KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengidentifikasi setidaknya ada 330 kasus subvarian BA.2 atau varian Omicron "Siluman" di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, Kamis (3/3/2022).
“Kita sudah mendeteksi kurang lebih 330 (kasus infeksi) BA.2, (jumlah) ini porsinya masih kecil kalau dibandingkan dengan BA.1 (varian Omicron). BA.1 (sekitar) 5.000-an kasus yang kita temukan,” ungkap Nadia, dikutip dari Kompas.com, (3/3/2022).
Lalu, apakah subvarian yang dijuluki "siluman" ini lebih ganas daripada virus corona varian sebelumnya?
Berikut penjelasan dari ahli patologis klinis:
Baca juga: Update Corona 4 Maret 2022: Kasus Omicron Siluman di Indonesia Mencapai 330
Penjelasan ahli
Ahli patologis klinis Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan, virus corona sebelum varian Omicron akan menginfeksi sel melalui ikatan dengan protein yang menjadi pintu masuk Covid-19.
Protein tersebut adalah reseptor ACE-2, kemudian dilanjutkan berikatan dengan protein TMPRSS2.
Selanjutnya, virus corona baru akan masuk ke dalam sel.
Saat protein Spike atau protein S milik virus corona siap berikatan dengan reseptor ACE-2, bentuknya menjadi terbuka, sehingga dikenali oleh sistem imun.
Namun setelah berhasil berikatan, posisi keduanya terkunci yang menyebabkan sistem imun tidak lagi dapat mencegah virus masuk.
“Tapi begitu berikatan, posisinya sudah terkunci, tidak bisa dicegah lagi oleh sistem imun,” terang Tonang saat dihubungi Kompas.com (4/3/2022).
Setelah masuk ke dalam sel, virus corona bereplikasi atau memperbanyak diri dan “berniat” menyebar ke sel lain.
Saat proses penyebaran, ada kesempatan bagi sistem imun untuk kembali mengenali protein S.
Akibatnya, terjadi “pertarungan” antara sistem imun dengan kecepatan replikasi virus corona.
Baca juga: 3 Cara Membedakan Gejala Sakit Kepala Biasa dan akibat Covid-19 Omicron
Varian Omicron tidak membutuhkan TMPRSS2
Tonang kembali menjelaskan, ujung protein S varian Omicron lebih stabil dan baru terbuka sesaat sebelum berikatan dengan reseptor ACE-2.
Oleh karena itu, varian Omicron sulit dikenali oleh sistem imun.
Selanjutnya, Omicron tidak membutuhkan TMPRSS2 yang letaknya ada di paru-paru untuk masuk ke dalam sel.
Akan tetapi, langsung menembus masuk ke dalam sel (endositosis).
“Maka pertumbuhan Omicron di saluran napas 70 kali lebih cepat daripada Delta. Tapi di paru-paru, pertumbuhannya 10 kali lebih lambat daripada delta,” jelasnya.
Tonang menambahkan, varian Omicron juga lebih merespons interferon yang merupakan bagian dari sistem imun bawaan tubuh.
Respons terhadap interferon ini yang memuat Omicron mudah menular, cepat menyebar, tapi cenderung memiliki gejala ringan.
Baca juga: Kenali, Ini Gejala Omicron pada Anak dan Orang Dewasa
Subvarian "siluman" memicu angka kematian
Meski merupakan mutasi dari varian Omicron, subvarian "Siluman" ini mendapatkan kembali kemampuannya untuk menggunakan protein TMPRSS2.
Akibatnya, menurut Tonang, BA.2 memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi di paru-paru daripada varian BA.1.
“Hal ini yang diduga memicu angka kematian relatif meninggi akhir-akhir ini. Walau masih tetap signifikan di bawah saat gelombang Delta, tapi lebih signifikan daripada saat BA.1 yang dominan,” ujar Tonang.
Baca juga: Subvarian BA.2 Disebut Omicron Varian Siluman, Apa Saja Gejalanya?
Gejala Omicron "Siluman"
Walaupun secara gejala berisiko lebih berat daripada varian Omicron, Tonang menambahkan, subvarian ini tetaplah varian Omicron.
Oleh karena itu, kemungkinan gejalanya tetap bisa ringan.
“Tidak usah galau. Semua (varian BA.1 dan BA.2) tetap varian Omicron. Semua tetap bisa ringan, bahkan tanpa gejala. Tapi juga selalu ada risiko menjadi berat,” ungkapnya.
Sementara itu, dilansir dari Metro (24/1/2022), umumnya gejala subvarian ini masih sama seperti varian BA.1, yakni:
- Pilek
- Sakit kepala
- Kelelahan
- Bersin
- Sakit tenggorokan