Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Je Pence, Donc Je Suis

Baca di App
Lihat Foto
DOK. PRIBADI
Jaya Supradi
Editor: Sandro Gatra

SATU dari sekian banyak ujar-ujar yang paling popular maka paling sering di-quote adalah yang diujarkan oleh matematikawan merangkap filosof Perancis abad XVII Rene Descrates “cogito, ergo sum” yang lazim diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “aku berpikir maka aku ada”.

Cogito, ergo sum merupakan unsur fundamental filsafat Barat sekaligus sebagai landasan bekal ilmu pengetahuan dalam menghadapi kehakikian radikalisme keraguan.

Sementara ilmu pengetahuan berperan sebagai imajinasi, desepsi serta kekeliruan, Descrates meyakini bahwa keraguan seseorang terhadap dirinya sendiri dapat berfungsi sebagai bukti kenyataan pemikiran diri sendiri, maka seharusnya ada entitas pemikiran tentang kehadiran apa yang an sich disebut sebagai pemikiran.

Semula Descrates tidak menggunakan istilah berbahasa Latin yang kini dikenal sebagai cogito, ergo sum tersebut.

Agar bisa lebih dimengerti masyarakat awam pada masanya, maka pertama kali di dalam buku Discourse (1637) Descrates menggunakan bahasa ibunya, yaitu Perancis je pense, donc je suis dengan catatan kaki “kita mustahil meyakini eksitensi diri kita sendiri sementara kita sendiri meragukannya”.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemudian Descrates mengungkap kalimat dalam bahasa Latin lebih berkepanjangan, yaitu dubito, ergo sum, vel, quod idem est, cogito, ergo sum yang apabila dipaksakan dialihbahasakan ke Indonesia kira-kira menjadi “saya merasa ragu maka saya ada yang berarti sama saja saya berpikir maka saya ada”.

Pada tahun 1765, Antoine Léonard Thomas menulis sebuah esai mengenang Descrates dengan mempersingkat ujar-ujar Descrates menjadi dubito, ergo cogito, ergo sum (saya meragu berarti saya berpikir maka saya ada).

Kemudian entah oleh siapa serta kenapa ternyata ujar-ujar rumit makna itu malah dipersingkat menjadi cogito, ergo sum (saya berpikir maka saya ada) di mana kata dubito melenyapkan diri entah ke mana dan kenapa.

Sementara filosof merangkap fisikawan Italia, Carlo Rovelli kurang setuju terhadap istilah “aku” yang terlalu membakukan subyektifitas pemikiran Descrates yang seyogianya tidak mengabaikan “orang ke tiga”

Pada hakikatnya “dubito” dalam makna “merasa ragu” sebenarnya lumayan penting untuk sebaiknya jangan begitu saja dilenyapkan.

Menurut pendapat saya, “keraguan” justru merupakan unsur penting dalam proses pemikiran ilmu pengetahuan termasuk filsafat.

Tanpa keraguan justru tidak ada enerji kelirumologis sebagai penggerak mekanisme peradaban.

Namun apa artinya pendapat saya dibandingkan dengan kehendak para beliau yang secara tanpa perlu diragukan (dubito) lagi memang memiliki kewibawaan dan kekuasaan alias kompetensi untuk mempersingkat atau memperpanjang atau memperapapun kalimat keren terutama dalam bahasa Latin agar makin terkesan keren.

Semisal apa boleh buat kalimat “copia ciborum, subtilitas impeditur” apalagi diucapkan oleh Seneca memang pasti jauh lebih berwibawa keren ketimbang peringatan “ojo ng’gragas” diucapkan dalam bahasa Jawa kurang halus oleh Jaya Suprana.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi