Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Advokat
Bergabung sejak: 19 Mei 2022

Doktor di bidang hukum; advokat di Kantor "Edi Hardum and Partners". 

Jangan Lagi Menghukum Korban Pembegalan!

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Fitri Rachmawati
Amaq Sinta (34) saat berada di Polda NTB, Sabtu (16/4/2022)
Editor: Egidius Patnistik

DARI pertengahan April sampai awal Mei 2022, media massa dan media sosial di Indonesia ramai dengan pemberitaan tentang seorang pria bernama Murtede alias Amaq Sinta (34) yang menewaskan dua terduga begal di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus itu jadi sorotan karena Amaq Sinta, yang merupakan korban begal, justru dijadikan tersangka oleh Polres Lombok Tengah.

Dalam peristiwa yang terjadi di Jalan Raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, NTB, pada 10 April 2022, Amaq Sinta menewaskan P (30) dan OWP (21). Mereka adalah dua dari empat orang yang telah berusaha membegalnya. Dua lainnya, yaitu W (32) dan H (17) kemudian ditangkap polisi.

Pembegalan terhadap Amaq Sinta berawal saat dia sedang mengantar makanan dan air hangat untuk keluarga yang tengah menjaga ibunya yang dirawat di rumah sakit Lombok Timur. Dalam perjalanan, Amaq Sinta diikuti empat begal. Mereka menyerempet sepeda motornya. Amaq Sinta menghindar, tetapi para pelaku kemudian mengadangnya dan mencoba untuk menebasnya berulang kali.

Baca juga: Akhir Perjalanan Kasus Amaq Sinta yang Bunuh 2 Begal, Jadi Tersangka hingga Akhirnya Dibebaskan

Amaq Sinta akhirnya melawan hingga menyebabkan dua pelaku begal tewas.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tindakan polisi menjadikan Amaq Sinta sebagai tersangka kasus itu diprotes masyarakat. Polisi dinilai bodoh dalam menerapkan hukum. Karena kuat dan luasnya protes masyarakat, Polda NTB kemudian ambil alih penyidikan kasus itu. Polda NTB akhirnya menghentikan penyidikan kasus tersebut.

Polisi beralasan, tindakan Amaq Sinta membunuh dua dari empat behal merupakan tindakan daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. Pasal itu berbunyi,”Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.

Tindak keliru polisi, seperti yang dialami Amaq Sinta, sudah beberapa kali terjadi. Penulis mencatat dua kasus lain sebelumnya.

Pertama di Summarecon Bekasi tahun 2018. Korban begal bernama Mohamad Irfan Bahri yang kemudian dijadikan tersangka oleh polisi. Irfan melumpuhkan pembegalnya hingga tewas saat dia melintasi flyover Summarecon, Bekasi bersama kawannya.

Irfan membela diri dengan merebut celurit yang dibawa begal. Irfan sempat ditetapkan menjadi tersangka. Namun setelah klarifikasi, status Irfan kemudian menjadi saksi pada kasus tersebut.

Kedua terjadi di Medan, Sumatera Utara tahun 2021. Seorang pemuda berinial D mengalami pembegalan pada 25 Desember 2021. Terduga pelakunya empat orang. D melawan begal dengan pisau yang dibawanya. D mengaku, dia membawa pisau untuk jaga diri.

D menikam seorang pelaku. Pelaku lainnya kemudian melarikan diri dan D melaporkan peristwia itu ke polisi. Yang terjadi kemudian, D ditetapkan jadi tersangka, tetapi kemudian kasusnya dihentikan.

Tindak pidana yang tidak dihukum

Orang yang belajar ilmu hukum, biasanya di semester-semester awal, diperkenalkan mengenai sejumlah tindak pidana yang dilakukan seseorang tetapi tidak bisa dihukum karena ada alasan pembenar, pemaaf, dan penghapus.

Banyak pakar ilmu pidana menulis soal itu. Pakar pidana dari Universtas Gajah Mada (UGM), Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (2009: 148) menguraikan alasan pembenar, pemaaf, dan penghapus penuntutan tindak pidana. Pertama, alasan pembenar tidak lain adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

Kedua, alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana. Namun pelakunya tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

Baca juga: Pegawai Pizza yang Bohong dan Picu Lockdown Ketat di Australia Tidak Dihukum

Ketiga, alasan penghapus penuntutan. Di sini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pemikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

Yang menjadi pertimbangan di sini adalah kepentingan umum. Karena perkaranya tidak dituntut, tentu yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh Pasal 53 KUHP, kalau terdakwa dengan suka rela mengurungkan niat percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.

Ada sejumlah tindak pidana yang tidak bisa dihukum. Pertama, daya paksa. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang berbunyi,”Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Kata “daya paksa” ini terjemahan dari kata bahasa Belanda overmacht, yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar.

Kedua, daya paksa karena adanya konflik kepentingan. Menurut Moeljatno dalam konflik kepentingan seperti ini, keputusan dari seseorang mengambil tindakan untuk meluputkan dirinya dari bahaya atau kematian tidak dihukum.

Contoh: si A dan B merebut sebuah papan di laut karena kapal motor tenggelam. Si A misalnya merebut papan dengan menenggelamkan si B demi meluputkan dirinya dari tenggelam di laut. Dalam kasus itu,  si A tidak dihukum.

Ketiga, daya paksa saat seseorang terjepit antara kepentingan dan kewajiban. Seorang yang menjalankan kepentingan hanya untuk mempertahan hidupnya atau luput dari bahaya tidak dihukum. Contoh: si Polan bepergian berjalan jauh dari kampung A ke kampung B. Dalam perjalanan, si A haus, maka ia memetik kelapa di kebun C hanya untuk melepas dahaga. Si A mengabaikan kewajiban perintah hukum tidak boleh mencuri hanya demi lepas dahaga, maka si A tidak bisa atau tidak boleh dihukum.

Keempat, daya paksa yang disebut konflik antara dua kewajiban. Si A misalnya memilih salah satu kewajiban, maka tidak dihukum. Misalnya, pada hari tertentu si A harus menghadiri panggilan polisi di Kota X dan Y. Si A memilih melaksanakan panggilan di Kota X atau Y, tidak bisa dihukum.

Kelima, pembelaan terpaksa (noodweer). Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi, ”Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Atau dengan singkat dirumuskan sebagai: Barangsiapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri, kehormatan kesusilaan atau harta benda, baik kepunyaan sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Contoh: Putri membunuh pria B karena B berusaha memperkosanya atau melakukan pelecehan suksual terhadapnya, Putri tidak dihukum. Atau contoh lain: si A memukul B sampai pingsan karena B melecehkan istri A secara seksual, A tidak dihukum.

Keenam, melaksanakan undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi,”Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Contoh: polisi yang menembak mati terduga teroris karena sang terduga teroris berusaha melawan polisi ketika mau ditangkap.

Ketujuh, melaksanakan perintah jabatan. Hal ini diatur dalam Pasal 51 KUHP. Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi,”Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi, ”Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Hulu penegakan hukum

Dalam kasus pidana atau tindak pidana, polisi adalah hulu dan fondasi dasar penegakan hukum. Sebagai hulu atau fondasi penegakan hukum, polisi yang dipilih sebagai penyidik harus benar-benar menguasai asas-asas hukum pidana.

Pasalnya, menerapkan hukum tidak cukup berdasarkan undang-undang, terutama KUHP. Dengan memahami asas-asas hukum pidana, polisi harus tahu apa yang disebut alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus penuntutan tindak pidana.

Dengan memahami asas-asas hukum pidana, penyelidik dan penyidik tidak dengan mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka, kemudian membebaskan yang bersangkutan setelah ramai diprotes masyarakat.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana Sebut Status Nurhayati sebagai Pelapor Tak Bisa Jadi Tersangka

Bagaimana kalau sebuah kasus seperti di atas luput dari perhatian masyarakat? Sungguh malang nasib orang yang menjadi korban!

Polisi dan aparat penegak hukum lainnya harus ingat adegium lama: Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah.

Dari asas pembenar, pemaaf, dan penghapus penuntutan tindak pidana di atas tentu tidak terlepas dari tiga asas manfaat penegak hukum yakni, pertama, asas kepastian hukum. Dalam asas ini ada adegium yang terkenal yakni Fiat justitia et pereat mundus (Meskipun dunia runtuh, hukum harus ditegakkan).

Kedua, asas kemanfaatan. Hukum diterapkan harus dipikir manfaat bagi orang yang bersangkutan dan masyarakat luas. Misalnya seorang nenek mencuri singkong karena lapar. Menghukum si nenek itu tidak membuat si nenek kapok karena ia berada dalam kelaparan.

Ketiga, asas keadilan. Penegakan hukum harus memperhatikan rasa keadilan bagi orang yang dihukum dan masyarakat luas. Menghukum seorang yang karena menjaga kehormatan dirinya, misalnya hendak diperkosa, tentu melukai rasa keadilan orang yang bersangkutan dan masyarakat luas.

Dari kasus tindakan keliru polisi terhadap Amaq Sinta dan sejumlah kasus serupa lainnya, penulis menduga sejumlah hal. Pertama, penyidik atau bahkan pimpinan penyidik tidak menguasai atau lalai memahami asas-asas hukum pidana. Kedua, penyidik mungkin saja disuap oleh pelaku. Ketiga, bisa juga karena mengejar target atau prestasi sehingga penyidik mengabaikan asas-asas hukum pidana.

Penulis berharap, polisi semakin profesional dalam menegakkan hukum sehingga kasus korban pembegalan malah jadi tersangka tidak terulang lagi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi