Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Flexing? Ramai Disebut di Media Sosial dan Apa Tujuannya?

Baca di App
Lihat Foto
Youtube KompasTv
Flexing adalah istilah yang digunakan untuk pamer kekayaan di media sosial
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Flexing adalah istilah yang digunakan untuk seseorang yang sering pamer kekayaan. 

Dengan adanya media sosial membuat fenomena flexing jadi makin marak. Apabila sebelumnya pamer dianggap tabu, dilarang, dan tidak pantas, tapi kini jadi hal yang umum.

Beberapa hal yang sering dipamerkan seperti saldo ATM, uang yang bertumpuk, pakaian mahal, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mewah lainnya.

Maka belakangan muncul istilah, sultan dan crazy rich.

Baca juga: Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tujuan flexing

Melansir Kompas.com, flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.

Menurut pakar bisnis Rhenald Kasali, flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.

Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka akan menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain.

Hal itu bertujuan agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan pembicara.

Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka.

Alih-alih promosi diri malah mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri, tandas Rhenald Kasali.

"Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi masih banyak strategi lain yang "jauh lebih baik" dibanding flexing berlebihan," kata Rhenald.

Baca juga: Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Siasat Licik VOC Memecah Mataram

 

Flexing: pamer

Sementara itu, psikolog klinis personal Growth Stefany Valentina mengatakan, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer.

Baca juga: Media Sosial: Senjata Ampuh Lawan Pelaku Kejahatan

Dari sisi psikologis, Stefany menyebut orang pamer bisa jadi karena dua alasan.

Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.

"Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat," kata Stefany saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/2/2022).

Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship.

Ia menuturkan, flexing masih dianggapnormal selama masih dalam batas wajar.

Baca juga: Marak Perang Tagar di Media Sosial, Efektifkah Pengaruhi Persepsi Publik?

Flexing dan menghargai keberhasilan

Sebab Stefany juga menyebut flexing merupakan salah satu cara untuk menghargai keberhasilan seseorang, tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan secara berlebihan.

"Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak," jelas dia.

"Misalnya habis selesai kuliah terus bisa lulus, terus memamerkan itu kan boleh aja, sebagai salah satu bentuk apresiasi diri juga. Jadi tak melulu dimaknai negatif," tambahnya.

Stefany menjelaskan, selama barang yang dipamerkan adalah milik pribadi dan hasil pencapaian diri, itu merupakan hal yang wajar.

Akan tetapi, apabila flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan dirinya, justru ia tidak akan mengatasi akar masalahnya.

"Jadi kaya cuma menutupi insecurity itu dengan pamer. Lama-lama mungkin orang di sekitar jadi tidak suka dengan dia," ujarnya.

Baca juga: Ramai Tren “Healing”, Apa Itu? Ini Penjelasan Psikolog

 

Cuek saat ada yang flexing

Bagi orang lain yang kerap melihat fenomena flexing berle di media sosial, bersikap cuek bisa menjadi pilihan yang tepat.

"Artinya, yang bisa ditiru dalam hal positif, ya tiru. Tapi kalau kurang baik, jangan ikuti. Jangan sampai apa yang dilakukan orang lain, tapi kita yang kena dampaknya," kata dia.

"Kalau itu jadi memotivasi diri kita ya bagus, tapi jangan sampai kita malah membanding-bandingkan diri terus kitanya malah jadi down," tutupnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi