Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serangan Rusia ke Ukraina Berpotensi Jadi Perang Dunia III, Indonesia Bisa Apa?

Baca di App
Lihat Foto
AFP/DANIEL LEAL
Kendaraan militer Ukraina melaju melewati Alun-alun Kemerdekaan di pusat kota Kiev, ibu kota Ukraina, Kamis (24/2/2022). Sirene serangan udara berbunyi di seantero Kiev ketika kota-kota di sekelilingnya dihantam serangan rudal dan artileri oleh Rusia.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Serangan Rusia terhadap Ukraina dikhawatirkan dapat bereskalasi menjadi perang dunia (PD) III atau World War 3 (WW3).

Kekhawatiran itu diungkapkan oleh sejumlah warganet di media sosial. Salah satunya akun Twitter ini.

"Apakah invasi Rusia ke Ukraina bisa memicu Perang Dunia 3?," demikian tulis pemilik akun, Jumat (25/2/2022).

Baca juga: Ukraina Trending di Twitter, Ini Alasan Rusia Lancarkan Perang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hal yang sama juga dituliskan akun Twitter ini.

"Apakah perang Rusia & Ukraina akan jadi pemicu perang dunia ke-3..? Kalo bisa sih jangan dulu perang dong, mau nyairin dulu JHT," tulis pemilik akun.

Diketahui, pada Kamis (24/2/2022), Rusia melancarkan serangan militer khusus di wilayah Ukraina pada Kamis (24/2/2022).

Baca juga: Sejarah Konflik Rusia Vs Ukraina

Lantas, apakah serangan Rusia terhadap Ukraina akan bereskalasi menjadi perang dunia (PD) III atau World War 3 (WW3)?

Berpotensi jadi perang dunia III

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina bisa memicu perang dunia III.

"Operasi militer yang dilancarkan oleh Rusia dan serangan balik oleh Ukraina berpotensi untuk bereskalasi menjadi PD III," ujar dia, dalam keterangannya kepada Kompas.com, Jumat (25/2/2022) sore.

Menurut Hikmahanto, Indonesia dapat mengambil peran dalam meredam gejolak yang terjadi, yakni melalui Majelis Umum (MU) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Sebab, menurut dia, pemberian sanksi ekonomi dari negara-negara Eropa Barat dan AS ke Rusia tidak akan berdampak lebih.

"Sanksi tersebut tidak akan efektif karena tiga alasan. Pertama, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elit dalam waktu 6 bulan bahkan satu tahun ke depan," terang Hikmahanto.

Baca juga: Serangan Rusia Ke Ukraina, Siapa Negara Pendukung Mereka?

Jalan damai melalui Dewan Keamanan PBB akan sulit

Alasan kedua, imbuhnya, Rusia harus dibedakan dengan Iran ataupun Korea Utara yang masih sangat bergantung pada banyak negara.

Ketiga, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial.

Hikmahanto mengatakan, penyelesaian melalui Dewan Keamanan (DK) PBB pun tidak akan membuahkan hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan anggota tetap yang memiliki hak veto.

"Apapun draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia," kata Hikmahanto.

Oleh karenanya, Rektor Universitas Jenderal A Yani ini berpendapat, satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui MU PBB.

Baca juga: Sejarah Konflik Rusia Vs Ukraina

Tugas menjaga perdamaian

Di dalam MU PBB, lanjut dia, tidak ada hak veto, dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama.

Selain itu, dalam MU PBB, semua negara anggota bisa berperan.

"Dalam sejarahnya, MU PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian pada 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea, MU PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace," ujar Hikmahanto.

Ia menjelaskan, dalam resolusi tersebut dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata.

"Bila seruan tersebut tidak digubris, maka MU PBB dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata," imbuhnya.

Baca juga: Hubungan AS-Rusia Memanas, Begini Perbandingan Militer Keduanya

Indonesia bisa mengambil peran

Namun, menurut Hikmahanto, proses di MU PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB.

"Di sinilah Indonesia dapat mengambil peran. Mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia," kata dia.

Menurutnya, Presiden Jokowi dapat mengutus Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.

"Menlu juga perlu melakukan pembicaraan dengan Menlu berbagai negara di Asia Afrika Eropa Timur hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal PD III," tandasnya.

Baca juga: Tanggapan Sejumlah Negara atas Serangan Rusia ke Ukraina

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi