiga tingkat Kewarganegaraan, yaitu 1) Belanda, 2) Asia Timur termasuk Etnis Tionghoa dan 3) Pribumi.

Asimilasi (perkawinan campuran) antara kelompok yang berbeda tidak dianjurkan karena akan menurunkan tingkat kewarganegaraan yang dinikmati oleh orang dari kelompok tingkat yang lebih tinggi.

Meskipun orang Tionghoa telah lama didiskriminasi oleh Belanda, mereka cukup senang dengan peran mereka sebagai mediator yang memberi mereka monopoli perdagangan.

Ketika Kebijakan Etis diperkenalkan di Belanda pada pergantian abad yang lalu, orang-orang Tionghoa secara bertahap kehilangan hak-hak istimewa mereka. Upaya mereka untuk menuntut persamaan hak tidak pernah berhasil.

Pada saat itu orang-orang China berada dalam limbo. Mereka hampir kehilangan identitas mereka sendiri. Saat ini, dorongan nasionalisme yang melanda China daratan yang menggelitik di lubuk hati mereka dan diamati secara tajam oleh etnis Tionghoa di Indonesia.

Oleh karena itu, organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) didirikan pada tahun 1900. Semangat organisasi ini didasarkan pada ajaran Khonghucu; dan nasionalismenya adalah nasionalisme China daratan. THHK menolak keterlibatannya dalam Volksraad (Parlemen pada masa pendudukan Belanda).

Kelompok Tionghoa dengan latar belakang pendidikan Belanda menolak semangat dan tujuan THHK. Oleh karena itu, Cung Hwa Hui (CHH) didirikan pada tahun 1928. CHH memperjuangkan hak yang sama dengan warga negara Belanda di Parlemen.

Para anggotanya cenderung meninggalkan budaya nenek moyang mereka dengan keyakinan bahwa itu harus diganti dengan budaya generasi baru dengan sentuhan Belanda yang mempengaruhi pola pikir mereka.

Kelompok Tionghoa lain yang terlibat dengan nasionalisme Indonesia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.

Partai ini memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia dan mempromosikan upaya integrasi dan/atau asimilasi ke dalam komunitas pribumi.

Hal ini untuk menjawab kebutuhan orang Tionghoa yang aspirasinya tidak dapat disalurkan melalui partai lain (karena pada saat itu sebagian besar partai tidak menerima keanggotaan nonpribumi).

Oleh karena itu, ada spektrum keterlibatan etnis Tionghoa selama pergerakan nasional. Masalah Etnis Tionghoa ada sepanjang sejarah Indonesia.

Baca juga: Peran Tionghoa dalam BPUPKI

 

Etnis Tionghoa setelah Kemerdekaan

Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangsa yang baru lahir, Republik Indonesia, harus menghadapi berbagai tantangan fisik internal dan eksternal, yaitu kembalinya pasukan Belanda (1947 dan 1949) dan sejumlah pemberontakan.

Sebagai negara baru yang memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan fisik, Indonesia harus menghadapi perang saudara pada tahun-tahun pertamanya.

Setiap kelompok mengklaim bagian yang lebih besar dalam gerakan kemerdekaan dan memandang rendah kelompok lain. Kontribusi etnis Tionghoa, bagaimanapun, ditolak karena mereka tidak terlibat secara aktif dalam
gerakan kemerdekaan.

Menyadari pentingnya penyelesaian masalah Tionghoa, maka Badan Pemusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan pada tahun 1954 dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan etnis Tionghoa dengan secara aktif mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Meski bukan partai politik, Baperki pernah mengikuti pemilihan umum pertama tahun 1955. Sangat disayangkan Baperki sedikit demi sedikit bergeser ke kiri seiring dengan perubahan iklim politik, dan akhirnya dibubarkan terkait kudeta komunis
pada 30 September 1965.

Fakta bahwa Baperki tidak dapat membawa kerukunan nasional (ditunjukkan dengan banyaknya kerusuhan anti-China), dan untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari Undang-Undang Kewarganegaraan Ganda dan Peraturan Pemerintah No.10, LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa / Badan Rekonsiliasi Nasional) ) didirikan pada tahun 1963 dengan tujuan yang sama seperti badan-badan sebelumnya tetapi dengan pendekatan yang berbeda.

Menurut kelompok ini, cara yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan Etnis Tionghoa adalah dengan asimilasi dalam bentuk perkawinan campuran, penggunaan nama Indonesia atau memeluk agama mayoritas.

Ketegangan antara LPKB dan Baperki atas pendekatan mereka yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama semakin memburuk hingga organisasi yang terakhir dibubarkan.

Baca juga: Kiprah Keturunan Tionghoa dalam Sumpah Pemuda...

 

Etnis Tionghoa setelah 30 September 1965

Kudeta komunis yang gagal pada tanggal 30 September 1965 mengakibatkan pembubaran Baperki dan perpecahan diplomatik antara Indonesia dan China. Ada dugaan keterlibatan pemerintah China dalam kudeta tersebut.

Menyusul pembekuan hubungan diplomatik antara kedua negara, kerusuhan anti-China di seluruh negeri melonjak. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan bahasa serta tradisi Tionghoa dilarang. Lagi-lagi, orang Indonesia Tionghoa harus melalui terowongan gelap mereka.

Pasca kudeta inilah istilah China (untuk menyebut etnis Tionghoa) resmi digunakan kembali setelah ditinggalkan sejak tahun 1928. Sejak istilah China diperkenalkan oleh peradaban Barat (yang pernah mengoyak-ngoyak China), istilah itu mengandung makna. penghinaan terhadap orang-orang karena tersirat orang pedalaman atau pribumi atau tidak beradab .

Etnis Tionghoa pada masa Orde Baru 1966-1998

Terlepas dari luka yang terus sembuh, orang Tionghoa secara bertahap diundang dan terlibat dalam periode pembangunan nasional jangka panjang, Rencana Pembangunan Semesta Berencana.

Keterlibatan mereka dalam produksi ekonomi nasional meningkat pesat. Secara teoritis, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di bawah hukum. Namun, dalam praktiknya mereka masih didiskriminasi dalam satu atau lain cara.

Kisah sukses kelompok Tionghoa tersebut membangun kecemburuan sosial di antara mayoritas penduduk. Kerusuhan rasial sporadis dilaporkan di bawah pemerintahan orde baru, tetapi mereka berhasil ditekan atas nama pembangunan nasional.

Ketegangan rasial ini mencapai klimaksnya pada Mei 1998 sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto.

Era Reformasi

Dikutip dari Kompas.com (25/1/2020), pada masa Reformasi, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diangkat menjadi presiden ke-4 dan membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa.

Hal tersebut ditandai dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Bahkan Gus Dur sempat menjadi saksi dan secara lantang membela pasangan Tionghoa yang ingin menikah namun ditolak oleh kantor catatan sipil yang merupakan institusi legal negara dalam pengesahan pernikahan.

Kebijakan Gus Dur kemudian disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek sebagai hari Libur Nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.

Keppres tersebut berisi menghapus istilah China dengan kembali ke etnis Tionghoa. Sampai saat ini Tahun Baru Imlek telah diakui kembali.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Imlek, Kemeriahan yang Dulu Terlarang

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi