Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Lanka Bangkrut karena Gagal Bayar Utang, Bisakah Terjadi pada Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA
Warga Sri Lanka menggelar protes di luar kantor presiden di Colombo, Sri Lanka, Rabu (13/4/2022). Perdana Menteri Sri Lanka menawarkan untuk bertemu para pengunjuk rasa di tengah krisis ekonomi.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Negara Sri Lanka menyatakan bangkrut setelah gagal membayar utang luar negeri.

Dilansir dari Kompas.com (14/4/2022), krisis yang tejadi di Sri Lanka bermula pada akhir Maret 2022 hingga warganya menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri.

Pada 12 April 2022, pemerintah Sri Lanka mengumumkan gagal bayar utang senilai 51 miliar dollar AS (sekitar Rp 732 trilliun) yang dipinjam dari luar negeri.

Sehari setelahnya, pada 13 April 2022, pemerintah menyatakan bangkrut dan mendesak warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang demi membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis yang terjadi di Sri Lanka ini menyebabkan warganya sengsara, hal ini merupakan situasi terburuk yang pernah dialami Sri Lanka sejak kemerdekaannya pada 1948.

Lantas, apakah ada kemungkinan Indonesia akan mengalami hal serupa?

Baca juga: Disapu Krisis dan Gagal Bayar Utang, Sri Lanka Minta Pertolongan China

Pemerintah dinilai terlalu menggampangkan

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan kasus Sri Lanka harus menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam permasalahan utang.

Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola utangnya dengan tidak menggampangkan utang tersebut.

"Jadi saya tidak mengatakan akan terjadi, tapi harus hati-hati. Sri Langka itu jadi pelajaran. Tidak hanya Sri langka, Pakistan juga berat," kata Didik ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (15/4/2022).

Didik menilai pemerintah Indonesia terlalu menggampangkan permasalahan utang selama enam tahun terakhir ini.

Padahal dalam kurun waktu dua tahun saja utang Indonesia meningkat secara signifikan.

"Bagaimana menggampangkan, utang kita ini dalam waktu dua tahun, dalam waktu yang sangat pendek itu meningkatnya sangat cepat sekali," ungkapnya.

Baca juga: Utang Negara Capai Rp 7.000 Triliun, Pajak dan Harga Komoditas Naik Jadi Jalan Keluar?

Bunga utang besar

Pemerintah selalu membandingkan utang Indonesia dengan negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hanya karena negara-negara maju tersebut memiliki utang yang lebih besar dibandingkan Indonesia.

Hal ini kurang tepat menurut Didik, karena negara maju sudah memiliki kematangan dalam mengelola utang.

Walaupun Jepang diketahui memiliki utang yang lebih banyak daripada Indonesia, akan tetapi memiliki bunga utang yang lebih kecil sebesar 0,2 persen.

Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki bunga utang kisaran 6,7/6,8 persen.

"Lha iya lah mereka sudah matang dan bunga di Jepang cuman 0,2 persen.
Kalau di Indonesia nanti Jokowi selesai katakan 10.000 (trlliun rupiah) bunganya saja 700 persen itu hampir 700 trilliun, kan 6,7/6,8 bunga dari hutang kita," tegasnya.

"Di Jepang itu 0,2 jadi kalau di Jepang punya 10.000 trilliun utang itu cuman 14 trilliun," lanjutnya.

Didik juga menyayangkan perihal buzzer-buzzer yang ikut campur menjelaskan masalah utang daripada menteri-menteri terkait.

"Jadi itu yang dijadikan alasan oleh pemerintah dan itu tidak dijelaskan oleh humas, tapi buzzer-buzzer-nya saja yang menjelaskan. Orang melakukan kritik itu dihambat-hambat, melakukan check and balance dihambat," jelasnya.

Baca juga: Apa Dampak jika Pertalite, Solar, Elpiji, dan Listrik Naik? Ini Kata Ekonom

Harapan terhadap utang Indonesia

Didik menyarankan agar pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 7 persen seperti janjinya dahulu.

Selain itu juga menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran seperti sasaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Semua sasaran janji-janji undang-undang di RPJMN itu juga enggak ada yang tercapai kecuali inflasi dan itu kerjanya Bank Indonesia, cuman satu yang tercapai sebelum krisis," kata Didik.

Jadi menurut Didik, pemerintah  harus berhati-hati dengan kemungkinan yang sama seperti yang dialami oleh Sri Lanka.

Didik mencontohkan pada tahun 1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi berada di angka 7 persen, sehingga Indonesia dipuji oleh seluruh dunia.

Akan tetapi, saat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7 persen, di tahun yang sama pula Indonesia mengalami krisis ekonomi.

"Jadi kesimpulannya itu hati-hati, kemungkinan seperti Sri Langka itu bisa terjadi dan pada waktu krisis 98 itu komplikasi sosial politik pertumbuhan ekonomi 7 persen, rata-rata 7 persen tapi ambles juga, karena menggampangkan dan dipuji-puji" pungkasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi