Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Konflik Rusia Vs Ukraina

Baca di App
Lihat Foto
AP PHOTO/SERGEI GRITS
Radar rusak dan peralatan lainnya terlihat di fasilitas militer Ukraina di luar Mariupol, Ukraina, Kamis (24/2/2022). Rusia telah meluncurkan rentetan serangan udara dan rudal ke Ukraina Kamis pagi.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Konflik Rusia vs Ukraina akhirnya pecah saat Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan invasi di wilayah Ukraina, pada Kamis (24/2/2022).

Diberitakan Kompas.com (24/2/2022), Putin menyebut invasi dilakukan karena pihaknya tidak memiliki pilihan selain mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern.

“Rusia tidak bisa merasa aman, berkembang, dan eksis dengan ancaman konstan yang berasal dari wilayah Ukraina modern,” ujarnya dalam pidato yang disiarkan dalam televisi Pemerintah Rusia.

Baca juga: Ukraina Trending di Twitter, Ini Alasan Rusia Lancarkan Perang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana sejarah konflik Rusia vs Ukraina?

Sejarah konflik Rusia vs Ukraina

Dilansir dari Al Jazeera, sekitar 1.200 tahun lalu, Rusia, Ukraina, dan Belarusia lahir di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus, sebuah negara adidaya pada abad pertengahan yang luasnya mencakup sebagian besar Eropa Timur.

Meski dari tanah yang sama, Rusia dan Ukraina memiliki perbedaan yang menonjol, mulai dari bahasa, sejarah, dan kehidupan politiknya.

Namun, Putin berulang kali mengeklaim jika keduanya adalah satu bagian dari peradaban Rusia.

Sementara Ukraina, berulang kali membantah klaim tersebut.

Baca juga: Daftar 20 Negara dengan Militer Terkuat di Dunia

Keruntuhan Uni Soviet (1991)

Masih dari Kompas.com (11/6/2021), Pemimpin Uni Soviet kala itu, Mikhail Gorbachev mengundurkan diri pada 25 Desember 1991. Pengunduran dirinya ini sekaligus tanda keruntuhan Uni Soviet.

Sebelum pengunduran Gorbachev, tepatnya pada 1 Desember 1991, 90 persen warga Ukraina menyetujui referendum kemerdekaan dari Uni Soviet.

Presiden Ukraina, Belarusia, dan Rusia pun bertemu untuk secara resmi membubarkan Uni Soviet, sesuai aturan yang tertulis dalam Konstitusi Uni Soviet.

Dengan demikian, Ukraina merdeka secara de jure (berdasarkan hukum) dan diakui oleh komunitas internasional.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Komcad dan Bedanya dengan Wajib Militer

Setelah Ukraina merdeka, hubungannya dengan Rusia mulai memanas saat Viktor Yushchenko terpilih sebagai Presiden Ukraina pada 2005.

Selama periode kepemimpinan Yushchenko, Ukraina cenderung mendekat ke Uni Eropa ketimbang Rusia. Hal inilah yang kian memanaskan hubungan keduanya.

Hubungan keduanya lumayan mereda saat pemilihan umum (pemilu) 2010, Viktor Yanukovych terpilih menjadi Presiden Ukraina.

Yanukovych adalah seseorang yang didukung oleh Rusia dan menginginkan Ukraina lebih dekat dengan Moskwa (ibu kota Rusia).

Baca juga: Hubungan AS-Rusia Memanas, Begini Perbandingan Militer Keduanya

Krisis 2013

Ukraina dilanda krisis dengan merebaknya protes di ibu kota Kiev, pada November 2013.

Kala itu, massa menentang keputusan Yanukovych yang menolak kesepakatan integrasi ekonomi yang lebih besar dengan Uni Eropa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan Yanukovych cenderung dekat dengan Rusia. Inilah yang menjadikan ia menolak integrasi ekonomi Uni Eropa.

Setelah tindakan keras oleh pasukan keamanan, massa unjuk rasa justru bertambah dan konflik pun semakin meningkat.

Baca juga: Qasem Soleimani, Mundurnya AS dan Polemik Jatuhnya Pesawat Ukraina di Iran...

Puncaknya adalah pada Februari 2014, saat parlemen Ukraina melengserkan Yanukovych dari jabatannya.

Pelengseran Yanukovych menyebabkan konflik dalam pemerintahan Ukraina. Pemerintahan terbagi menjadi dua kubu, yakni pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia.

Pendukung Uni Eropa berasal dari masyarakat dan politisi Ukraina daratan, sedangkan pendukung Rusia berasal dari masyarakat dan politikus Krimea, sebuah semenanjung di kawasan Laut Hitam.

Baca juga: Selain Pesawat Ukraina, Berikut Deretan Pesawat Sipil yang Jatuh akibat Rudal

Krisis Krimea (2014)

Awal 2014, Krimea meminta bantuan Rusia untuk menyelesaikan konflik di dalam negerinya.

Pemerintah Rusia pun menerima permintaan tersebut dan mengirimkan pasukannya untuk menduduki Krimea.

Hal tersebut Rusia lakukan lantaran letak geopolitik Krimea yang strategis dan bisa dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat pengaruh di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah.

Melihat campur tangan Rusia atas konflik dalam negeri Ukraina, Uni Eropa pun mengecam.

Baca juga: Jalan Panjang Brexit, Keluarnya Inggris dari Uni Eropa...

Situasi Ukraina kemudian meningkat pada Juli 2014 dan membuat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa berselisih dengan Rusia.

Sementara itu, sejak akhir Februari 2014, demonstrasi oleh kelompok pro-Rusia dan anti-pemerintah berlangsung di kota-kota besar di seluruh timur dan selatan Ukraina.

Protes di wilayah Donetsk dan Luhansk meningkat dan berkembang menjadi pemberontakan separatis bersenjata.

Hal tersebut membuat pemerintah Ukraina meluncurkan serangan militer balasan terhadap pemberontak yang berdampak pada munculnya konflik bersenjata di Donbass.

Baca juga: Profil Yuri Gagarin, Kosmonot yang Patungnya Jadi Simbol Persahabatan Indonesia-Rusia

Gagalnya Perjanjian Minsk (2015)

Sejak Februari 2015, Rusia dan Ukraina telah berusaha untuk menghentikan kekerasan melalui Perjanjian Minsk, dengan Perancis dan Jerman sebagai penengah.

Perjanjian tersebut mencakup ketentuan untuk gencatan senjata, penarikan persenjataan berat, serta kontrol penuh pemerintah Ukraina di seluruh zona konflik.

Namun, upaya damai ini gagal dan konflik bersenjata di Donbass masih terus berlangsung hingga sekarang.

Baca juga: Saat Rusia Memulai Vaksinasi Sputnik V di Moskow...

Ukraina ingin gabung NATO

Konflik Rusia vs Ukraina yang terjadi saat ini juga disebabkan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO).

Keinginan Ukraina tersebut semakin memicu ketegangan antar keduanya.

NATO sendiri adalah organisasi pertahanan dan keamanan di kawasan Atlantik Utara yang meliputi negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.

Beberapa negara bekas Uni Soviet juga menjadi bagian dari NATO, seperti Lithuania, Estonia, dan Latvia.

Baca juga: 6 Negara yang Pernah Alami Kudeta Militer, Mana Saja?

Putin akui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk (2022)

Konflik kedua negara ini kian memanas saat Senin (21/2/2022) lalu, Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis pro-Rusia di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk.

Diberitakan Kompas.com (22/2/2022), hal tersebut Putin sampaikan melalui pidato di televisi yang dikelola Pemerintah Rusia.

"Saya percaya perlu mengambil keputusan yang sudah lama tertunda, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin. 

Putin melanjutkan dalam pidatonya, bahwa Barat telah meludahi masalah keamanan Rusia selama bertahun-tahun dengan memindahkan NATO ke timur serta menempatkan infrastruktur militer lebih dekat ke perbatasan Rusia.

Hingga puncaknya, Putin pun menyerukan invasi ke wilayah Ukraina pada Kamis (24/2/2022).

Baca juga: Ukraina Trending di Twitter, Ini Alasan Rusia Lancarkan Perang

(Sumber: Kompas.com/Aditya Jaya Iswara, Danur Lambang Pristiandaru, Taufieq Renaldi Arfiansyah | Editor: Aditya Jaya Iswara, Danur Lambang Pristiandaru, Sari Hardiyanto)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi