Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Mengenang 16 Tahun Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga di Dusun Sarap Cilik, Canan, Wedi, Klaten, Jawa Tengah, mencari barang-barang yang bisa diselamatkan dari reruntuhan rumah pada 28 Mei 2006.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Hari ini 16 tahun lalu, tepatnya 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada pukul 05.53 WIB.

Getaran besar dan durasinya yang cukup lama, yakni 57 detik, menyebabkan ratusan ribu rumah hancur dan ribuan orang meninggal dunia.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, sebanyak 4.143 korban meninggal dunia di wilayah Bantul, dengan jumlah rumah rusak 71.763 rumah.

Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Klaten, korban meninggal tercatat mencapai 5.782 orang, 26.299 korban luka berat dan ringan, serta 390.077 lebih rumah roboh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilansir dari Kompas.com (27/5/2017), Kepala Pelaksana BPDB Bantul Dwi Daryanto mengatakan, bukan gempa yang membunuh manusia. Melainkan, robohnya bangunan.

Umumnya, korban tewas lantaran tertimpa bangunan yang roboh. Sementara itu, korban luka-luka banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa.

"Gempa tidak membunuh, tetapi bangunan yang menyebabkan korban luka dan meninggal dunia," kata Dwi.

Baca juga: Mengenang Gempa Jogja 2006, Ini Mekanisme dan Potensi Bahayanya

Isu tsunami

Kepanikan masyarakat pagi itu bertambah lantaran ada isu gempa akan disusul dengan tsunami.

Sontak, masyarakat berbondong-bondong menyelamatkan diri hingga lalu lintas jalan raya kacau dan banyak tabrakan terjadi yang mengakibatkan banyak orang terluka.

Berdasarkan pantauan Stasiun Geofisika Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter ini terjadi pukul 05.53 WIB di lepas pantai Samudra Hindia.

Posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan (LS) dan 110,33 Bujur Timur (BT), atau pada jarak 38 km selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 km.

Adapun penyebab gempa, tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, pada jarak sekitar 150 km-180 km ke selatan dari garis pantai Pulau Jawa.

Pengamat Geofisika pada Stasiun Geofisika Yogyakarta Tony Agus Wijaya menuturkan, gempa utama terus diikuti gempa susulan berkekuatan kecil.

Namun, kekuatan gempa yang menghantam Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah ini tidak menyebabkan gelombang tsunami.

Baca juga: Mengenang 14 Tahun Gempa Yogyakarta dan Solidaritasnya untuk Bangkit

Ekonomi lumpuh

Seakan tak selesai, setelah getaran berhenti, masyarakat harus menghadapi kondisi ekonomi yang lumpuh total.

Kelumpuhan itu, antara lain terjadi karena listrik padam, penutupan Bandara Adisutjipto, macetnya sekitar 40 base transceiver stasiun (BTS) Telkomsel, kerusakan stasiun kereta api, dan ambruknya sejumlah pasar rakyat.

Pasar-pasar yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat Yogyakarta juga sebagian tidak beroperasi.

Bahkan, Pasar Piyungan nyaris rata dengan tanah, serta sebagian bangunan Pasar Bantul juga roboh.

Bukan hanya itu, pusat pertokoan di kawasan Malioboro, warung-warung makan, serta minimarket pun tutup.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Mengenang 15 Tahun Gempa Jogja 27 Mei 2006

Cerita korban

Gempa Jogja 2006 meninggalkan bekas permanen bagi masyarakat yang menjadi korban.

Salah satunya seorang warga bernama Sumarno yang harus rela kehilangan istri dan kedua anaknya.

Saat gempa mengguncang, ia dan sang istri baru 10 menit tiba di Pasar Gempol, Kecamatan Wedi, dan tengah membongkar dagangan makanan ringan untuk ditata di lapak kaki lima.

"Saya di dekat gerobak mengeluarkan makanan, lalu saya oper ke istri saya untuk ditata," kata dia.

Kala itu, istrinya bekerja sembari menggendong Dafa, anak bungsunya. Sementara satu anaknya yang lain berada di dekat sang ibu.

Sumarno tidak bisa berbuat apa-apa. Guncangan gempa yang dahsyat menyulitkannya untuk bangun dan menyelamatkan diri.

"Saat itu saya berpikir mungkin akan mati, Sayup-sayup sempat terdengar istri saya memanggil, Pak, Pak, tetapi saya tidak bisa apa-apa. Mau lari jatuh, mau lari jatuh," terangnya.

Di sisi lain, seorang warga bernama Sri Harmi harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya, Suparno, meninggal dunia tertimpa bangunan.

Semula, akad dan resepsi keduanya akan dilangsungkan keesokan hari, 28 Mei 2006.

Kala musibah terjadi, tetangga sedang sibuk gotong royong menata tempat resepsi. Tiba-tiba, tanah bergetar kuat disetai dengan suara gemuruh. Rumah Sri Harmi pun rusak total.

"Seharusnya akad nikah berlangsung hari Minggu pukul 09.30 WIB. Semua peralatan siap, tinggal dipakai. Makanan untuk 400 tamu sudah siap," kata kakak Sri Harmi, Suroso.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi