Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

The Batman: Isu Sosial yang Dikemas dalam Film Populer

Baca di App
Lihat Foto
Warner Bros.
Ben Affleck sebagai Batman
Editor: Sandro Gatra

PENGGEMAR karakter superhero DC comics pasti sudah tidak asing dengan karakter Batman, tokoh fiksi superhero berjubah kelelawar pembasmi kejahatan dari kota Gotham.

Sejak awal kemunculannya di Detective Comics pada tahun 1939, Karakter Batman yang diciptakan oleh Bob Kane dan penulis Bill Finger ini terus diadaptasi dan mengalami alih wahana audiovisual dari masa ke masa.

Beberapa aktor telah dipercaya untuk memerankan tokoh yang memiliki senjata pembasmi kejahatan super canggih ini, seperti Lewis Wilson (1943), Robert Lowery (1949), Adam West (1966), Michael Keaton (1989), Val Kilmer (1995), George Clooney (1997), Christian Bale (2005), Ben Affleck (2016), hingga Robert Pattinson (2022).

Setelah Trilogi The Dark Knight berakhir, Batman kembali hadir dengan karakter dan nuansa cerita yang berbeda dalam film The Batman (2022) besutan sutradara Matt Reeves.

Berbeda dengan kebanyakan film Batman yang identik dengan live-action, Matt Reeves dinilai cukup berani untuk mengemas film ini di luar mainstream film superhero pada umumnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kali ini Batman alias Bruce Wayne yang diperankan Robert Pattinson diceritakan sebagai tokoh yang secara psikologis tidak stabil, melankolis, dan gloomy, namun di sisi lain brutal.

Hal ini diakibatkan oleh trauma masa kecil ketika ia harus menyaksikan orangtuanya dibunuh oleh orang tak dikenal yang melakukan aksi kekerasan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah kota Gotham.

Selain pembasi kejahatan, di film The Batman Bruce Wayne juga merangkap menjadi detektif dalam memecahkan teka-teki yang dibuat oleh musuh utamanya.

Terkait dengan tema detektif Reeves ternyatanya terinspirasi dari film garapan sutradara David Fincher seperti Se7en (1995) dan Zodiac (2007). Jadi Anda pasti akan merasakan atmosfer yang sama ketika menonton film The Batman ini.

Dari segi latar (setting), Reeves mengilustrasikan Kota Gotham dengan color grading warna gelap sebagai hutan beton yang suram, selalu mendung, putus asa, kriminal, dan korup.

Terdapat juga tokoh antagonis, The Riddler alias Edward Nashton yang diperankan oleh Paul Dano. Sebagai tokoh antagonis ia memiliki daya tarik tersendiri dalam menjalankan misi jahatnya karena gemar membuat teka-teki yang harus dipecahkan oleh Batman.

Menariknya, The Riddler merupakan karakter yang penting di dalam plot penceritaan, terutama dalam mengungkap kejahatan para penguasa dan wakil rakyat kota Gotham yang ternyata sangat korup, namun ditutup-tutupi.

Meskipun begitu, film berdurasi hampir tiga jam ini juga banyak menuai kritik dari penggemarnya, terutama di karakter Bruce Wayne.

Di komik Batman No. 4 (1990) Wayne pernah mengatakan kepada Robin untuk tidak membunuh dengan senjata apapun. Namun di film ini ia justru melanggar aturannya sendiri dengan melakukan aksi pembunuhan brutal terhadap musuh-musuhnya di beberapa scene.

Realitas dan isu sosial dalam Film The Batman

Sebagai salah satu produk budaya populer, film sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari (Dominic Strinati dalam Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture).

Meskipun kerap dipahami sebagai hiburan oleh masyarakat, di dalam proses produksinya film dibebankan visi untuk menampung aspirasi masyarakat dan memberikan suatu gambaran terhadap suatu realitas tertentu. (Haru Effendy, 2009, dalam buku Mari Membuat Film).

Dalam konteks ini, Film The Batman juga tidak terlepas dari beban makna yang sangat erat dengan realitas sosial kita, antara lain:

Hiprokasi dan perilaku korup para penguasa

Tokoh antagonis sekaligus musuh utama Batman, The Riddler membunuh secara sadis para pejabat penting di Kota Gotham, seperti Walikota Gotham Don Mitchell dan Jaksa Agung Gotham Gil Colson.

Keduanya dibunuh karena dianggap Riddler sebagai orang yang hipokrit dan korup. Mereka selalu mencitrakan diri sebagai tokoh yang baik di depan publik, padahal sebenarnya mereka melakukan tindakan korupsi uang rakyat dan gemar pergi ke klub malam milik Penguin yang diperuntukkan khusus untuk orang-orang penting.

Di scene lain, terdapat tokoh mafia besar di Kota Gotham bernama Carmine Falcone yang terlibat dalam teori konspirasi dengan ayah Batman, Thomas Wayne. Keterlibatan Falcone dengan Thomas adalah untuk menyuap wartawan bernama Edward Elliot.

Elliot berhasil mengungkap fakta bahwa Martha, yang juga istri Thomas dan Ibu dari Bruce Wayne, ternyata menderita penyakit mental.

Kemudian Thomas meminta bantuan Falcone untuk menyuap Elliot agar tidak menuliskan hal tersebut di media demi reputasi karena mereka selalu mencitrakan diri ke publik sebagai keluarga yang harmonis.

Karena tidak mau menerima suap, akhirnya Elliot dibunuh dan tidak lama setelah kejadian itu Thomas Wayne dan Martha juga dibunuh orang tak dikenal dengan motif pembunuhan yang tidak jelas pula.

Tindakan korupsi, sikap hiprokit, aksi suap menyuap, serta politik pencitraan banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-sehari.

Para pejabat negara kerap mencitrakan diri dengan baik di ruang publik untuk meraih simpati dan menutupi perilaku buruknya dengan cara apapun termasuk dengan menghilangkan nyawa orang lain.

Isu ketimpangan sosial dan percobaan revolusi

Hal berikutnya yang dihadirkan dalam film ini adalah perihal ketimpangan sosial yang sangat tinggi dan nyata di Kota Gotham.

Hal ini dapat disoroti dari tokoh The Riddler yang mengaku muak dengan kemunafikan para pejabat kota.

Riddler adalah seorang yatim piatu yang dibesarkan dalam kemiskinan. Setelah beranjak dewasa ia bekerja sebagai akuntan dan sangat paham tentang seluk-beluk keuangan di Gotham, termasuk kekayaan Thomas Wayne, ayah dari Bruce.

Dana yang diperuntukkan untuk rakyat miskin ternyata disalahgunakan oleh elit Gotham untuk memperkaya diri sendiri sehingga rakyat kecil menjadi sangat menderita.

Oleh karena itu, kekacauan dan aksi protes yang terjadi di level akar rumput dan pembunuhan para elit yang dilakukan Riddler secara tidak langsung menjadi reaksi atas ketimpangan tersebut.

Tidak hanya itu, di akhir cerita Riddler juga mengkritik Bruce Wayne yang dianggapnya tidak mewakili rakyat kecil terutama anak yatim-piatu.

Meskipun Wayne yatim-piatu, tetapi ia bergemilangan kemewahan dari kekayaan ayahnya.

Sementara itu, anak-anak yatim piatu pada umumnya bukan hanya tidak memiliki orangtua tetapi juga hidup dalam kemiskinan dan harus berbagi kamar dengan 30 anak lainnya.

Selain menjadi kritik tajam untuk Bruce Wayne, pernyataan Riddler ini sekaligus mempertontokan betapa kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu kentara di Gotham.

Ketimpangan sosial dalam film ini dapat dijelaskan melalui pandangan Karl Marx tentang kelas sosial. Menurut Marx (dalam Wirawan, 2013) keterasingan dalam masyarakat pascafeodal yang terbagi ke dalam kelas proletar-borjuis disebabkan oleh ekonomi.

Ketimpangan yang terlalu tinggi akan terus berlanjut karena mereka berlindung di bawah kekuasaan dan balutan ideologi seperti hukum yang sebenarnya dimanipulasi untuk kepentingan kelas atas saja, sehingga satu-satunya cara untuk mengakhiri ini semua adalah dengan cara revolusi.

Tindakan revolusioner tersebut diperlihatkan oleh Riddler yang membunuh elit penguasa yang korup dan mencoba menenggelamkan Kota Gotham karena ia pesimis terhadap perubahan dan masa depan Gotham selama penguasa hipokrit dan korup masih berkeliaran.

Michel Focault menjelaskan bahwa di setiap kekuasaan (power) selalu ada resistensi karena kekuasaan tidak bisa menampung semua aspirasi.

Oleh karena itu, aksi protes keras masyarakat dan serangkaian pembunuhan terhadap elit yang korup serta percobaan revolusi bisa dimaknai sebagai respons terhadap kekuasaan tersebut.

Kesimpulannya, jika negara dan para penguasa bertindak korup, hiprokit dan kesenjangan sosial terus meningkat, boleh jadi negara tersebut siap menjelma menjadi Kota Gotham.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi