Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Bergabung sejak: 25 Nov 2021

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Bahar dan Pembunuhan Demokrasi oleh Pasukan Sipil

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/HANDINING
Ilustrasi
Editor: Sandro Gatra

SERANGAN konten pasukan siber kadang membuat jera, kapok para korbannya. Aspek jera itu bisa dikaitkan dengan metode serangan dengan materi informasi tendensius, pelecehan, dan intensitas tinggi.

“Serangan mematikan” pernah dialami oleh ekonom senior Indonesia sekaligus mantan menteri bidang ekonomi masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie.

Ketika menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo, respons para influenser maupun buzzer mengejutkannya dan membuat dia terdiam, tidak berani bersikap kritis lagi terhadap rezim saat ini. Seperti diunggah dalam twitter miliknya pada 6 Februari 2021.

"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam. tidak sekalipun ada masalah," tulis Kwik Kian Gie.

Survei Digital Civility Index/DCI terhadap 16.051 responden berusia 18-74 tahun di 32 negara pada 22 April - 15 Mei 2020 menunjukkan, indeks kesopanan digital (DCI) di Indonesia paling buruk se-Asia Pasifik pada 2020. Skornya mencapai 76 poin.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

 

Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Ruang Publik Acakadut!

Elemen terburuk yang paling besar adalah hoaks dan penipuan sebesar 47 persen, ujaran kebencian sebesar 27 persen, diskriminasi 13 persen (Microsoft.com, Februari 2021, dikutip dari https://databoks.katadata.co.id).

“Apa yang menjadikan dengungan dari media sosial begitu bising, memekakkan, dan membuat korban jantungan?” tanya Bahar kepada dosennya.

Serangan dalam bentuk trolling atau pelecehan dan laporan massal atau bertubi-tubi dan serempak menumbuhkan kesan sesuatu persoalan di-blow up secara masif.

Samantha Bradshaw,dkk dalam Computational Propaganda Research Project, 2020, menunjukkan, terdapat tujuh negara yang para pasukan sibernya menerapkan laporan konten dan akun secara massal, operasionalnya dikurasi oleh manusia maupun otomatis atau mesin.

Di luar metode serangan massal, strategi lain yang lebih banyak dipakai oleh 76 negara, mereka menerapkan disinformasi dan manipulasi media untuk menyesatkan pengguna, kemudian trolling terhadap kawan politik, jurnalis, dan orang-orang kritis (59 negara).

Kapasitas organisasi, anggaran, dan taktik propaganda menentukan berapa besar efektivitas serangan pasukan siber.

Di Indonesia dan negara-negara lain terdapat “pasukan siber” yang permanen dan temporer.

Pasukan temporer ini bekerja pada isu-isu penting tertentu, misalnya, momentum pemilihan umum atau momentum besar lainnya.

Sementara pasukan yang permanen bekerja sepanjang dipakai rutin oleh pengguna, di antaranya pemerintah dan partai politik.

Dalam pasukan disinformasi yang kuat dari segi dukungan dana dan organisasi, aspek laporan massal menjadi prioritas agar pola kerjanya cepat dan tepat sasaran.

Mengutip dokumen pemerintah Venezuela, 2018, yang bocor ke publik, Computational Propaganda Research Project, 2020 menunjukkan model kerja militer yang diterapkan kepada pasukan siber.

Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Pasukan Siber

Setiap kru bisa mengelola 23 akun. Pasukan itu dibagi dalam sub-sub kelompok yang bervariasi dari sepuluh orang, 50 orang, 100 orang (battalion), dan 500 orang (brigade), yang bisa mengoperasikan 11.500 akun.

Kapasitas pasukan siber ditentukan oleh kekuatan penopang dana. Catatan dari riset itu, ada pengeluaran besar dari pemerintah tertentu untuk mendanai perusahan swasta sebagai operator propaganda.

Terdapat tiga kategori kapasitas pasukan siber:

1. Kapasitas tinggi dengan karakter jumlah staf dan anggaran besar, bekerja permanen.

Kondisi ini berlaku pada pasukan siber di Australia, China, Mesir, India, Iran, Irak, Israel, Myanmar, Pakistan, Filipina, Rusia, Arab Saudi, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, Amerika Serikat, Venezuela, dan Vietnam.

2. Kapasitas sedang menggunakan pekerja sepenuh waktu sepanjang tahun, aktif mengontrol dan menyebarkan informasi, melakukan sejumlah eksperimen dalam strategi untuk manipulasi media sosial.

Kapasitas pasukan siber di Indonesia masuk kapasitas sedang, bersama sejumlah negara lainnya, yaitu Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Brasil, Kamboja, Kuba, Republik Ceko, Eritrea, Ethiopia, Georgia, Guatemala, Hongaria, Kazakhstan, Kenya, Kuwait, Lebanon, Libya, Malaysia , Malta, Meksiko, Nigeria, Korea Utara, Polandia, Rwanda, Korea Selatan, Sri Lanka, Suriah, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Turki, dan Yaman.

3. Kapasitas rendah pasukan sibernya berlaku pada negara Angola, Argentina, Bosnia & Herzegovina, Kolombia, Costa Rika, Kroasia, Ekuador, El Salvador, Jerman, Ghana, Yunani, Honduras, Italia, Kirgistan, Moldova, Belanda, Oman, Qatar, Republik Makedonia Utara, Serbia, Afrika Selatan, Spanyol, Sudan, Swedia, Tunisia, Uzbekistan, dan Zimbabwe.

Pasukan siber mereka aktif secara temporer dan timnya kecil.

Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Serangan Pasukan Siber Penguasa

Pasukan siber Indonesia

Riset Inside Indonesia menunjukkan para pasukan siber Indonesia dikendalikan oleh sejumlah politisi senior, di lingkungan menteri atau dalam lingkaran pemerintah dan pengusaha kaya.

Yatun, dkk dalam tulisan Ancaman Pasukan Siber (The threat of Cyber Troops), para elemen kekuasaan dan pengusaha atau orang-orang kaya menggunakan pasukan siber untuk mengelola target dan kepentingan tertentu.

Terdapat juga elite ekonomi yang mempekerjakan mereka untuk menarik dukungan publik dalam mendorong kebijakan pemerintah yang menjadi concern kepentingan pengusaha.

Dicontohkan, kasus Omnibus Law UU Cipta Kerja dan pembenahan KPK.

Kajian lain yang dilaporkan Wijayanto & Ward Berenschot dalam tulisan Pengorganisasian dan Pendanaan Propaganda Media Sosial, karakter pasukan siber di Indonesia berbeda dengan negara lain.

Dia memastikan pasukan siber di negeri ini bersifat fleksibel dan tidak terorganisasi secara profesional.

Awalnya mengorganisasiannya mereka mirip tim sukses kampanye, sesudah even itu selesai, mereka mengorganisasikan dalam bentuk tim lain.

Platform yang mereka gunakan terbatas seperti Twitter, Facebook, Instagram.

Laporan Wijayanto mengacu data hasil wawancara terhadap 78 anggota pasukan siber, delapan di antara mereka perempuan.

Mereka dari kalangan muda yang berusia di bawah 45 tahun, 65 persen pendidikan sarjana.

Beberapa metode kerja mereka seperti disebut dalam Computational Propaganda Research Project, 2020, yaitu menyebar informasi dalam bentuk trolling atau pelecehan, metode disribusi informasi secara massal (seorang buzzer mengelola 10-300 akun twitter), dan akun itu anonim alias palsu.

Tetapi mereka memiliki akun resmi yang disebut “akun jenderal” yang digunakan secara terkoordinasi bersama akun-akun lainnya.

Sebagian aktor pasukan itu adalah influenser, sebagian lainnya pasukan biasa yang memiliki keahlian komputasi dan internet, serta menyebarkan informasi.

Riset Inside Indonesia menunjukkan pembagian tugas yang berbeda. Para aktor yang mengelola akun dan mendistribusikan informasi dibedakan dengan pasukan yang memproduksi konten dalam bentuk narasi, meme, dan tagar.

Contoh tagar yang popular #KPKTaliban dalam kasus pembersihan kelompok Novel Baswedan di KPK.

Para pengelola platform dan produsen konten dipimpin oleh koordinator. Koordinator atau manager yang berhubungan dengan klien itu menentukan siapa pengguna atau user mereka, jenis produk konten, kapan waktu, dan target operasional propangada mereka.

Dalam kajian Computational Propaganda Research Project, nama aktor propaganda atau pasukan disinformasi tidak dimunculkan.

Namun situasi di Indonesia berbeda, para influenser dalam pasukan siber laksana selebriti, yang namanya sohor, misalnya Denny Siregar (1,1 juta pengikut), Eko Kuntadhi (149.000), atau Rudi Valinka (353.000).

Influncer yang diwawancara dalam riset Inside Indonesia mendapat bayaran secara paket.

Dalam kasus Pemilu 2019, seorang influenser bisa meraup honor Rp 20 juta dari tiap isu tertentu yang dimainkan, yang diperoleh dari kandidat calon presiden tertentu.

Koordinator pasukan buzzer bisa meraih Rp 200.000 per akun diakumulasi sesuai jumlah akun yang dikelola anggota pasukannya, anggota pasukan mendapat honor Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per akun.

Epilog

Menutup laporan Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation, Samantha Bradshaw,dkk mengajukan suatu otokritik biner.

Pertama, platform media sosial dapat menjadi bagian penting mendukung institusi demokrasi. Konten media sosial idealnya memperkuat demokrasi dengan informasi berkualitas tinggi.

Demokrasi yang ideal dan kuat membutuhkan akses informasi, di mana warga negara dapat berkumpul untuk berdebat, berdiskusi, berunding, berempati, membuat konsesi dan bekerja menuju konsensus.

Kedua, banyak bukti bahwa platform sosial media digunakan untuk menyajikan disinformasi yang dikelola pemerintah besar, partai politik, dan koneksi atau mitra mereka pada perusahaan publik di sektor informasi strategis.

Bahar bertanya, “adakah demokrasi informasi dalam ruang publik yang diacak-acak para pasukan siber?”

Dalam era kontemporer, demokrasi informasi adalah isapan jempol. Ketika kata demokrasi disebut, maka di balik ideom politik yang magis itu terselip target sesungguhnya adalah kekuasaan.

Bentuk propaganda ataupun dalam pengertian sempit disinformasi adalah representasi proses merebut, mengendalikan, dan mengelola kekuasaan.

Tesis ini merujuk pada pendapat Manuel Castell bahwa kekuasaan tidak lebih dari komunikasi, dan komunikasi lebih dari bagaimana mengkuasai informasi, karena informasi itu adalah kekuasaan.

Maka kekuasan bergantung pada kontrol komunikasi dan informasi.

Begitu juga sebaliknya, para pemimpin, partai politik yang ingin merebut kekuasaan bergantung pada strategi counterpower komunikasi dan informasi.

Para elite politik, ekonomi, dan lainnya bisa mencapai kekuasaan politik dan ekonomi mereka serta menyingkirkan musuh-musuhnya ketika mereka mampu memengaruhi secara asimetris keputusan aktor sosial lainnya dengan mengelola informasi dan komunikasi yang selaras dengan kepentingan dan nilai-nilai yang menjadi tujuan kekuasaannya (Castells, 2009).

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi