Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Don't Cry For Me Ukraine

Baca di App
Lihat Foto
LAYANAN PERS PRESIDEN UKRAINIAN/AFP
Gambar selebaran ini diambil dan dirilis oleh layanan pers Presiden Ukraina pada 18 Agustus 2022, menunjukkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kanan) berbicara dengan mitranya Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan di Lviv, di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
Editor: Sandro Gatra

Suatu saat, di sebuah padang rumput yang tinggi, di mana domba dan anak-anaknya digembalakan, seekor elang sedang terbang memutar dan menatap anak domba dengan pandangan lapar.

Dan saat ia akan turun dan memangsa incarannya, elang yang lain muncul dan terbang di atas anak domba dengan pandangan penuh minat.

Lalu kedua elang itu mulai berkelahi dan memenuhi langit dengan teriakan mereka.

Dan si domba menengadah dengan terkesima. Ia berbalik ke arah anaknya dan berkata:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Betapa anehnya, Anakku, bahwa dua burung yang terhormat ini harus saling menyerang. Tidakkah langit cukup luas untuk mereka berdua? Berdoalah, sayangku, berdoalah pada Tuhan agar kedamaian datang pada saudara-saudaramu yang bersayap.”

Dan anak domba berdoa dalam hati.

Kahlil Gibran begitu rancak menceritakan nafsu angkara perang antara dua ekor burung elang dalam karyanya “Perang dan Bangsa-Bangsa Kecil”.

Ketika elang akan mencari mangsa domba-domba kecil, ternyata para elang terlebih dulu disibukkan dengan bertarung di antara sesama mereka.

Tidak ada frasa kalah atau menang dalam sebuah perang. Semua bisa mengklaim menang atau kalah menurut versinya masing-masing.

Perang hanyalah menunda sebuah persoalan yang jauh lebih besar, yakni hilangnya martabat kemanusian.

Membayangkan perang antara Rusia dengan Ukraina yang terjadi sekarang ini, seperti menggambarkan betapa rentannya perdamaian dan kelanggengan nilai-nilai demokrasi yang telah diruwat dan dirawat selama ini.

Kemerdekaan yang diperoleh Ukraina usai bubarnya Uni Sovyet menjadi “muspro” ketika “elang” yang bernama Rusia ingin mencaplok kembali kedaulatan Ukraina.

Ketika elang Rusia menyergap Ukraina, bersegeralah “elang-elang” yang lain bernama Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman serta anggota NATO lainnya siap berduel.

Belum lagi elang Rusia bisa mengajak Chechna dan China di gerombolan yang sama.

Perang juga mengajarkan kepada kita semua, betapa kemusnahan menjadi keniscayaan. Perang tidak mengenal sekat agama, suku dan batas teritori.

Chechnya membantu Rusia, sedangkan Turki malah berpihak ke Ukraina.

Perang begitu absurb. Perang bisa melumat siapa saja. Nilai-nilai kemanusian menjadi rapuh, serapuh nafsu kekuasaan yang berkelindan dengan aneka kepentingan.

Jika dalam konteks kebangsaan, saya begitu risau dan galau dengan nasib 154 warga Indonesia yang tengah bergulat dalam ketidakpastian di Kiev, Odessa serta kota-kota yang lain di Ukraina.

Saya begitu sulit membayangkan kegamangan mereka di tengah kecamuk perang yang membabi buta. Saya sedih dengan ketersediaan pasokan pangan dan minum untuk mereka.

Sulit membayangkan proses evakuasi dari posisi safehouse di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kiev dan safehouse lainnnya menuju tapal batas di Polandia dan Rumania.

Sementara arsenal dan pesawat-pesawat Rusia memborbardir setiap jengkal tanah di Ukraina tanpa pandang bulu.

Belum lagi warga sipil Ukraina juga telah dipersenjatai sehingga konflik semakin meluas.

Selamat mereka, Ya Allah....

Dalam konteks kemanusian, saya begitu tercekat melihat ketakutan anak-anak di bawah stasiun kereta api bawah tanah di Ukraina serta warga sipil yang berada di ruang terbuka. Mereka begitu rentan menjadi korban perang.

Di tengah makin tirisnya logistik pangan dan listrik, penderitaan mereka menjadi semakin sulit dibayangkan hari-hari ini.

Anak yang kehilangan ayahnya, ibu yang melepas kematian putranya, keluarga yang tercerai berai tanpa kepastian menjadi kejadian keseharian di Ukraina sana.

Sekali lagi, Ya Allah.... lindungi dan kuatkan mereka.

Pelajaran dari Timor Timur

Timor Timur yang pernah menjadi bagian dari tanah air kita, diinvasi militer Indonesia dengan skala penuh tahun 1975.

Operasi Seroja digelar di palagan Timor Timur dengan dalih mencegah paham komunisme berkembang. Dalih perang selalu menemukan cara pembenar.

Kata integrasi dan permintaan tokoh Timor Timur yang ingin bergabung dengan Indonesia, selalu didengungkan oleh rezim yang berkuasa ketika itu. Padahal Amerika Serikat-lah yang menjadi biang kerok “pencaplokan”.

Mendiang kakak saya yang pernah ikut Operasi Seroja kerap berkisah bagaimana trauma perang masih selalu membayanginya hingga jelang akhir hayatnya karena sakit tahun 1990.

Sebagai alumni Akabri 1974, mendiang kakak saya begitu mengingat kejadian salah tembak antarkesatuan di militer Indonesia.

Belum lagi informasi soal kondisi Timor Timur yang tidak diketahui dengan utuh serta perlawanan sengit dari warga Timor Timur.

Saat menjadi wartawan, saya kerap mengunjungi Timor Timur era 1997 – 1999.

Pandangan sinis kita sebagai penjajah dari warga begitu kerap saya terima di Los Palos, Viqueque, Bobonaro, Liquica, Bacau, Manufahi, Ermera, Lautem, Manatuto, Manufahi hingga Dili.

Padahal pemerintah kita saat itu begitu “royal” dan “menganakemaskan” Timor Timur dengan pembangunan fasilitas infrastruktur.

Tanah bisa kita rebut, tetapi “hati” warga tetap tidak bisa ditundukkan oleh kekuatan kapital. Timor Leste merdeka adalah jalan sejarah yang tidak bisa kita halangi.

Perang hanya mengobarkan perang lain

“Kita tidak butuh tumpangan, yang kita butuhkan hanyalah amunisi,” ujar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Peryantaan ini tentu saja mengisyaratkan perang akan berlangsung lama dan berlarut-larut mengingat negara-negara lain tentu akan bahu membahu membela Ukraina atau Rusia.

Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Portugal, Denmark, Turki dan negara-negara NATO lainnya kompak berdiri di kubu Ukraina.

Sementara Rusia, mendapat sokongan dari Belarusia, Chechnya dan China secara pasif.

Konflik antara Rusia dengan Ukraina hanya berpotensi menjadi pemicu terjadinya Perang Dunia III jika semua kalangan tidak meredam diri.

Boikot ekonomi yang dilancarkan banyak negara di Eropa hanya akan menjadi “triger” bagi perang lain.

Mengetahui kalah dalam jumlah pasukan dan peralatan perang, Presiden Zelensky mengobarkan perjuangan rakyat Ukraina untuk menghadang laju pasukan Rusia dengan bom botol molotov, penumbangan pohon dan rambu lalu lintas serta solidaritas perlawanan sipil.

Potongan-potongan rekaman video perang yang dibuat warga sipil dan menyebar secara masif di berbagai lini masa adalah keberanian dari rakyat Ukraina untuk melawan dengan cara kekinian.

Kenekatan warga sipil Ukraina menghadang laju tank Rusia mirip dengan keberanian mahasiswa China saat menghalangi jalannya kendaraan tank di Lapangan Tianamen saat pembangkangan mahasiwa terhadap rezim komunis China meletus di 4 Juni 1989 silam.

Akhiri perang dengan segala cara

Inisiatif perdamaian haruslah diusahakan oleh semua pihak untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Rusia dengan Ukraina.

Keberanian warga St Petersburg, Rusia yang memprotes kebijakan perang yang dikobarkan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan aksi injuk rasa di jalanan adalah memperlihatkan perang ternyata juga tidak dikehendaki rakyat Rusia sendiri.

Melawan perang dengan cara perjuangan spiritual yang dilakukan Paus Fransiskus dengan “mendobrak” protokoler diplomatik dengan menyambangi Kedutaan Rusia di Vatikan, Jumat (25/2/2022), adalah salah satu jalan “suci” yang layak mendapat apresiasi (Kompas.com, 26/02/2022).

Seruan Paus untuk perlindungan kemanusian bagi anak-anak, orang sakit dan yang menderita adalah cara bathin untuk melawan agresor Rusia.

Saat menyaksikan pertandingan sepakbola antara Aston Villa versus Brighton & Hove Albion di Liga Primer Inggris melalui penayangan di layar kaca (Sabtu, 26/2/2022), saya begitu terkesima dengan aksi pemain Aston Villa yang bernama Cash yang melakukan selebrasi membuka jersey yang dikenakan dan menunjukkan aksi solidaritasnya terhadap warga Ukraina di kaos dalamnya.

Pemain Manchester City, kesebelasan favorit saya juga mempertontonkan aksi serupa dengan memamerkan bendera Ukraina di jersey-nya.

Demikian pula halnya dengan klub Everton besutan Frank Lampard juga memperlihatkan aksi solidaritasnya untuk derita rakyat Ukraina.

Status kepemilikan Roman Abramovich terhadap klub sepakbola jawara Liga Champion musim 2020/2021, Chelsea juga ditangguhkan oleh operator Liga Inggris.

Roman yang warga negara Rusia dan bersahabat dengan Presiden Putin, dinilai mendukung aksi kekerasan terhadap Ukraina.

Kompetisi olahraga yang sejatinya mengedepankan sportivitas dan imun terhadap politik, kini dijadikan wahana protes terhadap aksi perang Rusia terhadap Ukraina.

Saya jadi teringat dengan nukilan kalimat Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar yang pernah kita miliki; “Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan yang mengakhiri."

Untuk menyelesaikan konflik yang saling memusnakan satu sama lain, tidak ada cara lain Presiden Putin dan Presiden Zelensky harus duduk bareng sembari “ngopi” di tempat yang netral.

Saya hanya mengandaikan, ke dua tokoh ini bicara dari hati ke hari sembari memandang Gunung Batur di Kintamani, Bali dengan Indonesia menjadi penengahnya.

Sikap kita tidak cukup hanya meminta para pihak untuk menahan diri untuk tidak saling berperang.

Kita harus menawarkan diri – entah diterima atau tidak oleh para pihak yang berseteru – kita ingin mendamaikan Rusia dan Ukraina dengan segala kemampuan yang ada.

Mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 alinea ke-4.

Menghentikan perang dengan memilih jalan damai adalah bentuk penghormatan terhadap nila-nilai kemanusian yang paling hakiki.

Jika kita tidak mengakhiri perang, maka peranglah yang akan mengakhiri kita.

Setiap peperangan akan tercatat dalam sejarah. Dan mungkin perjuangan menjaga perdamaian ini akan dilupakan sejarah, tetapi itu jauh lebih baik dari sebuah peperangan yang diingat sejarah.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi