Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Ancaman Krisis Pangan Global

Baca di App
Lihat Foto
GETTY IMAGES via BBC INDONESIA
Seorang anak di wilayah Kandahar, Afghanistan mengalami kekurangan gizi pada Oktober 2021.
Editor: Sandro Gatra

DIREKTUR IMF, Kristalina Georgiva pada Forum Ekonomi Dunia di Davos galau berat terhadap gejala kenaikan harga pangan akan terus melambung sampai lepas kendali sebagai dampak dari pagebluk Corona sejak awal 2020, yang malah masih diperparah oleh inflasi terus meroket akibat Perang Rusia-Ukrania maupun perubahan iklim.

Sebelumnya Sekjen PBB, Antonio Gutteres sudah memperingatkan agar seluruh dunia bersikap waspada demi mencegah malapetaka krisis pangan akan melanda dunia pada belahan kedua tahun 2022, apabila PBB tidak segera turun tangan menghadapi ancaman Armagedon global.

Berdasar pengamatan PBB kenaikan harga pangan pada tahun 2021, meningkat sekitar 33 persen, harga pupuk lebih dari 50 persen.

Sementara BBM nyaris 70 persen sehingga jumlah manusia yang terdampak krisis pangan berlipat ganda selama dua tahun terakhir dari 135 juta sebelum pagebluk menjadi 276 juta di masa kini.

Bahkan, menurut PBB, jumlah manusia di dunia yang terdampak wabah kelaparan sudah meningkat lebih dari 500 persen sejak 2016!

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Etiopia, Somalia dan Kenya jumlah penderita kelaparan meningkat dari 10 juta pada tahun lalu menjadi 23 juta sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap 48 detik ada seorang insan manusia di tiga negara itu meninggal dunia akibat kelaparan terdampak pagebluk Corona, perubahan iklim dan inflasi yang diperparah oleh perang Rusia versus Ukraina.

India dirundung krisis panen gandum melangkakan sediaan maka meroketkan harga gandum sehingga China melirik sagu menggantikan gandum sebagai bahan mie yang merupakan pangan utama rakyat China.

Kebetulan Rusia dan Ukraina adalah supplier 25 persen gandum untuk seluruh dunia maka dapat dimahfumi bahwa perang antara kedua negara pemasok utama gandung jelas secara langsung merusak suasana pasar gandum global secara bukan alang jepalang.

Krisis ekonomi akibat inflasi tinggi Sri Lanka sudah berkembang menjadi krisis politik bahkan sosial.

Afghanistan berada di ambang wabah kelaparan, sementara Lebanon sudah krisis ekonomi parah sejak 2021 apalagi Suriah, Irak, Libia, Yaman.

Harga daging, ikan, telur yang dikonsumsi rakyat Amerika Serikat meningkat 15 persen dibanding tahun lalu.

Sementara harga sayur mayur di China sebagai negara yang paling ketat mengendalikan harga pangan domestik ternyata melangit sampai lebih dari 25 persen.

Suatu angka cukup fantastis mengingat China juga ketat mengendalikan statistik ekonomi.

Keseluruhan indikasi krisis ekonomi global tersebut pada hakikatnya membenarkan kekhawatiran saya sejak awal 2020 ketika pagebluk Corona mulai dikabarkan merambah keluar dari Wuhan memporakporandakan dunia termasuk Indonesia bahwa siklus 100 tahun sejak 1920 pagebluk flu Spanyol melanda dunia disusul depresi ekonomi yang akhirnya meledakan Perang Dunia II akan kembali terjadi pada abad XXI akibat pagebluk Corona.

Sudah barang tentu saya sama sekali tidak mengharapkan bahwa pagebluk Corona di abad XXI akan berdampak seburuk pagebluk Flu Spanyul di abad XX.

Namun di sisi lain juga bukan berarti umat manusia bisa bersikap gegabah maka menganggap enteng dampak geososio-politis pagebluk Corona.

Dari lubuk sanubari terdalam saya justru tulus mengharap agar umat manusia segera menghentikan angkara murka saling membenci apalagi saling membinasakan untuk segera berkenan bersatu padu eling lan waspodo bergotong-royong menghadapi segenap dampak prahara pagebluk Corona demi mencegah tragedi malapetaka dunia berlumuran air mata dan darah puluhan juta manusia di masa lalu jangan sampai kembali terjadi di masa kini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi