Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution
Bergabung sejak: 17 Mei 2022

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Kaum Intelektual dan Kekuasaan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS
Ilustrasi
Editor: Egidius Patnistik

SIAPA yang layak disebut intelektual? Apa saja tanggung jawab publik para intelektual?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas sejatinya saling tekait satu sama lain. Noam Chomsky dalam karya klasiknya 50-an tahun lalu punya jawaban yang menarik. Mengapa Noam Chomsky? Karena Profesor Chomsky adalah salah satu contoh konkret kontemporer yang paling konsisten menjalankan perannya dan bertindak dengan penuh kesadaran sebagai seorang "intelektual publik" untuk dunia, meski dianggap asing oleh negaranya sendiri.

Tanggung jawab kaum intelektual

Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mendapatkan jawaban dari pertanyaan kedua terlebih dahulu. Kata Chomsky, ada tiga tanggung jawab utama para intelektual. Pertama, "To speak the truth and expose the lie." Kedua, "To provide historical contex." Ketiga, "To lift the veil of ideology." Jika mampu mengemban tanggung jawab itu, sudah layak disebut intelektual, siapapun anda.

Baca juga: UI Panggil Mahasiswa Kritis dan Pejabatnya Merangkap dalam Kekuasaan, Pakar: Pelemahan Kaum Intelektual

 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berani mengatakan kebenaran adalah satu hal. Sementara mengekspos kebohongan adalah hal lainya. Tapi keduanya ada dalam ranah fungsional yang sama. Jika mampu menunjukan kebenaran faktual atas tindakan pemerintah, misalnya, maka kebohongan pemerintah sekaligus akan terkespos dengan sendirinya.

Mengapa mengarahnya kepada pemerintah dan penguasa? Karena memang ke sana arah fungsional para intelektual. Di balik kekuasaan, ada dominasi dan monopoli yang bisa mengubur banyak mimpi. Di balik kekuasaan juga ada dominasi dan monopoli yang bisa membuahi banyak mimpi.

Pemilik kekuasaan bisa menjadi sumber kebahagiaan publik, tetapi juga bisa menjadi sumber penderitaan banyak orang. Kekuasaan bisa mendatangkan bencana karena satu kebohongan, begitu pula sebaliknya.

Karena itu, mengungkap kebohongan penguasa adalah bagian signifikan dari tanggung jawab menyatakan kebenaran dari seorang intelektual. Dengan kata lain, dalam prespektif Chomsky, tanggung jawab "to speak the truth" ditujukan ke pada penguasa dan diperuntukan untuk membela yang tidak memiliki kekuasaan.

Baca juga: Luhut: Saya Sedih, Intelektual Hanya Lihat Sepotong kemudian Beri Komentar...

Namun untuk menyatakan kebenaran, tentu diperlukan kemampuan tertentu yang membutuhkan waktu, latihan, ekosistem politik yang demokratis-konstruktif, dan sistem pendidikan dan kebudayaan yang humanis-konstruktif.

Negara otoriter totaliter tidak menginginkan intelektual sejati bertumbuh karena akan menjadi ancaman bagi kekuasaan alias akan mengekspos kebohongan-kebohongan kekuasaan. Karena itu, negara otoriter cenderung merekayasa dunia pendidikan hanya sebagai produsen tenaga kerja terdidik dan sebagai penghasil sumber daya manusia (pseudo intelektual dan teknokrat) penopang eksistensi rezim penguasa yang dengan suka cita menyuplai justifikasi-justifikasi pseudo ilmiah untuk kebohongan penguasa.

Di dalam sistem politik yang demokratis, dunia pendidikan semestinya tidak saja menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis untuk menopang kehidupan dan penghidupanya, tapi juga kemampuan kritis analitis untuk "speak the truth and expose the lie."

Dunia kampus harus berani dan harus mampu membangun harga diri dan kepercayaan diri anak didiknya agar berani berbicara fakta dan kebenaran di hadapan kekuasaan, untuk berdiri tegak dengan harga dan kepercayaan diri di hadapan penguasa yang merusak kemanusiaan dengan kekuasaannya. Meminjam istilah Paulo Freire, dunia pendidikan harus mampu "memanusiakan manusia," bukan semata menjadikan manusia sebagai tenaga kerja.

Dengan menjalankan tanggung jawab tersebut secara benar, maka para intelektual akan dengan sendirinya menyediakan konteks sejarah bagi perannya (to provide the historical contex), yakni dengan menginterpretasikan fakta-fakta ke dalam narasi kebenaran yang mudah dipahami publik, lalu mengungkap kebohongan demi kebohongan dari para penguasa untuk mengembalikan mereka ke jalur sejarah yang benar (mengabdi kepada kepentingan publik dan membela kepentingan pihak yang lemah/powerless).

Baca juga: Soe Hok Gie dan Kisah Seorang Intelektual Muda Indonesia

Konteks sejarah ini sangat perlu, agar tidak ada fakta dan kebenaran yang tertimbun di dalam tumpukan sejarah tanpa diketahui oleh publik. Nyatanya memang fakta dan kebenaran acapkali disembunyikan oleh kekuasaan di balik tirai-tirai ideologi.

Publik cenderung terpesona dengan narasi-narasi ideologis, yang sering digunakan oleh kekuasaan untuk menutupi kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Para pedadog komunis-sosialis berbicara lantang tentang ancaman kepentingan pekerja dari lilitan kapitalisme, tapi nyatanya hanya membangun supremasi partai untuk mendirikan istana emas dengan cara-cara represif dan anti-kemanusiaan, mengirim anak bangsanya sendiri yang kritis ke kamp penyiksaan.

Para ideolog keagamaan di Timur Tengah mendengungkan ayat-ayat untuk mempertahankan rezim autokratik yang dengan semena-mena membunuh rakyatnya sendiri sembari mengeksploitasi sumber daya alam negaranya untuk kepentingan eksistensi autokrasi.

Sementara itu, rezim-rezim yang mengklaim dirinya demokratis berselingkuh dengan para konglomerat kapitalis, dengan para oligark, dengan para pemuja keuntungan, untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Tragisnya, kepentingan para pemilih tercecer di dalam tong sampah di pintu keluar ruangan kerja sang penguasa.

Apapun jenis kekuasaannya, penguasanya cenderung berlindung di balik tirai-tirai ideologi dalam membenarkan dosa-dosanya.

Karena itu, intelektual publik harus mampu mengungkapnya. Para intelektual harus mampu menyibak tirai ideologis tersebut dan mengumbar fakta di baliknya (to lift the veil of ideology). Siapapun dan apapun jenis kekuasaanya, tentu kebohongan tidak etis disembunyikan di balik narasi-narasi manis nasionalisme atau narasi-narasi religius yang melenakan, misalnya.

Karena di semua negara, sebagaimana ungkapan Lord Action, siapapun pemegang kekuasaanya, baik ustaz, politisi partai, pedadog, ideolog, maupun professor atau doktor, kekuasaan tetap berkecenderungan untuk korup (power tends to corrupt).

Dan nyatanya korupsi dibangun di atas narasi-narasi kebohongan. Sementara, kebohongan penguasa akan menjadi bencana bagi yang tidak berkuasa. Karena itu, tugas berat intelektual adalah untuk menyibak tirai ideologi tersebut.

Siapa kaum intelektual?

Mari kita kembali kepada pertanyaan pertama. Jadi siapa yang layak disebut intelektual? Jawabanya adalah siapa saja bisa, selama mampu menjalankan tanggung jawab tersebut. Bisa jurnalis, mahasiswa, dosen, guru besar, para sarjana, sastrawan, budayawan, guru sekolah dasar, petani, bahkan masyarakat yang tak pernah kuliah sekalipun.

Jurnalis sangat berpeluang besar menjadi intelektual publik karena dibekali kemampuan (klarifikasi, verifikasi, dan validasi fakta) sekaligus instrumen untuk mengeksposnya (media). Meskipun di dalam negara demokratis mayoritas media biasanya terkavling-kavling ke dalam berbagai kepentingan aktor politik (Chomsky menyebutnya "manufacturing consent" yang dilakukan oleh media mainstream), selalu ada media dan instrumen informasi alternatif yang muncul yang bisa dijadikan instrumen ekspresi kebenaran oleh para jurnalis.

Para profesor, dosen, budayawan, sastrawan, penulis, para sarjana, guru, mahasiswa, dan rakyat pada umumnya juga memilik peluang yang sama untuk menjalankan tanggung jawab intelektual tersebut. Semua orang berhak menjadi intelektual, tanpa ada sekat-sekat struktural dan embel-embel prestise yang harus dipenuhi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi