Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Kapitalisme Fosil dan Perang Rusia Vs Ukraina

Baca di App
Lihat Foto
GETTY IMAGES via BBC INDONESIA
Sebuah mobil hancur lebur setelah pasukan Rusia membombardir Kota Kharkiv, Ukraina, 1 Maret 2022.
Editor: Egidius Patnistik

DASAR falsafah individualisme bangsa menimbulkan kapitalisme dan imperialisme yang menjerumuskan negara-negara ke dalam peperangan. Begitu cuplikan isi Soekarno pada Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Minggu 15 Juli 1945 di Jakarta. Saat itu, Soekarno adalah Ketua Panitia Hukum Dasar BPUPKI untuk Indonesia merdeka.

Pesan Soekarno itu menembus zaman hingga hari-hari perang Rusia vs Ukrainia pecah sejak 24 Februari 2022.

“This is a fossil fuel war!” tulis Oliver Milman diThe Guardian edisi Rabu 9 Maret 2022. Hari-hari ini kapitalisme fosil – gas dan minyak- menyeret lebih dari 30 negara ke dalam “bencana geopolitik” (geopolitic catastrophe) episentrum perang Rusia vs Ukraina.

Baca juga: Biden: Dorongan Produksi Energi Fosil Tak Konsisten dengan Tujuan Iklim

Oliver Milman mengutip ahli lingkungan Svitlana Krakovska asal Ukraina yang mengatakan bahwa konsumsi minyak, gas dan batu-bara memicu pemanasan global (global warming). Rusia jual sumber-sumber daya alam (SDA) untuk membeli senjata. Perang Rusia vs Ukraina adalah perang bahan-bakar fosil.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Svitlana Krakovska termasuk satu dari 234 ahli perubahan iklim Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merilis hasil riset dan kajian tahun 2021. Dari Geneva, Swiss, pada 9 Agustus 2021, IPCC merilis laporan ilmiah 3.000 halaman tentang risiko perubahan iklim pra dan pasca-tahun 2030-an.

Laporan IPCC itu mengingatkan, saat ini suhu global naik 1,1 derajat Celsius sejak abad 19 M, atau level tertinggi selama 100 tahun terakhir. Manusia adalah penyebab utama lonjakan pemanasan planet Bumi sejak era pra-industri hingga abad 17 M. Kegiatan manusia memicu pelepasan gas-gas yang ‘menangkap’ panas, khususnya karbon dioksida (CO2) dan methane.

IPCC menyebut tahun 2021 dengan label ‘code re for humanity’ atau kode merah kehidupan manusia dan peradabannya di Bumi.

Kapitalisme fosil dan ideologi

Krisis energi di negara-negara Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Serikat tahun 1973 dan 1979, memicu berbagai negara merumuskan energi-fosil (minyak, batu-bara, gas) sebagai unsur strategis keamanan negara. Sisi sosial-ekonomi krisis itu  selain elitis, juga dipicu oleh konflik kendali akses, produksi, dan distribusi bahan-bakar fosil.

Kita lihat data global. Hasil riset Cleveland (2007), sekitar 1,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses ke listrik dan 2,4 miliar penduduk bergantung pada bahan bakar biomass, misalnya sampah, kayu, dan charcoal.

Di zona Sub-Sahara Afrika, sekitar 75 persen sumber bahan bakar kehidupan sehari-hari berasal dari biomass (Mwampamba 2007). Masyarakat Sub-Sahara Afrika lazim dilabel  ‘low-energy society’—rezim energi bersumber dari alam biologis misalnya mata-hari, tenaga hewan atau kuda, kayu, aliran air dan angin (Marks 2002, cited in Huber 2009a; Hall et al. 2003: 318).

Secara umum, masyarakat pra-revolusi industri di Eropa Barat, menurut Wrigley (2010), juga temasuk ‘low energy-society’ dan tata-masyarakat ekonomi organik dengan pasokan bahan bakar dari air, angin, atau matahari.

Di sisi lain, tata masyarakat bahan-bakar fosil berasal dari masyarakat ekonomi industri. Masyarakat bahan bakar fosil disebut masyarakat ‘high-energy’ atau energi hasil ekstraksi SDA.

Sejak revolusi industri abad 18 M di Eropa Barat, tata-masyarakat dunia terpateri ke dalam sistem energi fosil ini. Dari sini lahir tata masyarakat ekonomi non-organik.

Kelahiran kapitalisme fosil di Eropa sejak akhir abad 18 M berawal dari revolusi energi. Misalnya, produsen-produsen makin mengandalkan bahan bakar batu-bara yang melahirkan akumulasi kapital, khususnya kapitalisme fosil (Malm, 2016). Batu-bara melayani lonjakan kebutuhan energi abad 18-19 di Eropa (Smil, 2010). Tata sosial-ekonomi-politik masyarakat industri akhirnya makin bergantung pada poduksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil yang memicu ekspansi cepat dan skala besar-global industri-industri gas alam, minyak dan batu-bara.

Berikutnya, keamanan pasokan energi makin penting secara geopolitik. Sebab sejak abad 19 M, sistem senjata semakin mekanis dan bergantung pada pasokan energi (Farrel et al., 2004). Sejak itu, keamanan energi nyaris sinonim dengan diversifikasi sumber-sumber bahan bakar. Maka Angkatan Laut Inggris, misalnya, beralih dari bahan bakar batu-bara ke minyak ketika bersaing dengan Jerman (Labba, 2011: 327).

Perusahan-perusahan gas alam, batu-bara dan minyak meraup untung sangat besar dan mengendalikan cadangan-cadangan SDA hingga produksi industri di berbagai negara. Kini enam dari perusahan papan atas kapitalis fosil dari sektor minyak dan gas (Fortune, 2019) termasuk dalam daftar 500 perusahan paling kaya di dunia. Hasil riset Wilson et al. (2017)
menyebut bahwa jaringan ke-6 perusahan ini mampu memengaruhi dan mengendalikan
pola hubungan budaya, ideologis, politik, dan ekonomi masyarakat berbagai negara.

Mengapa kapitalisme fosil begitu perkasa? Alasannya, menurut Boyer (2014) dan Unruh (2000), mata-rantai korporasi kapitalis fosil mengontrol produksi, keahlian sumber daya manusia (SDM), informasi, infastruktur, jaringan ekonomi, IPTEK, dan jaringan sosial masyarakat.

Szabo (2021:94) bahkan menyebut kekuatan kapitalisme fosil mengendalikan basis-basis SDA, infrastruktur pipanisasi, legal-teknis produksi, distribusi, perdagangan, geopolitik, dan ideologi pada berbagai zona dunia. Maka isu geopolitik energi menjadi penting, sebab akumulasi kapital fosil mensyaratkan stabilitas kawasan.

Namun, akhir-akhir ini, oposisi terhadap kapitalisme fosil meningkat di berbagai negara. Alasannya, masyarakat global berupaya beralih ke sistem energi ramah-lingkungan atau de-karbonisasi (Scrase et al., 2009).

Namun, upaya peralihan ke sistem energi karbon rendah atau zero-emisi-karbon, membutuhkan modal dan IPTEK. Di sisi lain, kapitalisme fosil masih gigih menawarkan keuntungan ke para pemegang rezimnya dan menciptakan ketergantungan masyarakat pada energi fosil kini dan masa datang.

Kapitalisme fosil dan konflik kawasan

Mengapa ekstraksi SDA (kapitalisme fosil) memicu risiko konflik atau perang? Sebab ekstraksi SDA memicu perubahan skala dan geografi aliran fisik, misalnya peralihan karbon skala besar dari stok litosfer ke atmosfer akibat pembakaran batu-bara, minyak, dan gas. Berikutnya, ekstraksi SDA memicu perubahan organisasi dan geografi kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat (Foster 1999, Clark et al., 2005).

Tidak seperti sumber energi dari angin, air atau matahari, bahan bakar fosil dapat diproduksi dan mobile sesuai pilihan dan kepentingan pemilik modal yang memungkinkan pemusatan produksi secara geografis. Ekstraksi SDA juga menciptakan pemusatan modal, teknologi, dan infrastuktur hingga kendali harga skala besar. Dari sini pula bibit-bibit konflik antara lain risiko bencana-geopolitik.

Baca juga: Warga Berbaris 7 Kilometer, Unjuk Rasa Tolak Monopoli Gas Rusia

Bubarnya imperium Uni Soviet tahun 1991 seakan membawa harapan baru bagi negera-negara sumber-sumber energi fosil dunia. Sehingga negara-negara eksportir minyak (OPEC) tidak lagi memegang kendali pasar bahan bakar fosil. Potensi hidrokarbon dari zona Laut Kaspia,  misalnya, dapat meningkatkan keamanan pasokan energi dan aliran investasi ke produksi bahan bahar di zona-zona bekas Uni Soviet, khususnya Rusia.

Kolaborasi Amerika Serikat (AS) dan Rusia dalam perang melawan terorisme pasca-tragedi serangan teror ke World Trade Center (WTC) dan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) tahun 2001, sekilas memompa prospek zona Rusia dkk menggantikan posisi OPEC sebagai pemasok bahan bakar fosil dunia. Sehingga negara-negara bekas Uni Soviet berupaya menjadi mitra perusahan minyak asal AS atau negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pilihannya antara lain cadangan hidrokarbon di zona Laut Kaspia (Labban, 2009).

Namun, melalui badan usaha milik negara (BUMN), Rusia memperkuat kontrol negara terhadap sektor migas.

AS menyerang Irak tahun 2003. Akibatnya, sektor hulu migas Rusia tertutup bagi korporasi minyak asal Eropa Barat dan AS (NATO). Di sisi lain, Rusia menjalin mitra dengan negara-negara OPEC guna mengendalikan pasar. Bahkan sasarannya antara lain pembentukan kartel gas alam.

Saat ini, migas ibarat arteri atau nadi ekonomi Rusia. Rusia adalah produser minyak ke-3 terbesar dunia, setelah Arab Saudi dan AS. Uni Eropa selama ini mendapat pasokan sekitar 40 persen gas Rusia; AS mengimpor 3 persen minyak dari Rusia; Inggris mengimpor sekitar 6 persen dari minyak Rusia (Milman, 2022). Karena itu, AS dan Uni Eropa menghentikan pasokan bahan bakar fosil (minyak dan gas) dari Rusia, untuk membekukan mobilitas mesin perang Rusia dalam perang melawan Ukraina.

AS melobi Venezuela agar menaikkan produksi minyak sekitar 400 ribu barel per hari. Sehingga Venezuela memproduksi 1,2 juta barel minyak per hari yang dapat menggantikan pasokan minyak dari Rusia. Namun, Venezuela sulit pada jangka pendek mengisi kebutuhan bahan bakar fosil Uni Eropa. Alasannya, tulis Harvey, Uni Eropa bergantung pada pasokan sekitar 40 persen gas alam dari Rusia per tahun.

Kini negara-negara Uni Eropa merasakan risiko ketergantungan pada gas Rusia. Apalagi usai pandemi Covid-19 dan kebijakan lock-down berbagai negara, terjadi lonjakan harga gas dunia. Maka pipanisasi gas Nord Stream 2 dari Rusia melalui zona Baltik ke Jerman makin memicu konflik. Sebab inagurasi Nord Stream 1 -pipanisasi gas dari Rusia ke Eropa
Barat- dihadiri oleh para pimpinan kunci Uni Eropa misalnya Jerman, Perancis, dan Belanda.

Baca juga: China Bebas Dari Energi Fosil Tahun 2060, Indonesia Kapan?

Nord Stream 1 tidak melanggar Energy Treaty Charter, khususnya lingkungan, militer, jalur
tradisional distribusi bahan bakar fosil, dan keamanan Eropa.

Sedangkan Nord Stream 2 dengan nilai investasi 11 miliar dollar AS, memicu oposisi dari Polandia sebab pipanisasi gas offshore (lepas-pantai) dari Rusia-Laut Baltik ke Jerman,
berisiko mengundang kehadiran militer Rusia ke zona Polandia. Swedia juga menolak Nord
Stream 2, sebab rutenya menyimpang dari rute tadisional aliran gas yakni Ceko, Slovakia,
Ukraina, Belarus, dan Polandia.

Nord Stream 2 juga dianggap melanggar Energy Treaty Charter. Konstruksi Nord Stream 2 sepanjang 1.200 km sudah selesai tahun 2021. Namun, belum ada pasokan gas dari Rusia ke Jerman. Alasannya, Kanselir Jerman Olalf Scholz menunda proyek ini awal Maret 2022 sebagai protes terhadap serangan Rusia ke Ukraina.

Di sisi lain, Uni Eropa berupaya mengakhiri ketergantungan pasokan gas dari Rusia. Tahun 2021, pekan ke-3 Oktober, pimpinan Uni Eropa (UE) mendesak 27 negara anggota UE mempercepat transisi dari energi fosil ke energi bersih-ramah lingkungan. Maka di kota

Brussel (Belgia), 20 Oktober 2021, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mendorong anggota Uni Eropa mempercepat transisi ke sumber tenaga surya dan angin. Karena ketergantungan 27 negara UE pada 90% pasokan gas alam impor membuat UE sangat rentan terhadap pasokan gas alam asal Gazprom, Rusia (Raf Casert, 2021).

Kini kapitalisme semakin mendapat peluang dari perang Rusia vs Ukraina. Raksasa bahan bakar fosil misalnya, Shell, British Petroleum, atau Exxon meraup untung. Antara lain
karena harga minyak naik hingga 130 dollar AS per barel awal Maret 2022. Khususnya usai Presiden AS Joe Biden dari Briefing Room, Gedung Putih (Washington), 8 Maret 2022, merilis arah kebijakan energi AS: “Today I’m announcing the United States is targeting the main artery of Russia’s economy. We’re banning all imports of Russian oil and gas and energy.”

AS menghentikan semua impor minyak, batu-bara, dan gas LNG (liquefied natural gas) asal Rusia. Kebijakan ini adalah hasil koordinasi AS dengan sekutu-sekutu AS dan NATO. Presiden Biden juga merilis kebijakan bantuan militer 1 miliar dollar AS ke Ukraina.

Akibat mata-rantai sanksi ekonomi NATO dan AS ini, mata uang Rusia, ruble anjlok hingga 50 persen di pasar global dan sekitar 330 perusahan internasional, misalnya Visa, Mastercard, American Express, Nike, Apple, keluar atau menghentikan operasi di Rusia. Sedangkan harga gas juga naik sekitar 75 sen dollar AS di AS.

AS berupaya merilis cadangan sekitar 60 juta barel minyak -30 juta barel dari AS untuk menjamin keamanan pasokan energi dunia. Sedangkan Rusia juga siap “perang” bahan bakar fosil dan menjamin keamanan pasokan energi dunia.

Misalnya, Nikolai Kobrinets, direktur kerjasama Eropa-Rusia berupaya menjamin : “Russia
remains a reliable supplier, a world-class guarantor of energy security.” Sedangkan Komisi
Eropa merilis rencana penghentian pasokan bahan bakar asal Rusia pada 2027 dan
pengurangan 2/3 pasolan gas akhir 2022 (Critchlow, 2022).

Weir (2009) mengutip hasil riset Claudia Kemfert, ahli energi pada German Institute for Economic Research di Munich, Jerman : “When there are problems on these transit
routes, this brings insecurity to the energy markets...At the end of the day, [Europe] still has
a huge dependency on Russian energy, and this is a little bit dangerous.” Jadi, gangguan
transit energi asal Rusia melalui Ukraina ke Eropa memicu risiko keamanan pasar energi di Eropa. Tahun 2008, Ukraina membayar 180 dollar AS per m2 gas asal Rusia. Harga itu jauh dibawah harga pasar Eropa. BUMN gas Rusia, Gazprom, ingin harga 418 dollar AS per m2 untuk kontrak berakhir 2009.

Rusia berupaya mengurangi ketergantungan pada konsumen gas Eropa melalui Ukraina. Apalagi Ukraina, tulis Eberhart (2014) adalah sarang korupsi dari cadangan gas ke-3 terbesar untuk Eropa sebesar 42 triliun cubic-feet dari Rusia. Namun, di sini pula, sarang korupsi dan konspirasi. Akibatnya, tahun 2008, Ukraina sulit membayar utang jual-beli gas sebesar 1,5 miliar dollar AS ke Rusia. Maka Rusia ingin keluar dari perangkap korupsi dan ketergangungan pada rute Ukraina.

Baca juga: Utang Gas Ukraina Kian Bertumpuk

Karena itu, akhir Februari 2020, Gazprom, BUMN eksportir gas Rusia, menandatangan kontrak pipanisasi gas Soyuz Vostok melalui Mongolia ke Tiongkok. Pipa gas Soyuz Vostok akan memasok sekitar 50 miliar m2 (billion cubic meters/bcm) gas alam dari Rusia ke Tiongkok. Tujuannya, Rusia siap-siap menghadapi sanksi dari AS dan Eropa.

Jumat, 4 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing, Tiongkok. Hasilnya, kesepakatan Gazprom memasok CNPC (BUMN gas Tiongkok) 10 miliar m2 per tahun melalui pipa gas Rusia ke Tiongkok. Jika harga gas 150 dollar AS per 1000 m2, hasil penjualan gas berkisar 37,5 miliar selama 25 tahun.

Sedangkan rakasa minyak Rusia, Rosneft, memasok sekitar 100 juta ton minyak dengan harga 80 miliar dollar AS melalui Kazakhstan selama 10 tahun ke Tiongkok. Maka perubahan peta keamanan energi dan perimbangan produksi-konsumsi energi ini memengaruhi pula dinamika geopolitik kawasan di Eropa dan Asia (Tiongkok). Aktor-aktor utama dan kepentingannya, tidak lain dari individu-individu pada lingkaran-inti atau elite sistem energi fosil dan kapitalisme fosil. Kepentingan individu-individu dan kapitalisme fosil akhirnya memicu risiko bencana-geopolitik berupa konflik dan gesekan kawasan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi