Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komunitas Kajian Bahasa
Bergabung sejak: 13 Apr 2022

Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) adalah himpunan profesi yang menghimpun bahasawan, dosen, guru, mahasiswa, peneliti, maupun pengamat bahasa atau siapa saja yang tertarik dengan kajian bahasa dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara.

Geser Gusur Bahasa Daerah dan Sindrom "Anak Lupa Diri"

Baca di App
Lihat Foto
Unsplash/Clarissa Watson
Bahasa unik di dunia
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Muzakki Bashori

Sudah minum dèrèng (belum)?’
‘Mboten, mboten (tidak, tidak). Jangan seperti itu.’

Ekserp di atas adalah potongan kecil penggalan dialog sehari-hari saya dengan anak saya yang masih berusia 18 bulan.

Saya penutur asli Bahasa Jawa (Kudus(an)¸Jawa Tengah), sementara istri saya berasal dari tanah pasundan, tepatnya Ciamis dan cukup fasih berbahasa Sunda.

Saya lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa nasional (Indonesia) dengan istri saya demi menghindari kegagalan komunikasi. Hal ini berimbas kepada pilihan bahasa yang kami terapkan kepada anak kami.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsekuensinya adalah kemungkinan besar bahasa ibu atau bahasa pertama anak kami adalah bahasa Indonesia.

Walaupun bahasa daerah tetap kami tuturkan, porsinya jauh lebih sedikit daripada bahasa Indonesia.

Fenomena di atas tak ayal memicu terjadinya language shift atau pergeseran bahasa. Status bahasa daerah yang pada awalnya sebagai bahasa ibu bergeser menjadi bahasa kedua atau ketiga.

Tidak menutup kemungkinan bahasa daerah akan menjadi ‘bahasa asing’ ketika nanti kehilangan penuturnya.

Andriyanti (2019) mengemukakan bahwa salah satu alasan makin menjamurnya fenomena ini dalam konteks memudarnya penggunaan bahasa Jawa adalah lemahnya transmisi antargenerasi, yang disebabkan oleh, antara lain, menguatnya posisi bahasa Indonesia.

Klaim tersebut didukung dengan fakta bahwa jumlah penutur bahasa Jawa kian menurun dalam rentang empat tahun terakhir, dari 86 juta pada tahun 2017 menjadi hanya 68 juta penutur pada tahun 2021 (Simons & Fennig, 2017; 2021).

Bahasa Jawa – yang notabene adalah bahasa daerah terbesar di Indonesia – saja tidak mampu mempertahankan jumlah penuturnya, lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah lain, yang saat ini saja sudah lebih sedikit penuturnya?

Di sisi lain, dugaan di balik kurang efektifnya transmisi bahasa daerah sebagai bahasa ibu antargenerasi adalah adanya agenda tersembunyi ‘penggusuran bahasa daerah’.

Hal ini dapat dilihat dari, salah satunya, mengakarkuatnya institusi-institusi penyokong penyebaran bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) di Indonesia.

Sugiharto (2015) berpendapat bahwa institusi-institusi tersebut mungkin sedang melakukan ‘imperialisme lingustik’, yang tampaknya memiliki misi mengokohkan posisi dan status bahasa Inggris di Indonesia.

Akibatnya, akhir-akhir ini banyak bermunculan anak-anak muda yang Anglicized atau ‘keminggris’ (keinggris-inggrisan/sok Inggris) (Wibisono, 2020).

Lemahnya transmisi antargenerasi ini juga berdampak kepada makin meredupnya identitas lokal anak muda.

Redupnya identitas lokal anak muda kemudian saya sebut dengan istilah sindrom ‘Anak Lupa Diri’.

Sindrom ini merujuk kepada (a) aktivitas berbahasa seseorang yang cenderung menghindari penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah) dalam komunikasi sehari-hari, atau (b) kesengajaan seseorang tidak memilih mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu kepada anak/keturunannya.

Kedua kondisi ini (poin a dan b) utamanya karena faktor citra publik/sosial dan prestise/gengsi, dan menganggap bahasa ibu susah dipelajari dan diajarkan, dan/atau kolot atau tidak ‘kekinian’, sehingga dirasa tidak relevan dengan zaman serba canggih seperti sekarang.

Kondisi ini diperkeruh dengan penetrasi masif dan terstruktur budaya-budaya dari luar Indonesia.

Di samping itu, bahasa daerah dinilai memiliki fungsionalitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan bahasa nasional dan asing (khususnya Inggris).

Bahasa Indonesia dan Inggris dibutuhkan dalam konteks akademis dan pertemuan atau agenda formal/resmi.

Bahkan, penguasaan bahasa Inggris menjadi syarat wajib untuk bisa meraih beasiswa studi ke luar negeri (Eropa/Amerika), sebuah klimaks mimpi anak-anak muda bangsa dewasa ini.

Meluasnya fenomena ‘Geser Gusur Bahasa Daerah’ dan sindrom menular ‘Anak Lupa Diri’ semakin mempertegas kontestasi antara bahasa daerah, bahasa nasional (Indonesia), dan
bahasa asing (khususnya Inggris) di Indonesia.

Bahwa ketiga jenis bahasa tersebut dapat ‘hidup’ berdampingan dengan rukun tanpa saling ‘membunuh’ ternyata belum benar-benar terbukti.

Gagasan ‘ekologi linguistik global kontemporer’ yang diusung oleh Phillipson & Skutnabb-Kangas (1999), di mana keberadaan semua bahasa dalam suatu negara sangat didukung, masih jauh dari asa untuk diejawantahkan secara bijaksana.

Pemerintah sebenarnya mendukung terciptanya ekologi linguistik global kontemporer, yakni melalui slogan ‘Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing’.

Sayangnya, aspek kedua belum digaungkan dengan optimal, terutama di tataran praktis, dibandingkan dengan kedua aspek lainnya.

Satu yang paling mencolok adalah penerapan bahasa pengantar pendidikan yang lebih condong memprioritaskan bahasa Indonesia dan/atau Inggris.

Walhasil, bahasa daerah memiliki ruang gerak yang sangat sempit dan terbatas di sekolah, apalagi di universitas, sehingga tidak mampu berkembang untuk, paling tidak, mempertahankan jumlah penuturnya.

Sedikitnya ada dua solusi yang ingin saya usulkan. Pertama, pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan bahasa berupa pemberlakuan bahasa daerah (bahasa ibu) sebagai bahasa pengantar pendidikan di beberapa mata pelajaran tertentu.

Dengan catatan diterapkan di ruang kelas yang homogen, yang seluruh atau sebagian besar peserta didiknya berbagi bahasa ibu yang sama.

Kedua, anak yang baik adalah anak yang tidak ‘lupa diri’ dan seyogyanya menghargai, melindungi, dan merawat ibunya.

Demikian pula dalam hal memaknai bahasa ‘ibu’, yang juga perlu dihargai, dilindungi, dan dirawat serta tidak ‘dilupakan’ keberadaannya.

Kesadaran yang berasal dari dalam diri sendiri, walaupun terdengar klise, menjadi syarat mutlak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, ‘Apakah sebagai anak, aku
perlu merawat (bahasa) ibuku?’

*Muzakki Bashori
Centre for Language Studies, Radboud University Nijmegen, Belanda
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi