Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Humor: Antara Tawa, Kritik, dan Resistensi Kekuasaan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI
Tessy (kiri) tampil dalam pementasan Reuni Ketoprak Humor, yang berjudul Damar Wulan Minak Jinggo, karya sutradara Aries Mukadi, di Gedung Kesenian Jakarta, Senin (21/3/2011) malam. Pementasan yang didukung oleh antara lain Tarzan, Doyok, Kadir, Nunung, Tessy, Kirun, dan Marwoto tersebut digelar dalam rangka merayakan ulang tahun ke-61 mantan Menakertrans sekaligus pendiri Ketoprak Humor, Erman Soeparno.
Editor: Egidius Patnistik

HUMOR sangat dekat dengan keseharian dan digemari masyarakat karena 'efek' sampingnya yang bisa membuat kita bahagia, tertawa terpingkal-pingkal, dan membawa kita keluar sejenak dari sekelumit permasalahan hidup yang membuat kita pusing.

Di Indonesia, humor juga telah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya (Rahmanadji dalam artikel "Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor").

Dalam konteks modern, beberapa nama grup komedian tidak asing di telinga kita seperti Warkop DKI, Bagito, Srimulat, Patrio, Empat Sekawan, dan beberapa tokoh kartun lokal seperti Doyok, Benny dan Mice, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Humor Tidak Selalu Lucu

Sebagai bagian dari budaya populer, setidaknya dalam 17 tahun terakhir humor dijadikan ajang kompetisi di acara televisi dan telah melahirkan banyak wajah komedian atau komika baru yang siap menghibur masyarakat dengan kekhasannya masing-masing.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemustahilan "mendefinisikan" humor

Mendefinisikan humor ke dalam pengertian yang tunggal adalah pekerjaan mustahil karena humor memiliki ragam arti dan fungsi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu tulisan ini akan merujuk beberapa konsep relevan tanpa bermaksud mereduksi kompleksitas maknanya.

Humor sudah ada sejak ribuan tahun lalu ketika manusia mengenal bahasa (mungkin lebih tua dari itu), dan secara asal-usul humor berasal dari kata Latin umor yang bermakna 'cairan'.

Sejak 400 tahun SM, orang Yunani Kuno percaya bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat jenis cairan di dalam tubuh mereka, antara lain darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy).

Setiap cairan tersebut memiliki karakteristik tertentu yang sangat mempengaruhi suasana hati manusia dan kadarnya harus seimbang karena kelebihan salah satu di antaranya akan membawa manusia pada suasana hati tertentu (Manser, 1989).

Dikutip dari kamus Cambridge, humor diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dipikirkan, dan memiliki kemampuan untuk membuat orang tertawa. Sedangkan menurut Kuiper humor merupakan stimulus yang dapat memicu tawa pada individu seperti lelucon, cerita lucu, gambar/kartun lucu, situasi memalukan, dan yang membantu individu untuk tertawa dan merasa bahagia (Ripoll dalam Afriani, 2015).

Humor sebagai strategi komunikasi

Sejak dulu, humor kerap digunakan sebagai strategi penyampaian pesan tertentu oleh penggunanya, misalnya saja dalam konteks pewayangan seperti Punakawan humor digunakan untuk menyampaikan pesan mendidik dan bijak dalam tradisi budaya Jawa (Hendarto, 1990).

Beberapa tokoh menggunakan humor untuk meraih simpati publik dalam kontestasi politik, seperti komedian Volodymyr Zelensky yang sekarang menjabat sebagai Presiden Ukraina dan Marcus Tullius Cicero, seorang politisi dan konsul Romawi Kuno (setara presiden) yang tercatat sering memenangkan perkara politik dengan menggunakan humor.

Menurut Cicero, humor secara potensial mampu meruntuhkan batas antara seorang orator dan komedian, dan jika digunakan dengan kadar yang tepat dan bijak di hadapan publik, humor bisa memenangkan kuasa sosial hingga politik.

Dalam konteks saat ini, adaptasi humor semakin relevan digunakan sebagai strategi komunikasi, mulai dari pemuka agama, politisi, content creator, pejabat negara, dosen, hingga kepala negara yang merasa tidak ragu untuk menggunakan humor ketika berkomunikasi dengan khalayak.

Ada kritik sosial di balik humor

Humor merupakan situs ideal untuk melihat dominasi ideologi tertentu melalui ketidaksesuaian dan ini bisa dijelaskan dengan teori inkongruen (incongruity theory) yang menurut Oxford Online Dictionary of English, berarti ‘tidak selaras’ dengan lingkungan atau aspek lain dari sesuatu sehingga apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya, sehingga semakin tidak terduga, maka akan semakin lucu humornya (Morreall, 1987).

Contohnya, sebagian masyarakat kita akan tertawa terpingkal-pingkal melihat perempuan bertubuh gemuk mengenakan baju super ketat yang menonjolkan lemak tubuhnya atau melihat laki-laki “maskulin” mengenakan daster.

Baca juga: Humor Cerdas Gus Dur Terkenal hingga ke Jerman

Tindakan menertawakan (laughing at) ini dapat dibaca sebagai bentuk pelanggaran sekaligus pengukuhan terhadap budaya dan ideologi patriarki yang mengharuskan perempuan memiliki bentuk tubuh langsing 'ideal' yang sesuai dengan standar kecantikan tertentu, sedangkan laki-laki yang mengenakan daster tadi dianggap melanggar konsep "maskulinitas", atau dengan kata lain prinsip yang dilanggar akan beresiko ditertawakan oleh masyarakat.

Humor hadir sebagai bentuk resistensi kekuasaan

Di sisi lain, humor juga dapat berfungsi sebagai sarana kritik 'ideal'. Menurut Sujoko (1982), strategi ini cocok digunakan di Indonesia karena sesuai dengan kepribadian tradisional bangsa kita yang tidak suka dikritik secara langsung.

James Danandjaya (dalam Suhadi, 1989) mengatakan bahwa humor dapat berfungsi sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang yang disebabkan oleh represi atau dominasi kekuasaan, ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, suku bangsa atau golongan, dan kekangan dalam kebebasan gerak, seks, atau kebebasan mengeluarkan pendapat.

Jika ada muncul represi dan tekanan dari kelompok penguasa, humor biasanya hadir sebagai bentuk resistensi dari tekanan tersebut.

Di rezim Orde Baru yang represif dan anti-kritik, humor kerap dimanfaatkan oleh pengkritik sebagai bentuk resistensi secara halus terhadap dominasi kekuasaan karena mengkritik pemerintah secara langsung kerap berakhir bencana.

Hal ini pernah dilakukan oleh Warkop DKI yang guyonannya sering menyentil lanskap sosial-politik di Orde Baru yang pada saat itu berupaya mencengkram segala lini, termasuk indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di lingkungan kampus.

Kondisi sosial-politik ini direspon secara jenaka oleh Warkop DKI melalui lelucon mereka yang sesungguhnya adalah kritik terhadap dominasi Orde Baru. Mereka kerap melontarkan guyonan tentang militerisasi kampus, pemaksaan P4 di lingkungan kampus, urbanisasi, maraknya gelar sarjana lulusan luar negeri, program keluarga berencana (KB), dan lain-lain.

Baca juga: Humor Politik dan Politik Humor ala Anies Baswedan dan Kiky Saputri

Di era kebebasan berpendapat humor semakin mendapatkan momennya, saat ini banyak komika yang bermunculan di televisi maupun media sosial untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik secara langsung, salah satunya adalah komika Kiky Saputri yang kerap melakukan roasting (bentuk komedi yang melibatkan ejekan) kepada pejabat secara live seperti kepada Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Fadli Zon.

Sudah saatnya humor dianggap 'serius"

Uraian di atas menjelaskan bahwa humor bukan hanya sebatas lelucon yang mengundang tawa, tetapi wahana yang menyimpan beban makna yang mencerminkan realitas sosial sehingga menurut penulis sekaligus akademisi Seno Gumira Ajidarma sudah saatnya humor mendapatkan perhatian khusus dari para insan kampus.

Pengagas Lembaga Kajian Humor Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) itu juga menambahkan bahwa ilmu pengetahuan wajib untuk memeriksa segala hal yang digemari secara massal sebagai suatu fenomena dan gejala sosial budaya, dan menurut dia humor masuk dalam kategori tersebut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi