Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mantan Wartawan
Bergabung sejak: 6 Okt 2021

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Manhaj NU, Staqufiyah dan Masail Fiqhiyah

Baca di App
Lihat Foto
-
Nahdlatul Ulama.
Editor: Sandro Gatra

Problem Ortodoksi

SETELAH mengurai sebagian benang kusut yang membelit selama ratusan tahun, kini mulai dirasa mendesak untuk mengikhtiarkan solusi.

Kalau tidak, maka manusia hanya akan berputar-putar di persoalan yang sama sambil terus mendaur ulang cara-cara lama sebagai solusinya.

Di kalangan umat Islam, terdapat sejumlah masail fiqhiyah --masalah-masalah ortodoksi. Nilai-nilai ini dikompilasi dan dijalankan dalam mengelola kemaslahatan umat.

Menjadi problem, karena sementara umat belum siap meninggalkan cara pandang lama, sedang problematika sosial berkejar-kejaran tak pernah putus.

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Khilafah Utsmaniyah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu masalah belum tuntas diurai, sudah muncul problem baru yang lebih complicated. Belum sepenuhnya kita bisa membuktikan keunggulan suatu pendekatan, sudah disusul dengan tantangan baru.

Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari kita yang menganggap itu bukan "masalahnya".

Bahkan bagi sementara kalangan, tafsir atas ortodoksi tertentu harus dipertahankan, dilestarikan, dan dijaga sustainabilitasnya. Jangan sampai tersentuh perubahan.

Padahal ia bukan kitab suci. Ia kumpulan pendekatan ijtihadiyah, sehingga saat problem berubah, ia bisa diadaptasi untuk mendapat penyesuaian konsep ijtihadiyahnya yang lebih tepat.

Ia mesti diadaptasi sesuai dinamika. Tapi, inilah yang jadi marji' pemerintahan "Islam" mengelola umat selama ini.

Mari duduk bersama. Jeda sebentar. Merenungi, mengurai dan membuat kesimpulan. Akuilah! Ada sejumlah pecahan ortodoksi yang dayanya menurun dalam menyerap dan menyediakan solusi bagi masalah umat di awal millenium ini.

Dalam kadar tertentu, ia malah jadi faktor yang potensial menghambat pembagunan peradaban yang lebih cepat, pascamengendapnya identitas agama. Di awal abad kedua khidmah NU, norma belum berubah.

Kafir dan Takfiri

Satu hal yang paling dominan mengisi memori terdalam umat Islam adalah dalil-dalil teks tentang kafir dan takfir.

Dua diktum ini bukan saja menjadi benih lahirnya gerakan radikal yang destruktif di akhir masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, tapi juga menjelma landasan teologis paling tua dalam sejarah umat hingga 15 abad kemudian.

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Nasionalisme Abad 21

Semua konflik, sering karena pengamalan eksesif atas dua diktum itu dalam dinamika sosial.

Begitu dicap kafir; selesai urusan. Penggunaan dalil ini dengah mudah kita temukan nash-nya dalam kitab-kitab klasik.

Kitab-kitab yang berisi kompilasi mengenai tuntunan keagamaan dan kemasyarakatan. Kompilasi itu hasil ijtihad para ulama di masanya, sesuai dengan semangat zamannya.

Belum lagi jika dalil-dalil ibadah lainnya, diimplementasikan di negara-nagara subtropis bermusim empat. Tafsif ulang atas ortodoksi adalah niscaya.

Karena alasan tertentu, orang kafir halal darah dan hartanya. Doktrin terkait masalah ini bisa dengan mudah dicarikan pembenarnya lewat tumpukan dalil. Ini berlaku sejak dahulu kala, menjadi dogma yang tak bisa ditawar.

Pengamalannya tidak selalu sama motivasi dan sebabnya pada setiap otoritas Muslim. Hanya karena beda pendekatan, maka Aswaja di negeri ini, bisa lebih terbuka dalam memaknai teks keagamaan.

Lewat teks yang sama dengan yang diyakini Aswaja Indonesia, otoritas di kawasan lain di dunia Islam, ISIS, misalnya menegakkan sebuah dalil keagamaan "apa adanya" tanpa tafsir yang lebih hermeneutik.

Hanya karena "kebaikan" hati sultan atau raja atau emir, seseorang yang bersatatus kafir bisa selamat dengan mengantongi status "dzimmi".

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah, dan Memenangkan NKRI

Hal ini, berlangsung sejak ribuan tahun silam, alias sejak ortodoksi dijadikan dasar muamalah.

Sejarah mencatat, di awal perkembangannya, umat Islam pernah menyerang kafilah kafir karena hanya itulah cara mereka bertahan hidup.

Waktu itu, tanah Madinah cuma menyediakan kurma, kambing dan anggur.

Tanpa doktrin ini, mustahil Turki Utsmani bisa berkuasa ratusan tahun. Khilafah itu berekspansi hingga daratan Eropa yang dianggap kafir dengan perang dan penalukkan. Kalau tidak, maka mereka yang balik diserang dan dikuasai.

Untuk tujuan syari'ah, permusuhan dengan orang dan negara kafir, diakui sebagai bentuk ikhtiar melindungi jamaah kaum Muslimin dari ancaman musuh.

Dengan alasan mengamalkan pesan syari'ah, maka mengembangkan semua bentuk permusuhan atas kaum kafir adalah halal dan dinjurkan.

Karena sudah berlangsung lama dan terbukti relatif mampu melindungi masyarakat, jadilah ia norma standar.

Konsekuensi logis

Karena teologi permusuhan jadi alat mempertahakan kekuasaan dan wilayah, maka permusuhan perlahan berkonsekuensi logis pada terjadinya aksi penaklukan. Penaklulan berarti penjajahan.

Negeri taklukan adalah negeri jajahan. Untuk mendapat jaminan keamanan dan perlindungan, penduduk taklukan wajib membayar jizyah.

Atas nama Islam, Arab menaklukkan Persia. Warga yang menolak masuk Islam, kena jizyah. Apa ini namanya jika bukan penjajahan?

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Identitas Agama

Dalam salah satu kitab babon fiqih, "Kifayatul Akhyar" disebutkan, di tanah taklukan, penguasa Islam menjadikan doktrin Islam sebagai cara hidup dan berhukum.

Orang kafir wajib mengenakan atribut tertentu yang membedakan dengan kaum Muslimin. Pantang bagi mereka menggunakan kendaraan.

Akan jadi masalah, jika ada orang kafir berjalan di jalan yang biasa dilewati orang Islam. Kifayatul Akhyar, sudah umum dibaca sejak tahun 829 H/1522 M.

Konsekuensi lain dari penaklukan dan penjajahan adalah tumbuhnya praktik perbudakan. Karena penjajahan dianggap normal, maka perbudakan adalah norma turunannya.

Tuan tanah bebas membeli budak. Budak bisa diambil manfaatnya sebanyak yang diinginkan tuannya.

Perbudakan berubah menjadi alat ekonomi yang efektif. Kerja rodi atau romusha, misalnya, adalah perbudakan terakhir di negeri ini, sebelum Indonesia akhirnya merdeka.

Namun begitu, praktik perbudakan tidak monopoli terjadi di tanah jajahan penguasa Muslim. Orang-orang kulit putih di pasar-pasar di Afrika Selatan, bisa bebas bertransaksi membeli budak.

Seperti di Islam, penguasa kulit putih di Afrika Selatan mendapat pembenar teologis lewat Alkitab.

Kulit hitam dipandang sebagai keturunan Ham, anak Nabi Nuh. Status budak mereka peroleh sebagai akibat kutukan dari ayah mereka sendiri.

Dalam konteks Indonesia, ada satu organisasi masyarakat berlabel Islam yang mengambil peran penegakan syari'at karena meyakini pemerintah tak kuasa melakukannya.

Tindakan mereka dengan mudah dapat legalitas lewat ajaran seorang ulama besar, Ibnu Katsir.

Menurut ahli tafsir ini, semua maksiat harus diberantas. Jika sultan tak kuasa menegakan hukum atas praktik maksiat, maka siapa pun yang mampu wajib melakukannya.

Tawaran dari Nusantara

Karena menemukan dalil-dalil teologis dalam mengamalkan semua praktik deviasi ini, maka tidak mudah bagi siapa pun mencari tafsir baru yang dapat mengubah dan membalikkan situasi.

Diktum kafir, takfir, penjajahan, perbudakan, menjadi kepentingan politik praktis penguasa di suatu wilayah Islam.

Hingga saat ini, meski penjajahan ditolak, penaklukan dikecam, tapi perbukaan terus terjadi di pasar-pasar gelap. Norma belum berubah.

Terhadap realitas ini, Islam amaliyah Timur Tengah, tak kuasa berbuat banyak. Tak ada solusi menghentikan teologi takfiri, menyudahi perang atas nama agama yang tak berkesudahan, atau mengikis paham radikal yang menebar kegetiran dan teror.

Di jalan yang seakan buntu ini, Islam amaliyah Nusantara, akan mengambil peran. Sebagai salah satu representasi besar mazhab dan manhaj ini, NU akan melunasi piutang sejarahnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi