KOMPAS.com - Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day (WLD) diperingati setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari.
Menurut informasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hari Kusta Sedunia menjadi momentum untuk menghormati orang-orang yang pernah mengidap kusta.
Termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit kulit ini, dan mengajak semua pihak untuk berhenti menstigma dan mendiskriminasi penderita kusta dalam kehidupan sosialnya.
Sebab penderita kusta seringkali dikucilkan, mendapat beragam stigma bahkan perlakuan diskriminatif.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Stigma Bagi Penderita Kusta
Apa itu penyakit kusta?
Kusta atau yang di dunia barat juga dikenal sebagai penyakit Hansen adalah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
M leprae ini berkembang biak dengan lambat dan memiliki masa inkubasi rata-rata selama 5 tahun.
Namun, gejala kusta sudah dapat ditemui di tahun pertama inkubasi dan dapat berlangsung hingga 20 tahun bahkan lebih.
Penyakit ini paling terlihat mempengaruhi kulit. Namun, selain kulit, kusta juga menyerang saraf perifer, permukaan mukosa, saluran pernapasan bagian atas, dan mata.
Di area kulit, kusta akan terlihat menyerupai panu, bahkan yang lebih parah kusta bisa terlihat seperti kutil yang menutupi sebagian area permukaan kulit badan juga wajah.
Bagaimana penularan kusta?
Kusta bisa terjadi pada semua rentang usia mulai dari bayi hingga lansia.
Penyakit ini kemungkinan ditularkan oleh penderita kusta yang tak terobati kepada orang lain saat keduanya menjalin kontak dekat.
Penularan bisa terjadi melalui tetesan cairan tubuh baik yang keluar dari hidung maupun mulut.
Baca juga: Banyak Mantan Penderita Kusta Mengemis di Jalanan Kota Medan, Mengeluh Butuh Obat-obatan
Bisa kah kusta disembuhkan?
Meski cukup berbahaya, namun kusta dapat disembuhkan. Bahkan, pengobatan yang dilakukan sejak awal dapat mencegah seorang penderita kusta mengalami kecacatan.
Proses pengobatan yang dimaksud salah satunya menggunakan terapi multiobat.
Sejak 1940-an ditemukan metode pengobatan kusta dengan mengembangkan obat bernama dapson.
Sayangnya, 20 tahun kemudian M. leprae mulai mengembangkan resistensi terhadap dapson, satu-satunya obat anti-kusta yang diketahui pada waktu itu.
Ini membuat para ahli berlomba segera menemukan obat yang tepat.
Dalam kondisi itu, rifampisin dan klofazimin ditemukan dan kemudian ditambahkan ke dalam daftar pengobatan kusta. Ini lah yang disebut sebagai terapi multiobat atau multi.
Pada 1981 WHO merekomendasikan terapi multiobat dilakukan dengan menggunakan sejumlqh jenis obat yang terdiri dari: dapson, rifampisin, dan clofazimine.
Durasi pengobatan kusta memang memakan waktu tahunan, bahkan seringkali seumur hidup.
Ini membuat penderitanya banyak juga yang tidak mematuhi atau melakukan pengobatan sebagaimana mestinya.
Padahal, apabila kusta tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan progresif dan permanen pada kulit, saraf, anggota badan, juga mata penderitanya.
Baca juga: Mengenal Penyakit Kusta, Penyebab, dan Seberapa Parah Bisa Menularkan
Kasus kusta di dunia
WHO melalui laman resminya mengemukakan pada tahun 2020 mendeteksi adanya 127.558 kasus kusta baru di dunia.
Kasus-kasus tersebut datang dari 139 negara yang tersebar di 6 wilayah kerja WHO, yakni Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Eropa, Mediterania Timur, dan Pasifik Barat.
Dari total kasus baru yang dikonfirmasi, 8.629 di antaranya terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun.
Sejauh ini kasus kusta usia anak terjadi di tiap 4,4 dari satu juta anak.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Stigma Bagi Penderita Kusta
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.