Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebagai Negara Pendapatan Menengah ke Atas, Mengapa Masih Banyak Kemiskinan di Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Mercure Jakarta Gatot Subroto
Pemandangan gedung pencakar langit Jakarta.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Indonesia secara resmi telah masuk dalam daftar negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper middle income country.

Ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam sesi bincang virtual, Rabu (23/2/2022).

"Bangsa Indonesia sedang dipaksa bergegas, karena kita pada hari ini sudah resmi jadi negara kelas menengah dunia,"

Namun banyak yang menyebut bahwa kualitas hidup masyarakatnya, terutama dari segi ekonomi, tidak mencerminkan kondisi tersebut. Sehingga posisi Indonesia yang masuk dalam kelompok negara dengan penerimaan menengah ke atas ini dipertanyakan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lalu apa yang bisa dijelaskan dari ketimpangan antara status negara dengan pendapatan menengah ke atas dengan kemakmuran yang tidak dirasakan merata oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ini?

Baca juga: Kebijakan Ekspor Batu Bara: Nasionalisme Ekonomi Vs Target Energi Nol Bersih

Banyak ketimpangan ekonomi

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut ini semua terjadi karena tingginya angka ketimpangan ekonomi yang ada di Indonesia.

"Karena ada masalah ketimpangan yang sifatnya struktural maupun ketimpangan yang disebabkan oleh pandemi," kata Bhima kepada Kompas.com, Jumat (25/2/2022).

Ketimpangan struktural artinya ketimpangan yang diakibatkan oleh faktor pendukung yang sifatnya kompleks. Mulai dari ketimpangan akses pendidikan, kesehatan, sanitasi, pekerjaan layak, dan sebagainya.

"Ini artinya ada masalah struktural, sehingga mereka merasa bahwa berada di bawah rata-rata pendapatan Rp 58 juta per tahun," ujar Bhima.

Angka Rp 58 juta merupakan Pendapatan Nasional Bruto (PDB) atau Gross National Income (GNI) yang dimiliki Indonesia untuk saat ini atau rata-rata pendapatan warga negara Indonesia.

Sementara ketimpangan yang lain, yakni ketimpangan akibat masa pandemi.

"Hanya sebagian kecil atau kurang dari 1 persen total pekerja yang bekerja di sektor informal, atau bekerja yang sifatnya adalah manual, bisa melakukan kerja di rumah. Jadi 99 persen merasa sangat terganggu, karena pandemi memaksa mereka ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kemudian tidak diupah, tidak diberikan uang tunggu selama dirumahkan," papar Bhima.

"Situasi ini terjadi pada 21 juta orang menurut data BPS, yang terdampak selama masa pandemi," imbuhnya.

Sementara itu, bagi kalangan menengah ke atas, pandemi mungkin tidak begitu berdampak. Mereka masih bisa menjalankan pekerjaannya dari rumah dan tidak terkena PHK atau kesulitan lainnya.

Mereka yang memiliki pendapatan di atas rata-rata juga masih dapat menyisihkan uang yang sebelumnya digunakan untuk kebutuhan jalan-jalan, untuk diinvestasikan di masa pandemi ini.

"Itu yang membuat kenapa begini-gini saja ya, padahal katanya Indonesia masuk ke dalam middle income country," sebut Bhima.

Baca juga: Airlangga: Ekonomi Indonesia Ditargetkan Tumbuh 5,3-5,9 Persen pada 2023

Metode perhitungan

Bhima menjelaskan, untuk menentukan suatu negara masuk dalam kelompok negara dengan pendapatan kelas mana, maka digunakan angka PDB atau GNI.

"Pengukurannya itu menggunakan GNI per kapita. Jadi tidak mengunakan Gross Domestic Product (GDP), karena GNI ini adalah agregasi dari aktivitas ekonomi yang dihasilkan penduduk, baik di dalam negeri maupun penduduk WNI yang ada di luar negeri," jelas Bhima.

Jadi, perhitungan ini menghitung rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, mulai dari yang tertinggi hingga terendah.

"Ini artinya penghitungannya juga termasuk dari para ekspatriat yang ada di luar negeri, atau tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri, itu diagregasi semuanya. Itu mencapai Rp 58 juta per tahun," jelas Bhima.

"Jadi GNI per kapita tidak bisa menjelaskan faktor ketimpangan, karena tidak semua merasakan pendapatan yang setinggi itu. Nah ini faktornya, jadi ada yang kontribusinya 15 ribu dollar per tahun, tapi diagregasi dengan yang paling rendah, jadi dihasilkan lah 4.000 dollar AS (Rp 58 juta kurs 14.500) GNI per tahun per kapita," pungkasnya.

Baca juga: Update Corona 25 Februari: Indonesia Tambah 57.426 Kasus | Kanada Setujui Vaksin Nabati Pertama di Dunia 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi