Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
CEO Prambanan Jazz Festival
Bergabung sejak: 30 Mar 2022

CEO Prambanan Jazz Festival dan Ketua Bidang Jaringan dan Pendidikan APMI (Asosiasi Promotor Musik Indonesia)

Blora yang Terpahat dari Kata-Kata, Selebihnya (Kelak) Perhelatan Musik Internasional

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/ ADITYA PUTRA PERDANA
Mesin tik sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer dipajang dalam pameran di rumah masa kecil Pram di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (13/9/2018). Pameran itu bagian dari Festival Cerita dari Blora, yang berisikan sejumlah kegiatan terkait dengan sastra, kebudayaan, dan Pram.
Editor: Egidius Patnistik

LEBARAN memang sudah berlalu. Yang pulang ke masa lalunya kini berhadapan lagi dengan hidup yang kini; ada, apa adanya, maupun seadanya.

Jika lebaran semacam perjalanan pulang saban tahun, maka kali ini ingatan saya tertanam dengan kuat di Blora, Jawa Tengah. Bukan saja karena “Kota Jati” ini menjadi jalur leluhur spiritualitas saya, tetapi di sini ada Pramoedya Ananta Toer. Di sini, ada pujangga yang disumbang Indonesia kepada dunia.

Seperti saya yang pulang, Blora juga bagi Pram adalah blok-blok ingatan yang terus menariknya untuk datang walau sesaat. Tepat saat saya berjumpa dengan bupati Blora pada suatu malam, terngiang cerita Pram, Cerita dari Blora.

Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Masa Mudanya

Kali Lusi melingkari separuh bagian kota Blora yang sebelah selatan. Di musim kering dasarnya yang dialasi batu-krikil lumpur dan pasir mencongak-congak seperti menjenguk langit. Air hanya beberapa desimeter saja. Tapi bila musim hujan datang, air yang kehijau-hijauan itu jadi kuning tebal mengandung lumpur. Tinggi air hingga duapuluh meter. Kadang-kadang menjadi lebih. Dan air yang mengalir damai jadi gila berpusing-pusing. Diseretinya rumpun-rumpun bambu di tepi-tepi kali seperti anak kecil mencabuti rumput. Digugurinya tebing-tebing dan diseretnya beberapa bidang lading penduduk. Lusi! Dia merombak tebing-tebingnya. Dan di dalam hidup ini, kadang-kadang aliran yang deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan setahunya ia kehilangan beberaa bagian dari hidup itu sendiri ….

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seperti Umar Kayam yang membuka Para Priyayi dengan deskripsi memikat soal “halaman” dan “pohon” di jantung Kota Ngawi di Jawa Timur, Pram dengan melankoli memulai semuanya dari bambu dan sungai. Deskripsinya memikat. Dan, ini dia, dekripsi itu mengandung daya dan ironi.

Dari depan rumah kami nampak pucuk rumpun-rumpun bambu yang hijau hitam. Bila angin meniup mereka bersuling-suling meliuk-liuk yang selalu menimbulkan perasaan takut dalam hatiku di waktu kecil. Segera aku lari ke pangkuan bunda dan menangis. Dan masih terdengar-dengar hingga kini bunda bertanya: “Mengapa menangis?”

“Ibu … bambu itu menangis.”

Dan bunda mengambil daku dan diletakkan di pangkuannya. Berkata ia memberanikan: “Dia tidak menangis. Tidak. Dia sedang bernyanyi.”

Di sisi fiksi, saya mendengar Pram menangis pilu di sudut kota. Seperti hidupnya yang berkain badai dan derita. Di sisi lain, bambu yang menyanyi itu semacam modal sosial bahwa Blora bukan anak tiri sejarah setelah Arya Penangsang sungsang, setelah kota ini kelak identik dengan “kota yang keras”, kota dengan garis tangan melahirkan “pembangkang”: mulai dari Samin hingga Marco Kartodikromo, Maridjan Kartosoewirjo, dan Pramoedya Ananta Toer.

Tokoh “Bunda” dalam Cerita dari Blora adalah optimisme lain dari Blora bahwa bambu-bambu Blora sejatinya adalah bambu yang rindu seruling, rumpun yang bernyanyi dan bersastra. Dokumenter yang diproduksi Lontar beberapa dekade silam bahkan menyebut “Blora” sebagai kata pertama, bukan “Jakarta”, bukan pula “Pramoedya”.

Bambu dan rumpun yang menyanyi itulah yang saya dengar sayup-sayup saat saya dan rombongan Rajawali Indonesia dari Yogyakarta menyambangi Blora, menemui bupati, bertamu di rumah masa kecil Pram yang ada dalam Cerita dari Blora.

Termasuk, saya terus dikuntit Pram saat bercakap dengan Bupati.

Penduduk daerah kami digiring oleh air ke alun-alun. Mereka membawa anak, kerbau, sapi, dan diri sendiri. Dan barangsiapa tak cepat-cepat pergi akan digulung oleh air dan dibawa ke muaranya. Hujan terus jua jatuh dengan lebatnya. Rumah Ndoro Bupati penuh sesak oleh manusia. Kemudian dia lihat Ndoro Bupati keluar dari rumahnya membawa sebilah cemeti. Dipecutnya air yang menjilati tepi alun-alun sambil memantrai. Dan perlahan-lahan tapi pasti air pun mulai surut dan kembali masuk ke Kali Lusi.

Rumah sastra Pram di mana kata-kata pertama kali ditimba oleh salah satu anak kandungnya paling jenius dan tabah mengarungi belukar hidup adalah modal sosial yang begitu penting bagi Blora. Saat Cerita dari Blora diterjemahkan dalam bahasa bangsa-bangsa lain, saat itu Blora telah mengembara dalam alam pikir anak semua bangsa.

Pada sisi yang lain, kedatangan saya dari Yogya ke Blora semacam percakapan imajinatif betapa dua kota ini sesungguhnya menyimpan ketegangan yang kompleks. Paling tidak, bagi Pram. Dalam pikiran Pram yang bisa saya susur, Yogya bukanlah semacam kota pariwisata, kota budaya di mana pada 2003 ia datang pertama kali setelah ia bebas dari Pulau Buru pada 1978 sebagai seorang wisatawan domestik.

Pram memandang hubungan Yogya—Blora selamanya bersifat politik; mulai dari wayang hingga sejarah (Mangir, Ratu Kidul, dan Sultan Agung). Mula-mula, Yogya terbangun kala heroisme Blora diluruhkan. Hutan Mentaok yang menjadi alas awal Mataram dan kini menjadi wilayah kekuasaan awal Yogyakarta tiada lain adalah hadiah ketika pembangkang liat dari Blora, Arya Penangsang, dihancurkan oleh dua juru taktik andal: Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani.

Dan, pembaca, saya tinggal justru di Purwomartani (Sleman) di mana salah satu juru taktik perang penakluk Blora namanya terpahat. Namun, saya tidak datang dengan menadah nampan yang membuat Blora menangis, tetapi seperti kata tokoh “Bunda”, saya menawarkan bambu (musik) yang membuat (Blora) bernyanyi.

Blora memang kaya dengan jati. Tapi, jati diri Blora juga patri yang terpahat dari kata-kata. Sebuah kota yang dibayangkan oleh pembaca sastra dunia menyimpan kompleksitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi.

Blora dalam Cerita dari Blora adalah dunia sendiri yang karikatural di mana dari sumur kata-kata itu kita bisa merayakan masa depan yang baru bagi Blora. Bukan hanya “Bunda” yang optimistis bahwa Blora adalah nyanyian, tetapi juga Blora bisa menjadi tujuan pelancong dunia, sebagaimana kota-kota yang memiliki sejarah panjang yang teringat kuat.

Music tourism yang selama ini saya rancang dan bangun secara serius yang menjadi pondasi cakar Rajawali Indonesia bisa menjadi pintu masuk merayakan “(Bambu) Blora Bernyanyi”.

Semua prasyarat obyektif itu ada di Blora, selain, tentu saja, karena saya memiliki keterikatan yang emosional dengan Pramoedya Ananta Toer dan keluarganya. Belum lagi, pada 2018, MocoSik, sebuah festival buku dan musik yang saya helat, mengangkat Pram dan Bumi Manusia sebagai tema besar utama dengan menghadirkan keluarga besar Pram.

Lewat kata-kata, Pram memperkenalkan Blora dalam segala aspek sosial yang melingkupi masyarakatnya; lengkap dengan daya juang berkobar dan kegetiran tokoh-tokohnya. Kini, Blora bisa kita rayakan kembali lewat musik yang berkonsep music tourism.

Dengan wisata berbasis musik, bukan hanya Blora yang bergembira, tetapi menggeliatkan ekonomi kota dan kabupaten di sekitarnya, seperti Jepara, Demak, Rembang, Tuban, dan Bojonegoro. Tanah dan riwayat kota-kota itu, kita tahu, juga menjadi inspirasi Pram dalam berkarya.

Dari rumah kata-kata Pram di pinggiran Kali Lusi, Jepara terhubung lewat Panggil Aku Kartini Saja. Demak dan Tuban berdetak dalam epos Arus Balik. Bojonegoro terkerek lewat Bumi Manusia. Dan, Rembang yang tersaksi secara sublim dalam Gadis Pantai.

Pada akhirnya, dari kata-kata Pram, Blora kita bisa rayakan di kekinian dengan perhelatan musik internasional.

Di tiap-tiap lebaran ayah membeli mercon segerobak. Aku dan adikku yang kecil dan bunda dan anak-anak angkat orangtua kami mendapat baju baru dan uang dari ayah. Mercon dibakari dan pecahannya bersebaran di pelataran. Anak-anak para tetangga datang merubungi mercon yang akan diledakkan. Dan bukan main gembiraku di hari-hari lebaran seperti itu.

Saya tidak tahu, metafora “mercon segerobak” dari Pram itu bagaimana mewujudkannya dalam dunia kita saat ini. Bisa jadi sebentuk musik rock yang “meledak” dan membuat semua anak-anak bangsa bergembira. Tunggu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi