Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Gelar Haji Warisan dari Belanda dan Hanya Ada di Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
Unsplash
Ilustrasi ibadah haji.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Menjelang bulan haji, sebagian jemaah haji asal Indonesia telah diberangkatkan menuju Tanah Suci.

Selama lebih dari satu bulan, jemaah akan berada di Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Selepas pulang dari Tanah Suci, biasanya akan tersemat gelar Haji atau Hajjah di depan nama jemaah.

Baca juga: Ramai soal Daftar Tunggu Haji hingga 97 Tahun, Ini Penjelasan Kemenag

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi penyematan gelar Haji ini disinyalir hanya ada di Indonesia dan merupakan warisan dari penjajah. Benarkah demikian?

Sebagai penanda

Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia.

Menurutnya, meski gelar Haji telah banyak ditemukan di negara lain, tetapi dalam sejarahnya hanya ada di Indonesia.

"Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/6/2022).

Baca juga: Gelang Haji Indonesia dari Kemenag, Apa Fungsi dan Fitur di Dalamnya?

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Raden Mas Said ini juga membenarkan asal gelar Haji dari pemerintah Hindia Belanda.

Dahulu, orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis.

Syamsul menjelaskan, ada dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal dengan komunis, serta Pan-Islamisme.

Baca juga: Catat, Ini Daftar Barang yang Tidak Boleh Dibawa Jemaah Haji

Penyematan gelar haji

Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.

Paham ini, bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat Muslim menggelar ibadah haji.

"Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," tutur Syamsul.

Baca juga: Dipatok Rp 39,8 Juta, Berikut Update Rincian Biaya Haji 2022

 

Menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, hingga pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.

"Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya," jelas Syamsul.

Ia menegaskan, gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan.

Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka mempengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.

Baca juga: Resmi, Ini Rincian Biaya Haji 2022 per Embarkasi

Mulai awal abad ke-20

Hal serupa dijelaskan pula oleh sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali dalam unggahan TikTok sebagaimana dikonfirmasi Kompas.com pada Jumat (10/6/2022).

Asep menuturkan, gelar Haji merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20.

"Salah satunya sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama setiap penduduk muslim yang ada di Hindi Belanda dengan maksud agar mudah diawasi," jelas dia.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Muhammadiyah Didirikan di Yogyakarta, Bagaimana Awal Mulanya?

Kala itu, semangat kemerdekaan terus digaungkan oleh tokoh Islam, terutama mereka yang telah kembali dari ibadah haji.

Maka dapat disimpulkan, imbuh Asep, gelar Haji adalah gelar pemberontak yang diberikan penjajah kepada penduduk Indonesia saat itu.

Asep mencontohkan beberapa tokoh yang sukses menyuarakan perlawanan kolonialisme usai beribadah haji.

Baca juga: Resmi, Ini Rincian Biaya Haji 2022 per Embarkasi

Di antaranya, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada 1912, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, KH Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905, dan HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam (SI) 1912.

"Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda karena tokoh yang pulang dari ibadah haji dianggap sebagai seorang yang suci," ujar Asep.

Pasalnya, menurut Asep, para Haji yang dianggap sebagai orang suci itu akan lebih didengar penduduk awam yang ada di Hindia Belanda.

"Dulu para kiai tidak ada yang memiliki gelar haji. Namun, karena perlawanan yang dilakukan umat Islam terhadap kolonial terutama yang baru pulang dari ibadah haji, maka disematkanlah gelar itu," papar Asep.

Baca juga: Aturan Usia Haji Maksimal 65 Tahun Berlaku Sementara atau Seterusnya?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Tata cara dan syarat refund dana haji khusus

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi