Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Presidensi G20 di Bali 2022 dan "Climate Leadership"

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Kemenkominfo
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Editor: Egidius Patnistik

SENIN, 14 Maret 2022 di Hotel Meruorah Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, merilis nada harapan bahwa kepemimpinan Indonesia dapat lebih berperan dalam isu perubahan iklim dan perdamaian kawasan Asia melalui momentum Presidensi G-20 di Bali pada November 2022.

Rabu, 1 Desember 2021 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Presidensi G20 Indonesia dengan tema Recover Together, Recover Stronger. Fokus Presidensi G20 Indonesia ialah (1) arsitektur kesehatan global yang inklusif dan tanggap krisis; (2) transformasi sosial ekonomi berbasis digital; dan (3) transisi menuju sistem energi berkelanjutan.

G20 adalah forum antar-pemerintah terdiri dari Uni Eropa dan 19 negara (Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat (AS). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Spanyol, Uni Afrika, Asean, dan organisasi internasional lain menjadi tamu-undangan permanen.

Baca juga: Apa Keuntungan Indonesia Jadi Anggota G20?

Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence/MOD) Inggris merilis tren stategis global “Global Strategi Trends” edisi ke-6 tahun 2018. Dua dari 16 faktor ketidakpastian global yang memicu risiko skala besar awal abad 21 yakni erosi kedaulatan negara-negara dan lonjakan disrupsi dan ongkos perubahan iklim.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedua faktor risiko tersebut membawa risiko besar. Sebab hukum, yurisdiksi, kebijakan, dan program tata kelola tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah basis kekuasaan tiap negara. Maka tentu risiko sangat besar, jika terjadi erosi kedaulatan negara.

Di sisi lain struktur kapitalisme dunia sejak Revolusi Industri di Eropa, telah terpateri erat dengan bahan bakar fosil (batu-bara, minyak, gas) dari perut Bumi. Bahkan kapital fosil menentukan pertumbuhan ekonomi banyak negara hingga awal abad 21 (Heinberg, 2011).

Untuk menghasilkan energi, bahan fosil dibakar. Risikonya, pelepasan CO2 ke atmosfer, pemicu utama perubahan iklim selama ini (Fronk, 2014:2; IPCC, 2021). CO2 (karbon-dioksida) mengontribusi sekitar 65 persen kenaikan suhu atmosfer (Aleklett, 2012) dan memengaruhi suhu laut dan kenaikan permukaan air laut sejak 1970 (IPPC, 2013).

Pilihan kini ialah tansisi dari energi fosil ke sistem energi bersih-bekelanjutan. Hillary Fronk (2014) menulis tesis tentang peluang transisi ke sistem energi berkelanjutan: “Global Capitalism and the Energy Crisis” pada University of Denver, AS. Fronk menulis bahwa penemuan dan penggunaan api dari batu dan kayu adalah jejak awal manusia dengan tata-kelola sumber energi berkelanjutan, peradaban manusia, dan bahkan survival-eksistensi kehidupan manusia di planet Bumi.

Lihat Foto
Dennis Larsen /Pixabay
Gletser di Alaska mulai mencair akibat perubahan iklim
Climate leadership

Transisi dari sistem energi fosil ke sistem energi bersih-berkelanjutan pada tiap negara sangat bergantung pada kepemimpinan nasional. Misalnya, korupsi memiliki jejak ekologis (ecological foot-print) antara lain degradasi (rapuh) ekosistem, degradasi tanah-air, punah keragaman-hayati, penipisan sumber daya alam, bencana alam, kelangkaan air sehat-bersih, kekeringan, kebakaran hutan, bencana alam, dan desertifikasi (rapuh-lahan). Ini pula tantangan kepemimpinan tiap negara, termasuk para pemimpin kelompok negara G20 kini.

Sistem energi bersih-berkelanjutan selama ini belum kompatibel dengan struktur ekonomi tiap negara. Sistem ekonomi tiap negara lebih kompatibel dengan bahan bakar fosil. Maka transisi sistem energi dari fosil ke energi bersih-berkelanjutan bakal mengubah sistem sosial-ekonomi-lingkungan tiap negara saat ini.

Baca juga: Begini Dampak Perubahan Iklim Jika Tidak Segera Diatasi

Pilihan kini ialah kepemimpinan nasional yang hikmat-bijaksana untuk mengubah sistem sosial-ekonomi agar kompatibel sistem energi bersih-berkelanjutan yang memitigasi efek-efek perubahan iklim. Kepemimpinan negara harus solid-kuat guna mencegah erosi kedaulatan negara dan tidak tergerus oleh sistem neoliberal berbasis kapitalisme fosil.

Ini tidak mudah, misalnya lihat data awal abad 21 di AS (Deffyes, 2005), ada enam ribu tambang aktif batu-bara; bahkan ¾ konsumsi energi di AS berasal dari batu-bara (Heinberg, 2011).

Awal 1900-an, minyak digunakan sebagai sumber energi; minyak mulai digunakan dalam perang pada era Kaisar Romawi Konstantinus IV abad 7 M (Heinberg, 2011). Awal abad 20, minyak menjadi sumber pokok pertumbuhan ekonomi di Eropa dan AS (Fronk, 2014:10). Struktur ekonomi dunia sejak tahun 1965, masih didominasi oleh konsumsi energi fosil.

Kepemimpinan hikmat-bijaksana melaksanakan kebijakan dan program pemulihan ekosistem negara dan transisi sistem energi dari bahan bakar fosil ke energi bersih-berkelanjutan (climate leadership). Misalnya, pilihan kebijakan pajak dan subsidi dapat mempercepat transisi ini.

Subsidi adalah bentuk bantuan langsung atau tidak langsung dari pemerintah ke sektor-sektor usaha yang ramah-lingkungan (Harris et al, 2013). Di sisi lain, reformasi kebijakan pajak dan subsidi tidak mudah, jika lihat data global proyeksi subsidi bahan bakar fosil tahun 2010 sebesar 500 miliar dollar AS; insentif pemerintah ini 12 kali lebih besar dari subsidi ke sumber energi bersih-berkelanjutan skala global (Morales, 2010).

International Energy Association (IEA, 2013) menyebut data subsidi pemerintah di dunia sebesar 544 miliar dollar AS ke industri bahan bakar fosil tahun 2012.

Lihat Foto
DOK. Humas Kemenkominfo
Pemerintah Republik Indonesia mengagendakan pembahasan tiga isu prioritas untuk dibahas bersama negara anggota Presidensi G20 Indonesia 2022.
Presidensi G20 Bali

Para pemimpin G20 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Pittsburg, AS, tahun 2009, setuju prakarsa untuk memotong subsidi ke industri bahan bakar fosil. KTT G20 itu juga mendorong kebijakan dan program energi bersih-berkelanjutan. Namun, secara umum, menurut IEA (2013), pengurangan subsisi ini lamban pada banyak negara.

Di sisi lain, tahun 2009, pemerintah Jerman mulai menyediakan 10 miliar dollar AS subsidi dan tarif sektor energi bersih-berkelanjutan. AS memasok subsidi sebesar 18 miliar dollar AS dan Tiongkok sebesar 2 miliar dollar AS ke sektor energi bersih-berkelanjutan. Kebijakan dan program serupa juga dilakukan oleh sejumlah negara Uni Eropa.

Secara umum, produksi minyak dari anggota G20, misalnya AS, Indonesia, Meksiko, Inggris, dan Norwegia, cenderung berkurang (Heinberg, 2011). Langkah ini harus diikuti oleh penguatan sektor-sektor industri atau sumber energi bersih-berkelanjutan. Kita lihat, umat manusia memiliki tradisi lama penggunaan energi angin, matahari, dan air.

Baca juga: Presidensi G20 dan Agenda Transisi Energi Nasional

Sekitar 2000 tahun pra-Masehi, orang-orang Mesir menggunakan energi angin untuk menggerakan kapal-perahu layar; peradaban Mediteranian dan Timur-Tengah telah lama menggunakan tenaga angin untuk pompa air (Olah, 2006).

Data EIA (Energy Information Administration) asal AS (2013) menyebutkan, energi angin menyediakan pembangkit listrik dunia sebesar 104 miliar kwh (killowatt hours) tahun 2005 dan 617 miliar kwh tahun 2013. Namun, jumlah ini hanya berkisar 1 persen dari total pembangkit listrik dunia (EIA, 2009).

Kendala penggunaan energi angin dan matahari adalah kapasitas simpan energi terbatas (Trainer, 2007). Teknologi dapat mengatasi kendala ini. Sumber energi air antara lain sungai, danau, atau dam guna mengubah energi kinetik melalui putaran (rotasi) turbin untuk menghasilkan energi listrik (IEA, 2010). Sumber energi dari gelombang laut dapat dikelola tanpa berisiko terhadap kehidupan laut, navigasi, dan wisata (EIA, 2012).

Transisi sistem energi fosil ke energi bersih-berkelanjutan, hanya dapat dilaksanakan melalui formula sustainable decision making. Yakni cincin kebijakan yang menghasilkan nilai-nilai dan manfaat sosial, sosial-lingkungan, ekonomi, ekonomi-sosial, ekonomi-lingkungan, dan lingkungan bagi bangsa dan negara. Sehingga kebijakannya terukur, terarah, tidak bias, pertahanan kuat, dan kontrol kuat oleh negara.

G20 diprakarsa dan dibentuk oleh pertemuan para menteri keuangan negara G7, misalnya Paul Martin Menkeu Kanada, Hans Eichel Menkeu Jeman, Larry Summers Menkeu AS pada 15-16 Desember 1999 di Berlin, Jerman. Fokus awal G20 ialah stabilitas keuangan global.

Maka agenda pokok G20 abad 20 ialah respons kebijakan terhadap krisis nilai tukar, misalnya krisis keuangan Asia Tenggara (1997-1999), rubel Rusia (1998), dan peso Meksiko (1994). Maka akhir abad 20, fokus agenda G20 ialah stabilitas keuangan global dan utang negara (sovereign debt) (Ibbitson, 2016; Liao, 2016). Target utama ialah pertumbuhan ekonomi berbasis regulasi keterbukaan pasar uang dan perdagangan dunia.

Tahun 2016, G20 membingkai komitmen Agenda 2030 pembangunan berkelanjutan dari PBB. Isu pokoknya ialah pertumbuhan seimbang-berkelanjutan; perlindungan planet Bumi dari degradasi; penguatan mitra negara berkembang dan negara miskin. G20 Summit Hangzhou, Tiongkok, menyepakati rencana-aksi dan prinsip implementasi Agenda 2030 (Tanu et al, 2020).

Presidensi G20 di Bali menghadapi tantangan riil transisi sistem energi yang memicu kelahiran tata baru sosial-ekonomi-lingkungan negara-negara abad 21. Data International Institute for Sustainable Development (IISD, 2021) menyebutkan, negara-negara G20 telah menghabiskan lebih dari 3,3 triliun dollar AS subsidi ke bahan bakar fosil sejak Kesepakatan Iklim Paris (Paris Agreement) tahun 2015 (Carrington, 2021).

Laporan IISD (2021) menambahkan bahwa perubahan subsidi konsumsi bahan bakar fosil pada 32 negara, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca global sekitar 5,46 miliar ton CO2 tahun 2030. Jumlah ini ekuivalen dengan emisi CO2 per tahun dari 1000 pabrik pembangkit listrik batu-bara atau 3,8 miliar mobil. Bahkan reformasi subsidi itu juga menghemat sekitar 3 triliun dollar AS anggaran pemerintah 32 negara pada tahun 2030.

Tantangan Presiden G20 di Bali lainnya ialah G20 mengisi 75 persen emisi karbon dunia (IISD, 2021). Maka rekomendasi transisi ke sistem energi bersih-berkelanjutan dari G20 Bali diharapkan dapat merespons tantangan kepemimpinan negara abad 21 yakni rapuh ekosistem, rapuh tanah-air, punah keragaman-hayati, desertifikasi, mafia ekonomi, kartel, pengangguran, aliran “gelap” modal, ketidak-adilan, korupsi, pandemi, kemiskinan kronis, krisis kemanusiaan, bencana alam, kelangkaan air sehat-bersih, penipisan sumber daya alam, dan kebakaran hutan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi