Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terdakwa Korupsi Senilai Rp 27 Miliar Divonis Lepas, Bagaimana Bisa?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustri korupsi
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Baru-baru ini ramai tentang terdakwa kasus korupsi yang divonis lepas.

Diberitakan Kompas.tv, 24 Maret 2022, salah seorang terdakwa kasus korupsi pengadaan benih jagung varietas hibrida III senilai Rp 27 miliar dilepaskan dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging).

"Melepaskan terdakwa Aryanto Prametu dari segala tuntutan hukum," demikian disebutkan dalam amar putusan banding Direktur PT Sinta Agro Mandiri (SAM) Aryanto Prametu.

Hakim dalam putusan lepas tersebut mempertimbangkan bahwa terdakwa Aryanto Prametu terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan primair, tetapi tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuatan tersebut termasuk pelanggaran administrasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak hanya itu, bahkan terdakwa Aryanto Prametu berhak mendapat pemulihan, baik dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Bagaimana tanggapan pengamat?

Baca juga: Saat Seorang Ibu di Bengkulu Menangis Terharu Usai Dengar Vonis Bebas Anaknya...

Tanggapan pakar politik

Pakar politik sekaligus pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti menanggapi sejak revisi Undang-Undang KPK, upaya pemberantasan korupsi menuju pelemahan. Termasuk kasus yang terjadi pada terdakwa Aryanto Prametu.

Dimulai dengan tuntutan yang minimal, putusan yang biasa saja lalu kandas atau diringankan di tingkat banding.

"Tak perlu banyak argumen filosofis dan rasional untuk membebaskan atau meringankan hukuman para koruptor. Cari saja yang seadanya, hal itu bisa jadi dasar meringankan hukuman. Dari masih punya tanggungan, berprestasi di masa menjabat dan sebagainya. Banyak argumen baru yang tidak membutuhkan akal kita mencernanya selain membuat kita tertawa," ujar Ray pada Kompas.com, Minggu (27/3/2022).

Lanjutnya, pemberantasan korupsi bukanlah soal aturan semata. Tapi juga soal semangat, soal keinginan, dan soal kesadaran betapa penting mengelola pemerintahan yang bersih.

Menurut Ray, Indonesia telah kehilangan hal tersebut. Aturan dinilai lembek dan institusi pemberantasan korupsi terkekang.

"Eksekutif kehilangan semangat dan kehendak untuk terus memompa pemerintahan yang bersih. Sementara yudikatif kehilangan semangat penjaga moral dan keadilan bangsa. Klop sudah," imbuh Ray.

Baca juga: Berkas Perkara Korupsi Dilimpahkan ke Pengadilan, 2 Eks Pejabat Bea Cukai Bandara Soetta Segera Diadili

Efeknya, kata Ray, boleh jadi penangkapan koruptor terus berlangsung, tapi mereka punya potensi bebas atau mendapat hukuman ringan.

Dia mengamati pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, belum pernah ada pidato soal pemerintahan bersih, kecuali pada acara-acara seremonial yang menghajatkan dia pidato soal korupsi.

Di lembaga yudikatif juga demikian. Menurutnya tidak ada lagi hakim yang punya kepedulian pada pemberantasan korupsi.

Pada saat yang bersamaan, komisi negara pengawasan yudikatif juga kurang optimal dalam hal melakukan pemantauan atas situasi ini.

"Hingga sampai sekarang, kita belum mendengar upaya dan langkah yang jelas dan tegas dari lembaga seperti komisi yudisial atau kejaksaan. Dari berbagai kasus peringanan hukum koruptor, belum jua terdengar ada hakim yang dipanggil oleh komisi yudisial," tutur Ray.

Dia menambahkan, semua berjalan seperti tidak terjadi sesuatu yang mengerikan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

"Saya kira kita tidak bisa berharap banyak akan ada terobosan pemberantasan korupsi di periode kedua Pak Jokowi ini. Jika perhatian Pak Jokowi semata terpusat pada infrastruktur, maka besar kemungkinan kita akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi," kata Ray.

Meski begitu, menurut Ray masih ada satu harapan, yakni saat kampanye pemilu 2024. Menurutnya isu korupsi harus dinaikkan sebagai salah satu isu prinsip bagi calon presiden.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi