Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Dihantui Angka-angka Khayalan

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi matematika
Editor: Sandro Gatra

AKIBAT dungu matematika maka saya menggagas angkamologi. Dalam asyik mempelajari angkamologi saya menjumpai kisah tentang dua pemuda Mesir, Ahmed dan Mohammed Abd er-Rassul, mencuri naskah yang ditulis di atas papirus memuat rumusan matematikal dari makam kuno di Deir el-Bahri.

Naskah purba itu dijual ke matematikawan Rusia, V.S. Golenischchev lalu pada tahun 1912 diserahkan ke Museum Kesenian di Moscow yang kemudian tersohor sebagai Moscow Mathematical Papyrus.

Baru setelah hiroglif di papirus arkeologis itu diterjemahkan ke bahasa Rusia dapat tersadari betapa dahsyat masyarakat Mesir Kuno sudah menghayati matematika sehingga berhasil menggubah formula V=1/3h (a2+ab+b2) untuk mengukur frustum piramida.

Formula yang tersurat di Moscow Mathematical Papyrus sebagai problem ke XIV tersebut menakjubkan tentang bagaimana para matematikawan/wati Mesir kuno berhasil menemukannya tanpa pengetahuan tentang integral kalkulus.

Naskah papirus purba itu kemudian evolutif menjurus ke kesadaran tentang unit problematika akar kuadrat terhadap sebuah angka minus yang secara simbolik kemudian disebut dalam aksara Yunani sebagai “i”.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat memang belum banyak yang memperhatikan masalah akar kuadrat terhadap angka minus, maka memang harus diakui bahwa i tidak sepopuler pi (maaf saya tidak bisa menggunakan aksara Yunani untuk pi dengan laptop jadul sambil awam saya).

Konon pada abad XI Heron dari Aleksandria sudah sempat mengenal i, namun tidak berkembang ke arah pengakarannya.

Sementara para metamatikawan Abad Pertengahan menganggap masalah akar kuadrat terhadap angka minus sebagai omong-kosong mubazir tentang sebuah masalah yang dicari-cari, padahal bukan masalah.

Pada masa Descrates, penggunaan teoritis terhadap akar kuadrat terhadap angka minus dianggap sebagai elusif kini dikenal dengan julukan imaginary numbers (angka-angka khayalan) memicu polemik sengit tanpa berhasil menemukan titik temu solutif yang sempurna.

Pada era Napoleonitan, i berhasil diterima kehadirannya meski masih dicurigai kebenarannya.

Bahkan Penguin Dictionary of Mathematics menghindar pemaknaan imaginary number dengan merujuk ke complex number.

Sementara ensiklopedia Britannica secara mengambang memaknakan imaginary numbers sebagai “any product of the form ai, in which a is a real number and i is the imaginary unit defined as square root of √−1”.

Namun kemudian sejak akhir abad XIX, eksistensi i tidak diperdebatkan lagi sebab mulai asyik diterapkan untuk memecahkan problematika analisa kompleks dan fisika teoretikal.

Pada masa kini i sangat berperan dalam mendukung terapan engineering elektrikal sampai ke aeronautikal bahkan astrofisikal termutakhir.

Sebagai seorang awam jelata pembelajar matematika, tentu saja saya hanya manggut-manggut alias manut apa kata para matematikawan/wanti tanpa berani berkutik untuk bertanya apalagi mengoreksi.

Meski sebenarnya saya masih belum kunjung mengerti tentang kenapa i digunakan sebagai simbol angka-angka khayalan yang secara deduktif layak disimpulkan bahwa pi digunakan sebagai simbol angka-angka tidak khayalan.

Saya masih belum bisa memahami alasan diskriminatif membedakan akar kuadrat angka minus dari akar kuadrat angka tidak minus.

Bahkan saya masih dihantui diskriminasi angkamologis yang kemudian korbannya disebut sebagai imajiner alias khayalan belaka itu sendiri.

Jika memang ada angka imajiner lalu apakah ada angka yang tidak imajiner alias bukan khayalan belaka? Jika memang ada lalu bagaimana nasibnya?

Demi tidak mubazir memperumit masalah sebaiknya saya tidak bertanya jika tidak ada.

Rentetan kehantuan itu memang merupakan lanjutan dari kehantuan saya terhadap tanda minus.

Sampai kini saya masih belum pernah melihat kenyataan minus dua telur ayam atau dua ekor ayam sebagai kenyataan yang terindra oleh indra lihat apalagi indra raba saya.

Sama halnya saya masih dihantui bingungologi inkonsistensi makna aritmatikal tanda minus itu sendiri akibat angka minus ditambahi atau dikurangi angka minus bisa sama dengan angka plus atau angka minus terkait konstelasi angka-angka yang ditambahkan atau dikurangkan, namun angka minus dikali angka minus mau tak mau dipaksa harus suka tak suka menjadi sama dengan angka plus.

Di samping sebenarnya saya juga dihantui oleh angka irasional dan angka kompleks. Maklum saya memang dungu matematika.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi