Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2020

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Mengakhiri Pandemi dengan Bahagia

Baca di App
Lihat Foto
PIXABAY
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia diperingati setiap 10 Oktober, setiap tahunnya.
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Frangky Selamat

“Kapan pandemi akan berakhir?” Pertanyaan itu kerap kali muncul di tengah masyarakat yang sudah jenuh dengan kondisi dua tahun terakhir, yang serba tidak pasti karena diliputi kecemasan dan kegelisahan.

Sejumlah pakar mencoba menganalisis dengan bercermin pada sejarah pandemi yang pernah terjadi di dunia, yang tidak lebih dari tiga tahun sejak pertama kali terjadi.

Dengan kata lain, pada 2023, dunia akan bebas dari pandemi dan menjadi endemi? Belum jelas juga.

Sementara organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan syarat pandemi berakhir jika proporsi penduduk seluruh dunia telah divaksin lengkap mencapai minimal 70 persen.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi terkini di banyak negara berkembang, masih jauh dari harapan, termasuk Indonesia.

Tanpa harus menunggu konfirmasi WHO, beberapa negara Eropa seperti Swedia telah menyatakan bahwa pandemi telah berakhir karena dianggap sudah tidak terlalu mengancam lagi.

Berbagai pembatasan dicabut. Kafe dan restoran buka seperti biasa. Pemerintah mulai memperlakukan COVID-19 seperti penyakit endemik lainnya.

Tingkat vaksinasi mencapai 80 persen dan hasil survei pada akhir 2020 yang memperlihatkan 85 persen sampel telah memiliki antibodi, menambah keyakinan itu.

Negara-negara lain di Eropa seperti Denmark, Inggris, Perancis, juga telah mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada kehidupan yang berproses menuju normal.

Di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, "Kalau memang dia sudah divaksin, sudah dua kali, sudah booster, tidak ada komorbid, ya jalan-jalan saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan."

Pernyataan tersebut mengundang berbagai reaksi. Kebijakan terkait COVID-19 mulai dilonggarkan dan kita akan kembali ke kehidupan yang selayaknya?

Melihat dua tahun ke belakang

Sebelum menyimpulkan itu, bila dikilas balik selama dua tahun ke belakang, banyak kisah tragis mengiringi pandemi di Indonesia, yang memakan jutaan korban jiwa selain isu-isu lain yang meniupkan iklim positif untuk kualitas kehidupan lebih baik.

Pandemi telah menciptakan jiwa-jiwa yang kesepian, tertekan dan tidak bahagia.

Tekanan hidup yang terus berlangsung hingga kini menyadarkan manusia bahwa ada hal penting lain yang mungkin terlupa di dunia ketika larut dalam kesibukan sebelum pandemi tiba: mencari bahagia!

Dari sudut pandang psikologis, rasa bahagia tergantung pada cara seseorang memaknainya, maka terkait erat dengan penilaian normatif dan perbedaan tentang apa yang “baik” atau “buruk” (Csikszentmihalyi, 2013).

Sementara dari sudut pandang ekonomi, Easterlin (1974) ekonom pertama yang meninjau kembali gagasan tentang kebahagiaan melihatnya sebagai sesuatu di luar konsekuensi yang dihasilkan oleh seperangkat preferensi yang ditentukan oleh kegunaan barang.

Ia menemukan bahwa peningkatan pendapatan individu tidak meningkatkan kebahagiaan di semua negara. Pendapatan hanya dapat menjelaskan sebagian variasi tingkat kebahagiaan (Easterlin, 2001).

Veenhoven (1991) menyoroti tiga premis menyangkut kebahagiaan yang bersifat subyektif dan relatif.

Pertama, perasaan bahagia berasal dari perbandingan, yaitu penilaian seseorang tentang hidupnya.

Sejauh mana seseorang berbahagia tergantung pada persepsi hidup apa adanya dan apakah itu telah memenuhi standar individu tentang yang seharusnya hidup.

Kedua, kebahagiaan itu subyektif, disesuaikan dengan realitas masyarakat dan/atau individu.

Menurut Norrish dan Vella-Brodrick (2008), individu memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan keadaan tertentu. Jika kondisi kehidupan membaik, maka perasaan bahagia juga meningkat.

Ketiga, sifat kebahagiaan yang sewenang-wenang. Seseorang dapat merasa bahagia meski berada dalam situasi yang buruk.

Ini terjadi karena standar perbandingan adalah konstruksi mental individu yang tidak selalu sesuai dengan persyaratan nyata untuk kehidupan yang baik.

Hasil penelitian King dan Napa (1998) memperlihatkan bahwa bagi orang Amerika kebahagiaan lebih penting daripada uang, kebaikan moral dan keyakinan agama seperti naik ke surga.

Uang, moralitas, dan agama bukan kebahagiaan melainkan sarana untuk mencapainya, atau bagian darinya.

Lalu bagaimana menciptakan kebahagiaan? Sejumlah peneliti mengaitkan kebahagiaan dengan kualitas lingkungan.

Sekurangnya terdapat tiga alasan mengapa lingkungan memengaruhi kebahagiaan seseorang (MacKerron & Mourato, 2013).

Pertama, efek pada sistem saraf yang kontak dengan alam, seperti pengurangan stres. Kedua, efek pada kesehatan yang disebabkan kondisi udara, sanitasi, dan air.

Ketiga, mendorong beragam perilaku di luar ruang seperti olahraga dan aktivitas budaya.

Hasil riset memperlihatkan hubungan antara kebahagiaan dan kualitas lingkungan secara eksplisit positif di negara-negara di mana pengaturan kelembagaan dan politik telah mapan.

Elemen-elemen lain seperti kinerja politik, ekonomi, dan kualitas demokrasi dapat dianggap sebagai pendorong kebahagiaan (Toigo & de Mattos, 2021).

Selanjutnya, sistem politik tidak hanya berkorelasi dengan tingkat kebahagiaan, tetapi juga dengan kualitas lingkungan.

Maka, di negara-negara yang lebih bebas, kinerja lingkungan memiliki dampak yang signifikan secara statistik dan positif terhadap kebahagiaan.

Singkat kata, penciptaan lingkungan hidup yang berkualitas adalah proses menuju bahagia.

Segenap pemangku kepentingan tentu bertanggungjawab untuk bisa mewujudkan keinginan itu. Saat ini mungkin momen yang tepat.

Harapan

Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini, “Kapan pandemi akan berakhir?”

Teringat untaian lirik sebuah lagu dari sang raja dangdut Rhoma Irama, ”Kau yang mulai, kau yang mengakhiri …”

Pertanyaan muncul lagi, lalu siapa yang memulai jika akan diakhiri?

Sampai hari ini pun dunia belum memastikan virus ini sesungguhnya berawal dari mana, walau pemberitaan menyebutkan dari sebuah pasar di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.

Namun sejumlah fakta mengarah pada kenyataan lain yang belum terungkap.

Ketika menanti kapan berakhir, setidaknya kita telah berikthiar sampai hari itu tiba, mengakhiri pandemi ini dengan bahagia...

*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi