Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keppres Serangan Umum 1 Maret Tak Cantumkan Nama Soeharto, Ini Kata Sejarawan

Baca di App
Lihat Foto
IPPHOS
Letkol Soeharto sebagai komandan WK III Yogyakarta mngadakan perlawanan gerilya terhadap Belanda di Yogyakarta dari Desember 1948 hingga Juni 1949
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara tengah menjadi sorotan.

Pasalnya keppres tersebut tidak mencantumkan nama Presiden Soeharto yang disebutkan turut terlibat dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Padahal, Keppres 2/2022 dibuat dengan menimbang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Baca juga: Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada bagian konsiderans huruf c, disebutkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Pada poin tersebut juga menyebutkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), laskar-laskar perjuangan rakyat, serta segenap komponen bangsa Indonesia lainnya.

Dalam keseluruhan isi Keppres tidak ada penyebutan nama Soeharto yang saat Serangan Umum 1 Maret 1949 masih berpangkat Letkol.

Baca juga: Mengenang Sosok Bung Hatta, dari Sepatu Bally hingga Tak Mau Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

Lalu, bagaimana penjelasannya?

Penjelasan Menko Polhukam Mahfud MD

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merespons kontroversi terkait Keppres 2/2022 yang tak mencantumkan nama Soeharto.

Mahfud menjelaskan bahwa keppres tersebut bukanlah buku sejarah, sehingga tidak dapat memuat banyak nama yang telibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Ini bukan buku sejarah, kalau buku sejarah tentu menyebutkan nama orang yang banyak, ini hanya menyebutkan bahwa hari itu adalah hari kedaulatan negara," kata Mahfud dalam keterangan video, dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/3/2022).

Baca juga: Link Twibbon dan Sejarah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta

Mahfud melanjutkan, hanya tokoh-tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dimasukkan dalam bagian konsiderans Keppres 2/2022.

Tokoh-tokoh lain yang berperan pada peristiwa tersebut misalnya Abdul Haris Nasution dan Wiliater Hutagalung juga tidak tercantum dalam Keppres 2/2022.

Menurutnya, kejadian tersebut serupa dengan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada teks proklamasi hanya ditandatangani Soekarno dan Hatta meski upaya kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh orang banyak yang tergabung dalam BPUPKI.

"Ini adalah penentuan hari krusial dan hanya menyebut yang paling atas sebagai penggagas dan penggerak tanpa menghilangkan peran Soeharto sama sekali," kata Mahfud.

Baca juga: Mengenal Saptoto, Seniman di Balik Monumen Serangan Umum 1 Maret

Perbandingan dengan Keppres 2016

Sementara itu, sejarawan dari Pusat Riset Politik BRIN Prof Asvi Warman Adam menjelaskan, persoalan tersebut dengan membandingkan dua keppres tentang hari bersejarah.

Keppres tersebut yakni Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila dan Keppres Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Dia menyebut bahwa diktum pada Keppres 2/2022 kurang solid seperti Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila

"Kedua (Keppres) itu sangat baik tujuan yaitu menyelesaikan kontroversi sejarah. Namun bedanya yang pertama (Keppres Tahun 2016) sangat solid diktum-nya. Yang kedua (Keppres Tahun 2022) kurang solid," katanya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/3/2022).

Asvi berpendapat bahwa diktum pada Keppres 2/2022 perlu ditambah dengan peran Soeharto dan Syafruddin Prawiranegara pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Saya kira lebih baik bila disebutkan serangan umum dilaksanakan di bawah pimpinan overste Soeharto dan terjadi pada periode PDRI (pemerintahan darurat republik indonesia) yang diketuai Syafruddin Prawiranegara," jelasnya.

Baca juga: Uni Eropa: Sejarah dan Daftar Negara Anggotanya

Soal nama Soeharto tak menjadi masalah

Terpisah, sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Kuncoro Hadi berpendapat bahwa kejadian tersebut tidak menjadi permasalahan.

"Penelusuran sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 sudah dilakukan pascareformasi dan memang Sultan HB IX punya peran besar dalam menggagas serangan ini, dan Soeharto menjadi pelaksana," kata dia.

Kuncoro menjelaskan, selama Orde Baru, glorifikasi atas peran Soeharto paling banyak ditonjolkan.

"Puncaknya melalui film Janur Kuning yang selalu diputar di TVRI yang memang menonjolkan kepahlawanan Soeharto," ungkapnya.

Menurutnya, polemik Keppres 2/2022 yang terjadi sekarang tidak seolah-olah menghilangkan sejarah kepahlawanan Soeharto.

"Saya meyakini keppres itu juga tidak dimasukkan untuk sepenuhnya menghapus peran pak Harto," kata Kuncoro.

Baca juga: Perjalanan Soeharto, dari Pangkostrad hingga Jadi Presiden

Sejarah koletif

Adanya kehebohan ini menunjukkan bahwa cara pandang masyakat atas pahlawan harus dibenahi.

Selama ini yang disebut pahlawan, imbuhnya adalah sosok individu yang punya peran signifikan, masyarakat tidak pernah sekalipun mengusulkan atau menempatkan kepahlawanan kolektif.

"Ini seolah hilang dalam historiografi Indonesia. Kepahlawanan itu selalu individu, bukan kolektif," ujar Kuncoro.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Dilantik sebagai Presiden RI Gantikan Soekarno

Kepahlawanan kolektif penting untuk dijadikan sebagai sebuah wacana, agar masyarakat tidak terjebak pada pahlawan individu.

"Maka masyarkat hanya akan berdebat tentang sosok yang paling berperan dan berjasa atas satu peristiwa sejarah," kata dia.

"Hasilnya, begitu narasinya diubah sedikit saja, berdebatan akan muncul, persis seperti yang hadir atas keluarnya keppres itu," lanjutnya.

Baca juga: Mengenang Kelahiran Soekarno, Sosok dan Ajarannya

Kuncoro menjelaskan, rezim kekuasaan juga memiliki peran besar dalam membentuk sejarah yang diyakini pada setiap generasi tertentu.

"Nah dititik ini maka menjadi wajar, orang-orang yang mungkin tidak memahami sejarah, atau belajar sejarah, hanya mendapat narasi sejarah dari bacaan sekilas," jelasnya.

"Misal generasi Orde Baru pasti mendapat narasi sejarah versi Orde Baru yang terus menerus ditanamkan dan itu yang dipahami dan sepertinya sampai sekarang itu yang masih kuat beredar dimasyarakat, bereaksi ketika Soeharto tidak disebutkan dalam keppres itu," lanjutnya.

Baca juga: 5 Fakta Film G30S/PKI, dari Film Wajib Era Soeharto hingga Pecahkan Rekor Penonton

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi