KOMPAS.com – Kata klitih yang berasal dari Yogyakarta kembali marak dan menjadi perbincangan masyarakat serta warganet.
Hal itu setelah Dafa Adzin Albasith (18), anak anggota DPRD Kebumen, Madkhan Anis tewas dianiaya sekelompok orang di daerah Gedongkuning, Kota Yogyakarta, Minggu (13/4/2022).
Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 02.00 WIB dini hari itu ramai disebut klitih oleh masyarakat.
Namun belakangan polisi menyebutkan, Dafa tewas bukan karena klitih namun disebabkan tawuran karena dipicu saling ejek.
"Untuk kasus kejahatan jalanan kasuistis kemarin lebih tepatnya tawuran karena ada proses ketersinggungan ejek-ejekan dari dua kelompok," ungkap Dirreskrimum Polda DIY Kombes Ade Ary Syam Indradi, Selasa (5/4/2022).
Baca juga: Saat Polisi Menyebut Anak Anggota DPRD Kebumen Tewas Bukan karena Klitih tapi Tawuran
Apa itu klitih?
Dilansir dari Kompas.com, Sosiolog Universitas Sebelas Maret Arie Sujito mengatakan, secara bahasa klitih bermakna kegiatan ke luar rumah yang dilakukan pada malam hari untuk menghilangkan kepenatan.
Kendati demikian, istilah tersebut mengalami pergeseran makna ke arah yang negatif.
Kini, kata klitih digunakan untuk melabeli aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas yang kerap terjadi di jalan sekitar Yogyakarta pada malam hingga dini hari.
Sejarah klitih di Yogyakarta
Dikutip dari Harian Kompas, aksi kriminal yang melibatkan remaja ini sudah terjadi sejak 1990-an.
Saat itu, para remaja tersebut tergabung dalam geng dan mulai melakukan aksi kriminal dengan cara tawuran.
Kemudian pada berita 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja tersebut.
Bahkan, Kapolwil DIY saat itu Kolonel (Pol) Drs Anwari mengatakan, pihaknya sudah memiliki informasi mengenai keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan berbagai aksi kejahatan di Yogyakarta.
Menundaklanjuti aksi tersebut, Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto mengeluarkan instruksi untuk meredam aksi tawuran antar remaja pada 2000-an.
Instruksi tersebut diterapkan atas kerjasama Wali Kota dengan sekolah-sekolah di Yogayarkata.
Saat itu, Herry mengatakan, jika ada pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran akan dikembalikan kepada orangtuanya, atau dikeluarkan dari sekolah. Instruksi itu dinilai sempat ampuh meredam aksi kekerasan remaja.
Baca juga: Ramai soal Video Klitih di Semarang, Ini Penjelasan Polisi
Munculnya klitih
Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto mengatakan, beberapa rejama akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan aksi itu lagi. Namun sebagian lainnya masih melakukannya.
Kendati demikian, instruksi tersebut berdampak pada munculnya aksi klitih yang dikenal saat ini.
Para remaja dengan latar belakang keluarga yang kurang kondusif merasa terkekang atas instruksi tersebut. Mereka akhirnya melampiaskan kekecewaannya dengan mengajak remaja lainnya untuk berkeliling mencari musuh menggunakan sepeda motor.
“Mulai dari situ, muncul istilah klitih versi mereka sebagai kegiatan mencari musuh,” ujar Soeprapto melalui bincang yang bertajuk Jogja Darurat Klitih di UGM Channel.
Perkembangan klitih
Para remaja tersebut kemudian kembali membentuk geng yang terorganisir. Bahkan geng tersebut terdiri dari ketua, wakil, dan bendahara yang tergabung dalam struktur organisasi inti.
Namun, organisasi inti tersebut berkembang menjadi organisasi inti plus.
“Plusnya itu adalah alumni,” imbuh Soeprapto.
Keterlibatan alumni dari sekolah tertentu itu membentuk adanya kaderisasi dalam organisasi. Biasanya, pada alumni ini akan mendidik anggota yang akan bergabung ke dalam gengnya.
Soeprapto mengimbuhkan, organisasi plus itu semakin berkembang ketika kegiatan mereka dimanfaatkan oleh kelompok lainnya. Sehingga muncul struktur organisasi baru, yakni inti plus-plus.
“Nah, plus yang kedua ini bisa kelompok preman,” kata Soeprapto.
Keterlibatan kelompok ini juga berperan dalam proses rekruitmen dan penyelesiani anggota baru. Akibatnya, kegiatan klitih yang dulunya hanya muncul pada ajaran baru, kini bisa terjadi kapanpun lantaran semakin luas dan terorganisir.
Baca juga: 8 Fakta Tewasnya Anak Anggota DPRD Kebumen karena Klitih di Yogya
Sasaran klitih
Aksi klitih tidak memilih sasaran musuh mereka secara acak. Biasanya, sasaran musuh klitih tersebut adalah anak-anak remaja dari sekolah tertentu yang ditunjukkan dari identitas bet yang digunakan.
“Tetapi sebetulnya musuhnya juga tidak acak. Tapi dari mereka yang sesama pelajar,” imbuh Soeprapto.
Menurut Soeprapto, aksi klitih di Yogyakarta itu memiliki ‘aturan main’ dalam menentukan sasarannya.
Mereka tidak akan menyerang masyarakat dari kelompok tertentu, misalnya perempuan, orang tua, dan pemuda-pemudi yang sedang berboncengan. Soeprapto juga menegaskan bahwa aksi klitih ini tidak akan merampas harta korban.
Sebaliknya, mereka hanya menyerang korban yang berasal dari sekolah lainnya.
“Mereka tidak akan menyerang pihak yang kira-kira tidak bisa dijadikan musuh,” imbuhnya.
Oleh karena itu, setiap aksi kriminal yang terjadi di jalan belum tentu merupakan bentuk dari klitih
Baca juga: Lagi, Cerita Korban Klitih di Yogyakarta Viral, Begini Kata Kepolisian
Dampak klitih
Kendati memiliki 'aturan main' dalam menentukan sasaran musuhnya, aksi klitih ini sering kali memakan korban jiwa.
Akibatnya, aksi klitih menjadi salah satu aksi kriminal yang dilakukan para remaja lantaran sudah menciptakan penderitaan bagi orang lain.
"Itu (klitih) memang sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai kenakalan remaja, tetapi sudah merupakan tindakan kriminal," jelas Soeprapto.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.