Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sekjen PKB
Bergabung sejak: 29 Agu 2020

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Rezim Otoritarian adalah Kejahatan Kemanusiaan

Baca di App
Lihat Foto
AFP/ARIS MESSINIS
Helena, seorang guru berusia 53 tahun berdiri di luar rumah sakit setelah pemboman kota Chuguiv di Ukraina Timur, Kamis (24/2/2022) ketika angkatan bersenjata Rusia berusaha menyerang Ukraina dari beberapa arah, menggunakan sistem roket dan helikopter untuk menyerang posisi Ukraina di selatan, kata dinas penjaga perbatasan. Pasukan darat Rusia menyeberang ke Ukraina dari beberapa arah, kata dinas penjaga perbatasan Ukraina, beberapa jam setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan peluncuran serangan besar-besaran. Tank Rusia dan alat berat lainnya melintasi perbatasan di beberapa wilayah utara, serta dari semenanjung Krimea yang dicaplok Kremlin di selatan, kata badan tersebut.
Editor: Egidius Patnistik

JANUARI 2017, sejumlah elite dunia mendengarkan dengan sopan saat Presiden China Xi Jinping memberikan pidato utama di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Tentu saja, pemimpin Tiongkok itu tidak berbicara soal bagaimana dia dan kroni-kroninya memenjarakan dan menghilangkan aktivis hak asasi manusia, menganiaya etnis minoritas dan kelompok agama, dan mengoperasikan sistem sensor dan pengawasan yang luas.

Ironis memang, sebuah forum yang didedikasikan untuk “membangun peradaban dunia yang lebih baik,” menawarkan panggung yang begitu penting bagi pemimpin seperti Xi yang memulai sambutannya sebagian dengan bertanya, “Apa yang salah dengan dunia?” Faktanya adalah dia bagian dari masalah.

Rezim otoriter bermula dari pemilu curang dan kudeta

Rezim otoriter biasanya berawal dari pemilu yang curang. Menjelang pemilihan parlemen Rusia September 2021, rezim Presiden Vladimir Putin menghilangkan ilusi persaingan dengan memenjarakan pemimpin oposisi Aleksey Navalny.

Untuk menutup peluang Navalny memenangkan pemilu, Putin menerapkan pelaksanaan pemilu yang curang, dengan membatasi pengawas independen, dan menghapus aplikasi seluler untuk proses hitung cepat hasil pemilu yang didukung Navalny. Bahkan, menjelang pemilu, Putin memberlakukan undang-undang tentang "agen media asing" untuk membatasi aktivitas media independen serta individu yang kritis terhadap rezim.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Presiden Nikaragua Bela Sikap Rusia atas Ukraina, Apa yang Dikatakan?

Pemilihan presiden pada November 2021 di Nikaragua juga tidak kompetitif. Pemerintah Presiden Daniel Ortega menolak untuk menerapkan reformasi pemilu yang direkomendasikan oleh organisasi pemantau pemilu internasional demi terlaksananya pemilu yang independen, transparans, dan kredibel.

Sebaliknya, selama tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang dirancang untuk menargetkan oposisi, termasuk undang-undang “agen asing” yang terinspirasi oleh undang-undang Rusia.

Pemilihan Dewan Legislatif Desember 2021 di Hong Kong menggarisbawahi keberhasilan Beijing dalam membongkar lembaga-lembaga semi-demokrasi di wilayah itu. Oleh karena itu, tidak mengejutkan siapa pun ketika kandidat pro-Beijing mendominasi legislatif baru, meskipun ada sejarah panjang dukungan pemilih yang kuat untuk kandidat prodemokrasi.

Selain pemilu curang, rezim otoritarian seringkali berawal dari kudeta atau perebutan kekuasan secara illegal.

Freedom House (2022) mencatat, selama 11 tahun terakhir (Februari 2010-Februari 2022) telah terjadi 69 kali kudeta atau percobaan kudeta di 69 negara di seluruh dunia.

Salah satunya yang paling fenomenal adala kudeta yang terjadi pada 01 Februari 2021 di Myanmar, tepat sebelum parlemen baru akan dilantik menyusul pemilihan pda November 2020 yang cacat tetapi kredibel di mana partai pilihan militer dikalahkan dengan telak.

Meski tak ramai diberitakan, upaya percobaan kudeta paling anyar terjadi di Guinea-Bissau pada 1 Februari 2022. Beberapa jam kemudian, Presiden Umaro Sissoco Embaló menyatakan kudeta telah berakhir. Kepada media, dia mengatakan bahwa "banyak" anggota pasukan keamanan telah tewas dalam "serangan yang gagal terhadap demokrasi.

Aliansi antidemokrasi

Belakangan ini para pemimpin otoriter tidak lagi terisolasi di dunia yang berjuang menjadi demokratis. Sementara banyak negara demokrasi terus menanggapi pemilu palsu dan kudeta dengan langkah-langkah seperti sanksi dan pemotongan bantuan, para pemimpin dan rezim otoritarian justru secara aktif berkolaborasi satu sama lain untuk menyebarkan bentuk-bentuk baru represi dan menolak tekanan demokrasi.

Dalam beberapa kasus, mereka berkolaborasi secara ekonomis.

Pemerintah Rusia, China, dan Turki misalnya telah memberikan perdagangan dan investasi kepada rezim Venezuela, mengimbangi sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara demokrasi karena pemilihannya yang curang dan tindakan keras terhadap oposisi.

Dalam kasus lain, dukungannya jauh lebih langsung. Selama protes tahun 2020 terhadap pemilu curang di Belarus, Kremlin mengirim propagandis Rusia untuk menggantikan pemogokan jurnalis Belarusia, dan menawarkan pasukan keamanannya untuk mendukung pembubaran demonstrasi dengan kekerasan oleh otoritas Belarusia.

Baca juga: China dan Rusia Sediakan Jet Tempur ke Militer Myanmar untuk Serang Warga Sipil

Bahkan, pengamat pemilu dari Rusia telah menganggap pemungutan suara itu kredibel, meskipun kandidat oposisi dipenjarakan dan kampanye sensor ketat terhadap media independen. Sementara itu, sekutu seperti pemerintah Kuba membela rezim Belarusia di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, di mana 68 persen anggota saat ini adalah negara-negara ‘Bebas Sebagian’ atau pun ‘Tidak Bebas’.

Walau terjadi kekerasan mengerikan yang terkait dengan kudeta militer 2021 di Myanmar, Beijing mencegah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan kecaman yang lebih keras atas perebutan kekuasaan, dan Moskwa telah berusaha untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan junta. Para pemimpin kudeta di Sudan juga dapat mengandalkan teman-teman otokratis mereka untuk dukungan diplomatik dan lainnya, dengan utusan China dan Rusia bekerja untuk meredakan tanggapan di PBB.

Ada pula bukti bahwa mereka berlolaborasi dalam bidang intelijen. Pemerintah Kirgistan misalnya membantu dinas intelijen Turki dalam penculikan Orhan Nand pada Mei 2021, yang menyerahkannya ke Turki untuk menghadapi tuduhan terorisme.

Jenis kolaborasi lain antara otoriter dapat membahayakan seluruh kelompok etnis. Turki pernah menjadi surga bagi penduduk Uyghur yang dianiaya di China, yang bahasa dan budayanya mirip dengan orang-orang Turki.

Tetapi Erdogan, yang dihadapkan dengan ekonomi yang sakit mengubah pendiriannya untuk memenuhi tuntutan Beijing. Pihak berwenang Turki telah mempersulit orang Uyghur untuk mendapatkan dan mempertahankan izin tinggal permanen, dan beberapa ratus dari mereka telah ditahan di pusat-pusat deportasi Turki.

Rezim otoritarian membawa penderitaan

Wajah rezim otoritarian, tak hanya jelek, tapi juga kotor dan menebarkan ketakutan, kemiskinan, bahkan kematian pada warga sipil.

Rezim Erdogan di Turki misalnya telah menutup 149 media, menutup lebih dari 2.000 sekolah dan universitas, memecat lebih dari 120.000 pegawai negeri sipil dan memenjarakan lebih dari 45.000 orang yang diduga pembangkang.

Di Korea Utara, Kim Jong Un sudah bertahun-tahun memperlihatkan pemerintahan paling totaliter di Bumi. Rezim ini mencuci otak 25 juta orang dan meneror mereka dengan eksekusi publik, kelaparan paksa dan jaringan luas kamp konsentrasi yang mengingatkan penyelidik PBB tentang Nazi Jerman dan Kamboja di bawah Pol Pot.

Rezim junta militer Myamar dengan Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing pun demikian. Setelah mengkudeta pemerintahan sipil, rezim Min Aung Hlaing bertindak semena-mena.

Menurut The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), sebanyak 1463 "pahlawan" tercatat meninggal dunia dalam berbagai insiden terkait langsung dengan kudeta. Adapun lembaga pemantau konflik, The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), menyebut angka kematian secara umum mencapai lebih dari 11.000 orang.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat sebanyak 1,6 juta penduduk kehilangan mata pencaharian sejak kudeta setahun silam. Sementara PBB mengabarkan, 350.000 penduduk Myanmar ini berstatus pengungsi domestik.

Fredoom House (2001), menyebutkan secara global, dalam periode 15 tahun terakhir, jumlah negara yang berstatus ‘tidak bebas’mencapai 73 negara, mewakili 75 persen dari populasi global. Mereka yang terkena dampak tidak hanya negara-negara otoriter seperti China, Rusia, Belarusia, dan Venezuela, tetapi juga negara-negara demokrasi bermasalah di benua Amerika, Asia, dan Afrika.

Lihat Foto
GETTY IMAGES via BBC INDONESIA
Putin mengatakan pasukan nuklir diminta dalam status siaga tertinggi karena para pejabat tinggi NATO membiarkan pernyataan-pernyataan yang agresif terhadap Rusia.
Rezim otoritarian ala Vladimir Putin

Pada Juli 2021, Celeste A Wallander merilis sebuah artikel di Journal of Democracy. Artikel bertajuk ‘How the Putin Regime Really Works” merujuk ke dua buku tentang Putin. Buku pertama, karya Kathryn E Stoner berjudul Russia Resurrected: Its Power and Purpose in a New Global Order, terbutan New York: Oxford University Press, (2021). Buku kedua, karya Timothy Frye, berjudul Weak Strongman: The Limits of Power in Putin’s Russia terbitan Princeton University Press, (2021).

Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah Presiden Putin seorang diktator yang sangat berkuasa, dan ancanam demokrasi yang harus ditakuti? Atau, apakah rezim Rusia akan diberhentikan sebagai bayangan pucat masa lalu Soviet dan Tsar, hidup dari hidrokarbon dan cadangan nuklir era Perang Dingin?

Menurut Wallander, kedua buku ini tidak berdebat. Meskipun Timothy Frye berfokus pada cengkeraman rezim pada masyarakat dan Kathryn E Stoner pada kemampuannya di luar negeri, mereka sampai pada kesimpulan umum: tindakan, tujuan, kekuatan, dan kelemahan Rusia berakar pada otokrasi personalistik yang telah terkonsolidasi sejak pemilihan Putin pada tahun 2000. Putinisme adalah sumber kebangkitan Rusia sekaligus biang kerentanan terbesarnya bagi demokrasi kawasan maupun dunia.

Sorotan kedua penulis itu sangat mengena. Pasalnya, Bank Dunia mencatat, dari tahun 2003 hingga 2008, ekonomi Rusia rata-rata tumbuh 7 persen per tahun. Namun, sebagian besar sumber daya ekonomi dimanfaatkan Putin untuk memuaskan para elite rakus, dan sisanya untuk publik.

Oleh karena itu, saat krisis ekonomi global 2008, sanksi internasional yang diberlakukan sejak pencaplokan Crimea tahun 2014, dikombinasikan dengan korupsi akut, dan perilaku bisnis predator, ekonomi Rusia segera berubah menjadi rapuh. Semenjak itu dinamika politik, ekonomi, dan sosial Rusia beroperasi di bawah bayang-bayang figur Putin yang dilabeli sebagai orang kuat yang lemah (strongman weak).

Memasuki tahun 2018, kondisi internal Rusia semakin memanas. Protes pecah di lebih dari 80 kota besar dan kecil.

Menurut Levada Center (2021), Rusia hampir terbagi rata mengenai apakah negara itu berada di jalur yang benar (dengan 49 persen setuju dan 41 persen tidak setuju) menjelang pemilihan legislatif 2021. Persentase tersebut merupakan perubahan substansial dari 2018, ketika angka-angka perbandingannya 60 dan 25 persen.

Melihat tren kepercayaan publik yang kian melemah Putin yang kalut berusaha mengeskpose kekuatan militer Rusia guna mencitrakan diri sebagai pemimpin yang kuat dan negara Rusia yang ‘besar’.

Sementara itu, ia juga mulai tampil sebagai sosok yang tak segan membungkam kebebasan berbicara, melarang kritik sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Bahkan, pada Agustus 2020 meracuni tokoh oposisi politik paling vokal di Rusia, Alexei Navalny.

Dalam hubungan dengan luar negeri Putin semakin aktif berkolaborasi dengan sesama rezim diktator dari negara lain seperti Belarus, Venezuela, China dan Myanmar.

Baca juga: Invasi Rusia Diyakini Tak Akan Terjadi jika Ukraina Masih Punya Senjata Nuklir

Putin juga mencoba meraih kembali pengaruhnya atas tetangganya, Ukraina. Untuk maksud itu, Putin menyebarkan informasi palsu dan menuduh bahwa Ukraina telah disusupi oleh para ekstremis, sejak presidennya yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, digulingkan pada 2014.

Informasi palsu dan tuduhan tersebut dijadikan alasan untuk merebut wilayah selatan Crimea dan memicu pemberontakan di timur, mendukung separatis yang telah memerangi pasukan Ukraina dalam perang yang merenggut 14.000 nyawa.

Rusia juga telah lama menolak langkah Ukraina menuju Uni Eropa dan aliansi militer defensif Barat, NATO. Dengan alasan seperti itu Putin kemudian tanpa rasa malu mengumumkan invasi militer di Ukraina, pada 24 Februari 2022.

Pelajaran berharga

Putin boleh jadi tak menyadari bahwa keputusan menginvasi Ukraina memperburuk citra negatif Rusia dan label dirinya sebagai strongman weak. Di mata dunia, aksi invasi tersebut menegaskan kembali posisi rezim Kremlin Rusia yang tak menghormati Ukraina sebagai negara merdeka, berdaulat dan berdemokrasi; sebagai negara yang sedang membangun peradaban di atas landasan kemanusiaan.

Sebagai bangsa merdeka, berdaulat dan berdemokrasi, kita mengutuk keras invansi Rusia ke Ukraina, dan mendesak Rusia supaya segera mengakhiri invasinya. Sebagai sesama umat manusia, kita semua berutang budi kepada bangsa Ukraina. Sebab mereka mengingatkan kita bahwa kemanusiaan, kemerdekaan, kedaulatan dan demokrasi itu penting untuk dibela.

Terakhir, mereka juga mengingatkan kita bahwa di era berita palsu dan fakta alternatif ini, kebenaran masih penting.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi