Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Minyak Goreng di Negara Produsen Sawit Terbesar di Dunia

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Sejumlah warga antre membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022). Operasi pasar minyak goreng murah yang dijual dengan harga Rp14 ribu per liter tersebut digelar sebagai upaya menstabilkan lonjakan harga minyak goreng.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Indonesia menjadi negara penghasil sawit terbesar di dunia.

Hal itu membuat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku heran dengan kenaikan harga minyak goreng dalam beberapa waktu terakhir. 

Minyak goreng merupakan bahan yang dapat diolah di dalam negeri. Di Indonesia minyak goreng merupakan produk turunan dari minyak sawit (CPO).

Dengan kondisi tersebut, Indonesia seharusnya dapat menentukan harga minyak goreng domestik. Namun harga minyak goreng di Indonesia justru berpatok pada harga internasional.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional," kata Ketua Harian YLKI Tulus Abadi dikutip Kompas.com, Minggu (13/2/2022).

Baca juga: Alasan YLKI Bikin Petisi Online: Bongkar Dugaan Kartel Minyak Goreng

Petisi online

YLKI saat ini sedang menggalang sebuah petisi terkait langkanya minyak goreng beserta harganya yang mengalami kenaikan.

Sejak dibuka pada 3 Februari lalu, hingga hari ini laman change.org, Minggu (13/2/2022) pukul 12.41 WIB sudah ada 2.740 orang yang menandatangani secara online.

Melansir Kompas.tv, Ketua YLKI Tulus Abadi menjelaskan alasannya membuka petisi online tersebut. Semua alasan tersebut mengarah pada anomali, yakni tingginya harga minyak goreng di negara produsen sawit terbesar dunia.

Sejak dari hulu

Menurut Tulus, melambungnya harga minyak goreng sudah terjadi sejak dari hulu.

"Pertama, kelangkaan dan melambungnya minyak goreng bukan persoalan hilir, tetapi hulu," kata Tulus.

Tulus menjelaskan bahwa upaya pemerintah untuk memberikan subsidi dari hilir yang digelontorkan melalui produsen minyak dinilai kurang tepat.

Hal tersebut membuat uang negara yang dikucurkan tidak membuat penurunan harga di lapangan. Namun yang terjadi justru minyak goreng mengalami kelangkaan.

"Dan terbukti sampai detik ini apa yang digagas pemerintah belum membuahkan hasil," ujarnya.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Belum Turun, Ini Penjelasan Pemerintah

 

Dugaan kartel minyak goreng

Selain itu, petisi online yang digalang YLKI untuk mendorong percepatan penyelidikan terhadap dugaan kartel, dan bentuk persaingan tidak sehat dalam minyak goreng oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

"Setelah kami petisi, memang kami baca di media jika kemudian KPPU ikut bergerak untuk melakukan pemanggilan terhadap para pelaku usaha yang diduga melakukan praktek-praktek kartel tersebut," ungkap Tulus.

Selanjutnya, petisi tersebut juga digunakan untuk menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah di sisi hilir tidak tepat.

Tak hanya itu, petisi online sebagai sarana melibatkan publik sebagai konsumen minyak goreng dalam mendorong adanya perubahan kebijakan atau policy change.

"Perubahan ini tanpa melibatkan publik itu menjadi sebuah upaya yang kurang kuat, hingga petisi online itu kami lakukan untuk menciptakan kecerdasan publik dalam isu-isu publik seperti minyak goreng ini," jelasnya.

Baca juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Valentine 14 Februari 2022

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi