KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menyerukan untuk melakukan aksi bela bahasa Indonesia dan mendukung gerakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua ASEAN.
Seruan tersebut, menyusul penolakan Nadiem akan permintaan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua dari ASEAN.
“Bahasa Indonesia lebih layak untuk dijadikan bahasa resmi ASEAN,” seru Nadiem, dikutip dari unggahan akun Instagram resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti Ristek) pada Kamis (14/5/2022).
Alasan mengapa Bahasa Indonesia dinilai lebih pantas adalah karena bahasa ini merupakan terbesar di Asia Tenggara dengan persebaran mencakup 47 negara.
Terdapat 428 lembaga di seluruh dunia menyelenggarakan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), yakni program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia bagi penutur asing.
Selain alasan di atas, bahasa Indonesia juga telah menjadi mata kuliah di sejumlah kampus dunia.
Mana lebih layak untuk bahasa resmi ASEAN, Bahasa Indonesia atau Melayu?
Begini pandangan ahli:
Baca juga: Alasan Nadiem Tolak Melayu Jadi Bahasa Resmi ASEAN: Bahasa Indonesia Terbesar di Asia Tenggara
Pandangan pakar
Pakar BIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Kundharu Saddhono menyatakan ketidaksetujuan terhadap usulan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua.
Pasalnya, dilihat dari syarat-syarat bahasa internasional, bahasa Indonesia jauh lebih unggul dibanding bahasa Melayu.
“Memang kalau kita lihat kaitannya dengan syarat-syarat bahasa internasional, bahasa Indonesia jauh lebih unggul daripada bahasa Melayu,” ujar Kundharu, dilansir dari laman UNS, (14/5/2022).
Kundharu menyoroti tiga hal mengapa bahasa Indonesia lebih layak menjadi bahasa resmi kedua ASEAN.
Pertama, penutur bahasa Indonesia masih lebih banyak dari bahasa Melayu.
Sebab, bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu bagi seluruh rakyat Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 270 juta.
Kedua, Kundharu menuturkan, terdapat ratusan lembaga yang menyelenggarakan program BIPA di luar negeri.
“Saat ini sudah banyak perguruan tinggi luar negeri yang membuka prodi (program studi) Bahasa Indonesia,” ujar dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UNS tersebut.
Bahkan menurutnya, prodi PBSI UNS sendiri telah mengirimkan beberapa mahasiswa untuk magang di perguruan tinggi luar negeri guna mengajarkan bahasa Indonesia.
Ketiga, adanya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) di bawah naungan Kemendikbud Ristek yang menjadi pengawal internasionalisasi bahasa Indonesia.
“Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009. Adanya peran Badan Bahasa Kemendikbud Ristek membuat muruah bahasa Indonesia terjaga,” tutur Kundharu.
Baca juga: Tolak Usulan Bahasa Melayu Jadi Bahasa Resmi ASEAN, Nadiem: Bahasa Indonesia Lebih Layak
Dukung aksi bela bahasa Indonesia
Sebagai warga Indonesia, imbuh Kundharu, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung gerakan membela bahasa Indonesia.
Salah satunya dengan menyuarakan isu bahasa ini secara aktif melalui twibbon di media sosial masing-masing. Serta, bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
“Otomatis kalau menjadi bahasa internasional, orang lain akan mempelajari dan Indonesia akan menjadi pusat perhatian, dan tentu akan meningkatkan berbagai aspek seperti politik, ekonomi, semua akan berdampak,” pungkas Kundharu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.