Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mantan Wartawan
Bergabung sejak: 6 Okt 2021

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Manhaj NU, Staqufiyah dan Khilafah Utsmaniyah

Baca di App
Lihat Foto
M RISYAL HIDAYAT
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyampaikan keterangan pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Yahya Cholil Staquf memperkenalkan jajaran pengurus PBNU masa bakti periode 2022-2027. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU
Editor: Sandro Gatra

DIKTUM "Staqufiyah", merupakan definisi terbatas yang Penulis gunakan untuk menyebut perspektif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.

Staqufiyah, bukan isme, bukan ideologi, apalagi mazhab. Staqufiyah hanya cara untuk mempersempit ruang lingkup Penulis memahami pandangan Gus Yahya--sapaan KH Yahya Cholil Staquf, soal Nahdlatul Ulama (NU).

Staqufiyah adalah jalan NU versi KH Yahya Cholil Staquf.

Para Ketua Umum PBNU sebelumnya, menggunakan model dan pendekatan yang tidak sama dalam mengelola jam'iyah dan jamaah NU.

Pendekatan KH Said Aqil Siradj, berbeda dengan cara KH A Hasyim Muzadi. Demikian juga, Kiai Hasyim Muzadi berlainan versi dari manhaj KH Abdurrahman Wahid.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbedaan pendekatan dipengaruhi dinamika internal NU dalam menyikapi dialektika bangsa dan perkembangan internasional.

Staqufiyah menggunakan wazan seperti Ma'iyyah--gerakan bersifat membersamai. Asalnya bahasa Arab, yaitu "ma'a" yang berarti bersama.

Kata ini berderivasi menjadi "maiyyah". Atau wazan lain yang serupa. Seperti insaniyah, ruhaniyah, jasadiyah, wathoniyah, basyariyah dan lain-lain.

Demikian juga Staqufiyah. Tujuannya untuk membatasi pemahaman atas perspektif ini. Sebuah pandangan tentang NU, yang sifatnya khas, yang berasal dari sudut pandang KH Yahya Cholil Staquf.

Tentu saja, Staqufiyah ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan secara utuh pandangan Gus Yahya. Ini hanya versi pemahaman Penulis.

Tidak lebih dari bahan kontemplasi, transendensi atas sejumlah masalah, yang lalu dibincangkan Gus Yahya kepada Penulis dalam berbagai kesempatan.

Gus Yahya berangkat dari perspektif historis. Premis mayornya adalah pergumulan dunia; dari Perang Dunia hingga lenyapnya Turki Utsmani.

Turki Utsmani

Syahdan, begitu Khilafah Abbasiyah runtuh, kepemimpinan dawlah Islam mengalami kekosongan.

Bani Abbasiyah mengusai sebagian besar negara dunia. Setelah berkuasa 623 tahun, imperium itu ditaklukkan Hulagu.

Jika merujuk batas antarnegara modern, wilayah kekuasannya meliputi 57 negara; Irak, Iran, Arab Saudi, Oman, Bahrain, Lebanon, Uni Emirat Arab, Palestina, Israel, Mesir, Qatar, Abu Dhabi, Suriah, Turki.

Kemudian Libya, Algeria, Sudan, Eritrea, Maroko, Pakistan, Kuwait, Siprus, Yaman, Yordania, Armenia, Yunani, Tunisia, Chad, Nigeria, Senegal, Rwanda, Burundi, Uganda, Togo, Benin, Gambia, Sudan Selatan, Tajikistan, Uzbekistan, Turkmenistan, Afghanistan, Estonia, Norwegia, Albania, Georgia, Kosovo, Romania, Bulgaria, Bosnia, Serbia, Montenegro, Makedonia Utara, Portugal, Spanyol, Andorra, dan Slovenia.

Di tengah kavakuman itu, muncul seorang adipati bernama Utsman Bey atau Utsman Ghazi. Bapak Wangsa Utsmaniyah, pemimpin pertama kesultanan, yang di masanya masih berupa kadipaten kecil.

Ia mewarisi jabatan ayahnya, adipati (Bey) di bawah Kesultanan Seljuq. Saat Seljuq gonjang-ganjing, kadipaten itu lepas. Utsman memerintah dengan otonomi penuh. Tahun 1299, berdirilah sebuah negara kecil di barat laut Anatolia.

Utsman sukses menaklukkan Balkan dan mendirikan imperium baru. Anak Keturunan Utsman mengabadikan namanya sebagai nama dinasti dan negara.

Dalam bahasa Arab, nama dinasti dan negara itu menjadi Utsmani atau Utsmaniyah dan di Indonesia jadi Ottoman.

Inilah Turki Utsmani! Tahun 1354, kesultanan ini melintasi Eropa. Tahun 1553, Sultan Mehmed II, merebut Kekaisaran Romawi Timur, dengan menaklukkan Konstantinopel.

Turki Utsmani merupakan salah satu negara terkuat di dunia, imperium multinasional, multibahasa mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika.

Menguasai sejumlah 50 negara seperti Abkhazia, Albania, Aljazair, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Mesir, Eritrea, Georgia, Yunani, Hongaria, Iran, Irak, Israel, Yordania.

Kosovo, Kuwait, Lebanon, Libya, Makedonia, Moldova, Montenegro, Nagorno-Karabakh, Siprus Utara, Oman, Palestina, Qatar, Rumania, Rusia, Arab Saudi, Serbia, Slowakia, Slovenia, Somalia, Ossetia Selatan, Sudan, Suriah, Tunisia, Transnistria, Turki, Uni Emirat Arab, Ukraina, Yaman.

Setelah berkuasa 623 tahun, November 1922, Turki Utsmani dibubarkan oleh Turk Muda, Musthafa Kamal Pasha, pahlawan Turki modern!

Dampak perang dunia

Lenyapnya khilafah Turki Utsmani, bermula dari keterlibatannya dalam Perang Dunia Pertama.

Aliansi Tengah yang beranggotakan Turki Utsmani, Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia kalah melawan Aliansi Sekutu yang terdiri atas Britania Raya, Prancis dan Rusia.

Tapi saat Austria-Hongaria melakukan serangan, Italia tidak ikut terlibat berperang. Kedua aliansi lalu melakukan reorganisasi. Italia beralih ke pihak Sekutu.

Lebih dari 70 juta tentara militer, 60 juta orang Eropa, dimobilisasi dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah.

Tak kurang dari 9 juta prajurit gugur, akibat teknologi senjata yang mematikan. Perang ini adalah salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah dunia.

Dampak yang massif dan di luar dugaan, membuka jalan perubahan politik di negara peserta perang. Revolusi muncul di sejumlah negara, termasuk di Turki Utsmani.

Bagi Eropa, Turki Utsmani adalah pemicu perang dalam banyak skala. Dari aneksasi, ekspansi hingga perang antarkawasan.

Ratusan tahun Turki Utsmani "menjajah" Eropa. Perang Dunia I, memaksa Eropa berhitung. Mereka melempar agitasi dan memprovokasi para sultan di negara-negara bagian, termasuk di Timur Tengah, memberontak dan melepaskan diri dari Turki Utsmani.

Propagandanya; bangsa Arab lebih berhak atas khilafah di tanah Arab dari pada bangsa Turki.

Sekutu yang memenangi Perang Dunia I, "punya kuasa" mengatur ulang batas-batas negara yang kalah. Tak terkecuali negara-negara bekas bagian Turki Utsmani, seperti di kawasan Timur Tengah.

Tanah Hijaz yang dijanjikan kepada Sultan Syarif Husein, justru diserahkan Inggris kepada penguasa Najed, Abdul Aziz bin Saud.

Syarif Husein lari ke Kerajaan Urdun. Oleh Bin Saud, Hijaz disatukan dengan Najed, menjadi Kerajaan Arab Saudi.

Bagi Eropa, semua langkah, harus memastikan Turki Utsmani tidak akan bangkit selamanya, dan Dawlah Islamiyah tidak akan pernah lahir lagi.

Salah satu langkah yang membuat Sekutu tetap punya alasan bisa hadir di kawasan tersebut, dengan dalih stabilitas kawasan dan kepentingan imperialis, adalah lahirnya negara Israel lewat Deklarasi Balfour tahun 1917.

Diam-diam Inggris dan Perancis berbagi kavling di eks Turki Utsmani.

Bersambung...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi