Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2020

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Memaafkan Berdasarkan Sudut Pandang Psikologi

Baca di App
Lihat Foto
Odua Images
Ilustrasi saling memaafkan di momen lebaran
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Winda Widya Hasanah dan Riana Sahrani*

HARI Raya Idul Fitri atau biasa kita sebut Lebaran merupakan hari kemenangan dan penuh berkah khususnya untuk umat Muslim.

Setelah beberapa tahun terakhir situasi pandemi menyebabkan masyarakat harus membatasi interaksi sosial dan tidak bisa merayakan Lebaran seperti biasanya, namun pada Lebaran tahun 2022, akhirnya masyarakat dapat kembali mudik ke kampung halaman dan berkumpul dengan kerabat terdekat.

Pada hari Lebaran, tradisi ‘halalbihalal’ pasti akan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Biasanya orang saling mengunjungi kerabat terdekatnya, atau sekadar mengirim ucapan dan mengucapkan permintaan maaf pada satu sama lain.

Tradisi masyarakat Indonesia untuk saling meminta maaf merupakan simbol kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa dan berusaha untuk kembali suci dengan memaafkan satu sama lain.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi menjadikan tradisi saling memaafkan ini menjadi perilaku yang benar-benar kita terapkan dalam kehidupan, mari kita pahami apakah memaafkan dan bagaimana manfaatnya.

Kita coba lihat memaafkan dalam sudut pandang ilmiah, topik memaafkan atau dalam literatur lebih sering disebutkan dalam istilah forgiveness.

Topik ini mulai marak sejak tahun 1998, yang menjadikan penelitian tentang bagaimana forgiveness dan spiritualitas berhubungan satu sama lain, telah berkembang belakangan ini.

Lawler pada tahun 2005 dalam Journal of Behavioral Medicine, mendefinisikan forgiveness sebagai respons kognitif, emosional, dan perilaku terhadap konflik interpersonal dan telah dikaitkan dengan indeks kesehatan mental dan fisik.

Menurut Davis pada tahun 2012, dalam jurnal Psychology of Religion and Spirituality, forgiveness terjadi karena individu percaya bahwa jika mereka tidak memaafkan, maka hal ini akan merusak hubungannya dengan Tuhan, atau hal ini merupakan salah satu perintah agama.

Lijo pada tahun 2018, dalam journal of psychology & psychotherapy menyebutkan bahwa ketika individu mendapatkan perilaku tidak adil atau tidak menyenangkan dari orang lain, individu akan mengembangkan berbagai tanggapan dalam menghadapi masalah interpersonal tersebut dengan pembalasan aktif atau pasif, dan menyimpan dendam.

Reaksi negatif terhadap pelaku dan menolak untuk memaafkan juga mungkin dipelajari sebagai bagian dari kebutuhan bertahan hidup atau kebutuhan kekuatan manusia.

Forgiveness adalah kualitas individu yang mencari pertumbuhan untuk dirinya sendiri. Individu sebagai manusia memiliki kapasitas untuk memilih forgiveness, bukan reaksi negatif terhadap pelaku yang berbuat salah.

Pargament dan Rye pada tahun 2022 dalam jurnal American Psychological Association menyebutkan forgiveness merupakan strategi koping religius transformasional yang dapat menawarkan alternatif menarik dan efektif untuk menghadapi peristiwa tidak adil yang terjadi dalam hidup.

Forgiveness melibatkan kesediaan untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku negatif terhadap pelaku, sehingga menjadi perspektif lebih damai, yang mencakup kemanusiaan, berempati, dan menilai kembali.

Setelah diperlakukan tidak adil oleh orang lain, individu sering mengalami perasaan marah, sakit hati, atau takut terhadap pelaku.

Perasaan seperti itu bisa adaptif ketika dapat memotivasi individu untuk mengambil tindakan saat melindungi diri mereka dari bahaya di masa depan atau untuk mencari keadilan pada kehidupannya.

Namun, perasaan negatif terhadap pelaku tersebut juga dapat menambah penderitaan individu, jauh setelah peristiwa tersebut terjadi.

Sehingga pada akhirnya permusuhan menjadi fokus utama kehidupan individu yang berdampak negatif pada kesehatannya.

Beck pada tahun 2011 dalam bukunya mengenai cognitive behavioral therapy menyebutkan cara individu berpikir memengaruhi perasaannya, dan akhirnya hal ini berdampak pada perilaku kita sehari-hari.

Oleh karena itu, seperti yang disebutkan Rye sebelumnya, forgiveness dibutuhkan untuk membantu individu mengubah fokus kehidupannya dari pikiran-pikiran mengenai ingatan ketidakadilan yang terjadi pada dirinya menjadi keinginan untuk mencari perdamaian.

Forgiveness merupakan proses yang memungkinkan individu untuk mengurangi reaksi emosi dan perilaku negatif seperti kemarahan dan agresi pada orang lain.

Menurut Ercengiz, dkk pada tahun 2022, dalam jurnal current psychology, forgiveness dapat membantu individu meningkatkan perasaan positif atau merasakan perasaan netral terhadap pelaku perbuatan salah tersebut.

Selain itu, forgiveness sangat penting untuk pemeliharaan dan pengembangan hubungan individu dengan orang lain.

Ehret pada tahun 2018 dalam dominicial scholar membagikan metode yang dapat diterapkan untuk mengembangkan forgiveness for healing ourself, yaitu dengan empat elemen umum dalam membuat cerita forgiveness yang juga dapat dituliskan untuk mempermudah prosesnya.

Ketika empat elemen ini diterapkan dan disatukan, maka hal ini memiliki dampak positif yang bertahan lama dan mendalam.

Pertama, speak your truth. Beri nama pada perasaan yang dirasakan, akui rasa sakit atau kemarahan atas peristiwa yang terjadi. Jujurlah dengan diri sendiri dan biarkan perasaan itu muncul.

Kita tidak mencoba terobsesi atau terhanyut pada emosi yang muncul, tetapi mengakui apa yang kita rasakan.

Biarkan energi dan perasaan bergerak keluar dari diri kita. Mengungkapkan kebenaran tentang perasaan kita dapat membantu melalui perasaan sulit ini.

Terus tanyakan pada diri Anda pertanyaan "mengapa?" tentang kemarahan, kesedihan, rasa sakit, atau kesedihan Anda sampai Anda mencapai inti jawaban mengapa Anda merasa demikian.

Perlu diingat bahwa ini bukan pertanyaan mengapa situasi itu terjadi, melainkan, mengapa kita merasa seperti ini tentang apa yang telah terjadi.

Kedua, let go of the alternative edings to the story. Ketika peristiwa menyulikan terjadi, kita cenderung menafsirkan dalam pikiran kita sebuah cerita yang memiliki alternatif lain dari yang sebenarnya kita alami.

Tugas kita adalah untuk berhenti melakukan itu. Semakin mampu kita menyelaraskan harapan kita dengan kenyataan hidup kita, semakin sedikit kita mengalami perasaan tidak menyenangkan akan peristiwa yang terjadi.

Apa yang terjadi, telah terjadi. Forgiveness merupakan penerimaan apa adanya, dan pelepasan akhir alternatif.

Kita berusaha untuk memandang ke depan dengan wawasan dan kebijaksanaan yang telah diajarkan oleh pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang pelaku, dan kemauan untuk memulai cerita baru.

Ketiga, develop a compassionate story of the other. Mengetahui, atau setidaknya mencoba untuk melihat mengapa seseorang melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain, dan mengakui sisi kemanusiaan mereka, membuat kita lebih mudah untuk melepas pikiran kebencian dan dendam yang kita miliki.

Kita bisa dan harus mulai dengan small forgiveness, misalnya, saat di jalan pengendara lain menyalip kita.

Saat hal itu terjadi, kita bisa berkata pada diri sendiri, “Wow! Orang itu sangat terburu-buru. Saya bertanya-tanya apa yang terjadi dalam hidupnya yang membuat dia membahayakan dirinya dan orang lain.”

Semakin banyak kisah welas asih yang dapat kita buat untuk lebih memahami mengapa atau bagaimana orang tersebut berperilaku, semakin mudah untuk diri kita bereaksi positif pada peristiwa yang terjadi.

Keempat, share your forgiveness story as appropriate. Membagikan atau menuliskan cerita forgiveness adalah salah satu variasi dalam menciptakan kerangka positif dari peristiwa dan keadaan yang merugikan yang kita rasakan.

Tubuh kita dirancang untuk menghargai kita karena mendengarkan dan berhubungan dengan cerita.

Beberapa manfaat dari bercerita, yaitu dari segi biologis adanya sintesis oksitosin, bersifat internal, membuat peserta lebih bahagia, dan secara eksternal, mempromosikan kerja sama dan perilaku prososial.

Tidak kalah penting adalah kita dapat memaafkan diri sendiri, forgiveness atau memberikan pengampunan pada kesalahan dan kelemahan diri kita.

Apabila kita dapat menerapkan semua ini maka hidup kita menjadi lebih damai, yang terpancar dalam diri kita. Semoga.

*Winda Widya Hasanah, Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara
Riana Sahrani, Dosen Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi