Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2017

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Kartini, Kesalehan Sosial dan Eksibisi Indonesian Women Artists #3

Baca di App
Lihat Foto
Bambang Asrini
Foto tiga buah instalasi perahu perang dengan patung sosok berjubah buah pala berbalut emas karya Tita Rubi
Editor: Sandro Gatra

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Kutipan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
Kutipan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1903

Dari surat-surat Kartini, yang dinukil tentang dua hal di atas dengan tarikh 1900-1903 untuk sahabatnya, Abendanon termaktub perempuan dan manusia adalah sebuah keutuhan. Sekaligus perempuan juga hamba bagi sang Pencipta.

Tentang itu, peringatan Hari Kartini tahun ini bersisihan dengan Ramadhan, bulan sakral bagi Muslim sedunia.

Dalam pandangan Islam, Hamba Allah (Abdul Kholiq) tak berarti hanya memampangkan ketundukan personal, yang ritual saja.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun juga kesadaran hakiki tentang kontribusi kongkret fenomena di luar diri (tinjauan muamalah). Yakni nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada lingkungan sekitar.

Sebuah pameran besar dari sepuluh perupa perempuan yang dihelat bulan April lalu di Galeri Nasional membawa pesan mendalam.

Sejatinya keperempuanan dan karya-karya seni serta kesalehan sosial saling berkelindan. Irisan dengan perayaan Hari Kartini bisa memberi ruang pembacaan ulang.

Tentang catatan-catatan kritisnya dengan dimensi spasial kaum hawa dan masyarakat di zaman digital yang mencengkeram kesadaran ini.

Pameran Seni yang cukup besar tahun 2022, bisa jadi membuka telaah spektrum luas dalam kajian-kajian seni pascafeminisme ala Barat.

Kajian yang tidak saja mengulas kesetaraan gender, tapi eksistensi perempuan mewakili mereka yang dipinggirkan, seperti kesenjangan sosial dll -- selain pergulatan personal spiritual Kartini yang berdimensi kultur lokal (Islam dan tradisi Jawa).

Kita bisa menyaksikan eksibisi seni itu sebagai manifestasi kegundahan sosial ‘para Kartini Abad 21’ yang digelar di Galeri Nasional Indonesia dari Indonesian Women Artists yang ke-3, dengan tajuk ‘Infusion Into Contemporart Art’.

Tema pameran bisa ditranslasikan bebas bahwa seni kontemporer memberi kontribusi energi untuk visi dan ide-ide unik, kontemplatif, menggigit dan tak biasa dari seniman; bermuatan artefak tak hanya yang estetis namun yang etis.

Para seniman itu berkarya selama karirnya lebih dari dua dasawarsa dan telah terbukti menjadi para jawara seni dengan pengakuan global atas nama seniman Indonesia.

Pengakuan Kurator paling senior yang mengampu perhelatan seni ini, yakni Carla Bianpoen, selain didampingi Inda Citraninda Noerhadi dan Citra Smara Dewi, meyatakan pada penulis:

“Saya memilih sepuluh perupa perempuan untuk diundang dalam pameran ini lebih pada gagasan-gagasan mereka yang berpihak pada nilai kemanusiaan universal. Juga konsern mereka pada perspektif lokalitas. Karya-karya mereka cenderung visioner dan bernuansa etis.”

Dari pernyataan Carla, kita mendapati karya-karya seni yang mentransmisi pesan tentang ingatan sejarah komunal, keberanian berpikir terbuka dan kritis dalam konteks bermasyarakat.

Selain keprihatinan tentang krisis lingkungan, penolakan stigma bagi yang dipinggirkan dan tentu saja: refleksi ketuhanan yang subtil.

Yang sakral dan yang perkasa

Dari keempat perempuan partisipan senior, yakni Astari Rasjid, Dyan Anggraeni, Dolorosa
Sinaga serta Tita Rubi kita bisa menarik benang merah bahwa kemanusiaan bersiborok di antara dua tataran: yang transenden dan yang profan.

Sisi yang sakral dibentangkan oleh patung-patung instalatif Wayang Golek Astari dengan diwakilkan sosok-sosok yang dianggap mulia dan bermartabat dari perempuan.

Lewat figur para Dewi dari khasanah mitologi lokal dan narasi perempuan-perempuan suci global yang karyanya menyambut di pintu utama Galeri Nasional.

Perempuan-perempuan perkasa, yang profan; dipampangkan di galeri dengan karya Tita Rubi, dengan abstraksi instalatif tiga perahu yang menceritakan simbol hal-ikhwal zaman penjelajahan Samudera, sekitar 1618, seperti katanya:

“Sebenarnya ini sebuah simbol, tidak tentang perempuan saja, bahwa masa penjelajahan
samudera memang ada figur perempuan-perempuan perkasa saat Nusantara dieksploitasi oleh bangsa asing”.

“Semisal sosok ksatria Inong Balee, Laksamana Malahayati (Aceh) hadir, tatkala kongsi dagang
Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) bersaing dengan kongsi dagang Inggeris
(East India Company/EIC) memunculkan pergolakan berdarah.

Perang total terjadi abad itu, di sejumlah kerajaan Nusantara seperti Aceh, Madura dan Banten”.

“Rempah-rempah terutama buah pala menjadi primadona dunia untuk elemen obat dan
makanan di Eropa—yang mengakibatkan pembantaian 15.000 etnik Banda di Batavia”.

Tita merekonstruksi tiga buah perahu perang dengan patung sosok berjubah buah pala berbalut emas, yang di masa itu, perahu-perahu cadik sangat bisa menandingi kecanggihan perahu- perahu raksasa para penjelajah bangsa Eropa.

Dyan Anggraeni bercerita lain, memilih mempresentasikan karya-karya mewakilkan ”jalan
pedang perempuan lembut”—dalam hal ini ingin bertutur banyak tentang pengalaman dirinya
beririsan juga dengan yang komunal.

Dengan bahasa perlambangan bermakna upaya untuk perempuan untuk selalu mandiri.

Patung-patung kaki perempuan terlihat dicoret-coret teks- teks tertentu. Menjadi penanda, perempuan harus tengadah, berjalan dengan kaki kokoh, juga lukisan-lukisan sosok bertopeng misterius gambaran tentang profesinya sebagai birokrat di masa lalu.

Sementara itu, Dolorosa, seniman sekaligus aktivis ini mengajak kita berefleksi dengan sejumlah patungnya tentang kerapuhan diri (fana), kematian dan kegetiran peristiwa-peristiwa
tragik pada sejarah tahun 1965.

Manusia-manusia terkulai dalam liang lahat—separuh liang kubur dan buku memori, atau
sedang terpekur di hadapan tubuh kuburnya.

Dolo menggambarkan manusia-manusia penguasa politik saat ini menampik ingat, bagi sebagian keluarga korban dan Dolo sendiri sepertinya mereka (penguasa-penguasa itu) menolak takdir.

Karya itu, seraya menggugat yang sudah terjadi namun sia-sia menyanyat benak; dan berserah diri mungkin terlukiskan di sana?

Samar-samar wajah Tuhan terselip dalam ekspresi gestur tubuh patung, selain gugatan atas sejarah kelam.

Lingkungan hidup, keindonesiaan dan stigma sosial

Selanjutnya kita bisa menyaksikan karya seniman senior lainnya, Arahmaiani dengan video tentang performannya selain proyek lamanya tentang bendera berimej huruf tertentu.

Mengaitkannya pada ke-Indonesiaan, komuntas-komunitas tertentu dan lingkungan hidup.

“Saya selalu ada interaksi dengan komunitas-komunitas, orang-orang dengan kultur dan
kearifan-kearifan lokal beragam untuk memahami keberbedaan. Pelajaran yang saya bawa
di berbagai tempat di dunia untuk mengembalikan betapa kaya pluralitas etnik negeri ini
sekaligus sebenarnya itu ancaman laten untuk selalu waspada,” ujarnya pada penulis.

Selama di Tibet, seperti terlihat di video, Arahmaiani berkolaborasi dengan sejumlah biksu di
vihara dan penduduk setempat.

“Saya memamerkan juga pesan-pesan; tentang bagaimana seni bisa memberi kesepahaman
di luar lingkar kekuasaan dan politik. Instalasi bendera-bendera itu berujar kemajemukan dan
kesetaraan dengan cara yang indah, seperti yang saya bawa dari imej aksara Tibet, Bali, Jawa
dan Lombok.”

“Saya selalu terinspirasi pada ikon seniman Jerman Joseph Beuys; bahwa seni memberi
kekuatan yang non materill, sumbangsih moral untuk berbuat lebih nyata di dunia sosial”
imbuhnya.

Kita sekarang menjumpai karya Indah Arsjad. Ia menggunakan ruang gelap di dalam galeri,
dengan teknik animasi digital juga penggunaan rekam kamera mikrokospis di sebuah video.

Indah bernarasi tentang keprihatian ancaman menipisnya oksigen di bumi sebab ulah manusia.

“Karya berangkat dari pengalaman personal terkena covid pada 2020. Paru-paru ada masalah
berat, perlu oksigen pada masa perawatan. Saya memutuskan mengobservasi dan membangun
konsep.”

“Akhirnya berkolaborasi dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) tentang kualitas
oksigen, yang sebagian besar kontribusinya tidak di darat tapi di laut. Saya ke Teluk Jakarta dan Cirebon mengambil contoh; membawanya ke laboratrium BRIN dan diuji para ahli”
Hasilnya algae dan phytoplankton di laut (penghasil oksigen untuk bumi) kondisinya
memprihatinkan.

Konsep karya Indah dikaitkan dengan mitologi Jawa di lakon Pewayangan: imej-imej kuno sosok Batarakala, gelombang samudera, laut dan waktu tersisa.

Indah elok membawa mitologi lokal merespon gejala global. “Sejak ribuan tahun lalu, para
leluhur memberi pesan perlunya keseimbangan manusia dan alam”, tegasnya.

Seniman lain, Melati Suryodarmo masih percaya bahwa ingatan tragik sebuah bangsa layak menjadikan mawas diri; waktunya ada rekonsiliasi semua pihak.

Berani berdamai pada masa lalu (sejarah yang gelap) dan memaafkan yang sudah.

Melati menyampaikan pesan dengan instalasi baju-baju bertumpuk yang tergantung, mesin jahit simbol upaya merenda memori dan ia dan tubuhnya melakukan performan seninya selama 5 jam pada pembukaan pameran April lalu.

Ia menorehkan kapur putih pada dinding hitam sembari merintih: “I’m sorry”.

Seniman yang Juni nanti berpameran di Museum Bonnefanten, Belanda sebagai penghargaan atas kemenangannya di tahun ketujuh penyelenggaraan the Bonnefanten Award for
Contemporary Art (BACA), berujar:

“Karya instalasi dan performan saya lebih universal. Tidak hanya untuk bangsa kita. Dunia lelah dengan sejarah tragik bangsa-bangsa bertikai, penuh konflik, dan cerita-cerita genosida pun perang. Kengerian akan masa lalu layak dijahit ulang; agar tak menjadi beban bagi generasi penerus” imbuhnya.

Isu dunia abad 21 juga disitir oleh seniman lainnya, Bibiana Lee dengan karya samsak tinju instalatif yang memberi partisipasi pengunjung melayangkan bogem tangan mereka pada obyek seninya.

Bibiana mengeksplorasi krisis identitas di era cyber media, melahirkan rasa saling curiga antar anak bangsa, ras dan warna kulit secara global; mencipta tegangan-tegangan akut.

Ketegangan politik, fenomena Brexit dan “kebangkrutan bangsa Yunani”, krisis imigran, kesenjangan ekonomi apalagi hadirnya perang Rusia-Ukrania memicu ketidaksaling percayaan terutama bangsa Eropa dan Amerika terhadap bangsa Asia.

Bibiana mencatat ada gejala xenophobia, terutama dalam satu dekade ini, usai China sangat dominan sebagai kekuatan ekonomi dan politik anyar bagi dunia.

“Saya membuat samsak tinju sebagai lambang stigma yang terjadi untuk segera kita hantam bersama. Dengan teks-teks dan imej yang bertabur di TV, media sosial, pengalaman langsung menyaksikan peristiwa-peristiwa demonstrasi yang rasis sungguh sangat tidak bisa ditoleransi”

“Malahan, ada julukan seperti ujaran-ujaran kebencian yang dialamatkan tatkala Covid 19 merebak sebagai KungFlu, plesetan kata Kungfu dan Flu dari China. Stigma pada bangsa Asia menghebat, justru dipopulerkan oleh para pimpinan politiknya, seperti Trump di Amerika Serikat,” ujar Bibiana.

“Saya ikut merasakan apa yang mereka alami, di manca negara, di negeri-negeri jauh itu bahwa I’m Not A Virus” ujarnya.

Bibiana secara tersamar, separuh memancing rasa solidaritas dengan parodi yang perih; mengijinkan pemirsa pameran menolak stigma.

Maka bulan Mei awal ini yang dipeluk spirit Hari Raya Idul Fitri, sebagai janji pintu maghfirah (ampunan) terbuka dari sang Pencipta— mengingat ulang kata Kartini, keinginan tertingginya menjadi Hamba Allah.

Niscaya, sebagai abdi-Nya; kita bersama runduk membawa kasih wujud kesalehan sosial dan pemaafan pada sesama, tatkala dunia terkulai dirundung angkara murka.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi