Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Big Data, Intelijen, dan Pertahanan Keamanan Negara

Baca di App
Lihat Foto
Nabila Nurkhalishah Harris
Sumber-Sumber Big Data
Editor: Egidius Patnistik

KINI kita memasuki era baru manufaktur intelijen berbasis teknologi informasi big data. Banyak negara, khususnya Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Jepang, Israel, Singapura, Tiongkok, dan Argentina, menurut laporan Lyon (2014:4-5), Profesor Louis de Koker et al. (2018), dan Kenji Hiramoto (2017:20) giat menghimpun dan mengelola data-set skala besar antara lain operasi spionase dan tanggap bencana. Meski banyak kritik bahwa tren ini menerabas privasi atau hak keamanan dan perlindungan data pribadi warga negara.

Big data mewakili paradigma baru iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang menghasilkan 3 ‘V’ yakni “volume, variety, velocity” (Fan et al, 2015) dan IBM menambahkan veracity (V ke-4) (Jagadish, 2015). Big data menghasilkan informasi skala besar (volume) terstruktur atau tidak terstruktur kadang real-time (velocity) dan kadang tanpa kejelasan sumber (veracity).

Baca juga: Big Data, E-Health, Pandemi, dan Presidensi G20 di Bali

Big data dapat mengubah kinerja organisasi, daya saing organisasi dan negara, mengubah ekosistem usaha, dan memfasilitasi inovasi dan riset-riset ilmiah; misalnya, riset Perrey et al. (2013) menyebut perusahaan ritel meraih kenaikan 15-20 persen ROI (return on investment) karena menggunakan analisa big data. Big data menciptakan nilai bagi tata ekonomi dunia, meningkatkan produksi dan daya saing perusahaan dan kinerja pemerintahan (Manyika, et al., 2011:1).

Bagi pemerintah dan rakyat tiap negara, tantangannya ialah big data menghasilkan V ke-5 yakni nilai-nilai (values) guna mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan rakyat, dan menciptakan ketertiban dunia. Mata rantai menghasilkan nilai-nilai itu perlu dimulai dari olah data menjadi informasi, pengetahuan, dan intelijen yang menentukan pula daya saing bangsa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kinerja dan daya saing organisasi sosial, politik, dan ekonomi sangat dipengaruhi kualitas tata kelola informasi berbasis aplikasi teknologi koleksi data, ekstraksi data, dan analisa data. Intelijen bisnis atau daya saing, menurut hasil riset-kajian Chaudhuri et al. (2011), Turban et al. (2008) dan Watson et al. (2007), misalnya berintikan aplikasi teknologi.

Di Tiongkok, tulis Pan et al. (2016:171), terjadi risiko revolusi urbanisasi dan industrialisasi, misalnya kemacetan lalu-lintas, ledakan penduduk kota, lapangan kerja dan perumahan terbatas, kemerosotan lingkungan, dan risiko kesehatan masyarakat. Pilihan respons kebijakan pemerintah Tiongkok berbasis ‘intelijen kota’, varian konsep unik ‘big data’ kota cerdas - sinergi teknologi jasa layanan publik, infrastruktur (sains dan dasar), tata kelola kota, industri, ekosistem dan ekonomi kota.

 

Lihat Foto
freepik.com
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI)
Big data dan intelijen strategis

Kita memasuki era intelijen hasil sinergi intelijen manusia dan artificial intelligence (AI), mesin-teknologi-komputer guna mendukung pembuatan keputusan orang per orang, organisasi, hingga pemerintah era big data (Duan et al., 2019: 1-2). Meskipun kini intelijen manusia seakan bersaing dengan intelijen artifisial.

Tren di AS, menurut perkiraan McKinsey Global Institute (2011), sejak 2018, AS membutuhkan sekitar 140.000-190.000 sumber daya manusia (SDM) terampil analisa data dan sekitar 1,5 juta analis big data guna mendukung berbagai pembuatan keputusan efektif (Chen et al., 2012:1165).

Baca juga: Teknologi Antariksa SpaceX dan Pertahanan Keamanan Negara

Fernando Iafrate (2018) asal Paris Dauphine University (Prancis) dan Vlerick Leuven Gent Management School (Belgia) menulis buku Artificial Intelligence and Big Data: The Birth of a New Intelligence. Kini lahir intelijen baru yakni artificial intelligence (AI).

Fernando Iafrate merujuk pada aplikasi big data pada AI, misalnya robotik, otomatisasi, AI kesehatan, AI keamanan, AI pengakuan image, dan proses bahasa manusia.

Jenis kemampuan ini termasuk makna pokok etimologis intelijen dari bahasa Latin, intelligere, yang bermakna lihat, paham, rasa, baca, tahu, kenal, mengerti, dan kendali.

Begitu pula, Constantiou Ioana asal Copenhagen Business School (Denmark) dan Jannis Kallinikos asal The London School of Economics and Political Science, London, Inggris (2015:44-57) menyebut tren big data awal abad 21 melahirkan new games dan new rules yang memengaruhi intelijen strategis dan kualitas tiap keputusan warga dan negara.

Sebagai disiplin ilmu dan profesi, intelijen strategis selama ini sangat bergantung pada intel (human spies/humint), sinyal (sigint) hasil sadap, image-citra (imint) hasil indera dan intai, sumber publik (open sources/osint) (Lim, 2016), pengalihan, intelektualitas, desepsi, dan pertahanan. Kini diperlukan sinergi SDM dan aplikasi AI untuk big data.

Maka kini negara perlu merumuskan taksonomi kompetensi, ketrampilan, dan keahlian big data. Banyak ahli akhir-akhir ini, misalnya Stefan Debortoli et al. (2014), Russell et al. (2010), Eckerson (2004), Hostmann et al. (2010), Schlegel et al. (2013), Van Roekel et al. (2009), Lahrmann et al. (2011), Dinter (2012), dan Cates et al. (2005) membuat model akademis (SDM) kompetensi big data khusus intelijen bisnis.

Sedangkan riset dan kajian Russell et al. (2010) fokus pada model-model aplikasi teknologi AI. Schlegel et al. (2013) menyusun jenis-jenis kemampuan intelijen bisnis berbasis teknologi misalnya pelaporan, OLAP, dan visualisasi. Reputasi suatu brand produk diperkuat melalui pantau data media sosial; rumah sakit meningkatkan keselamatan pasien berbasis rekaman dan catatan kesehatan atau bank melawan fraud melalui analisa rangkaian-waktu perdagangan (Wu et al., 2015: 1-4).

Big data berbasis algoritma atau AI sangat berperan dalam varian-varian ‘medan perang’ (warfare) akhir-akhir ini dan pembuatan keputusan di berbagai level pemerintahan dan organisasi usaha, intelijen, strategi, dan implementasi keputusan (Nada Elhendy et al, 2016).

Maka big data mewakili tren teknologi paling strategis dan vital seperti nano-teknologi dan komputer quantum sejak awal abad 21. Dinamika global ini menghasilkan era baru collective intelligence atau datafication (Mayer-Schönberger and Cukier, 2013).

Big data mencakup audio, video, website log files, data spasial, data lokasi-geo, XML data, multimedia, clickstreams, teks (terstruktur, semi-terstruktur, tidak terstruktur) banyak platform seperti komunikasi mesin-ke-mesin, situs media sosial, jaringan sensor, sistem siber-fisik, dan internet of things (IoT)  yang memengaruhi mata rantai pembuatan keputusan dan pelaksanaannya dari pemerintah, warga negara, usaha, dan swasta (Turban et al, 2007).

Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi spionase.
Big data dan pertahanan keamanan negara

Riset Dobre dan Xhafa (2014) menyebutkan, tiap hari seluruh dunia menciptakan sekitar 2,5 quintiliun bytes data yang hampir 90 persen tidak terstruktur. Gantz dan Reinsel (2012) memperkirakan bahwa tahun 2020, lebih dari 40 zettabytes (atau 40 triliun gigabytes) data dihasilkan, diimitasi, dan diakses di seluruh dunia.

Praktik-praktik big data, misalnya, terhadap data pribadi saat ini tidak dikumpulkan untuk tujuan terbatas, khusus, dan transparan, yang menjamin perlindungan data dan privasi; tetapi, big data ibarat versi baru dari kegiatan intelijen terhadap sasaran orang tertentu, data, atau tersangka.

Big data melipatgandakan surveilens melalui jaringan dan teknologi informasi. Hasil observasi Sean Gallagher (2013), misalnya, menyebut National Security Agency (NSA) dari AS memiliki akses informasi melalui Tempora atau PRISM dari Google, dan berdasarkan Foreign Intelligence Act, NSA dapat menelusuri orang-orang tertentu sebagai target.

Baca juga: ELSAM Sebut Perlindungan Data Pribadi di Bawah Kominfo Bukan Opsi Terbaik, Mengapa?

Program PRISM mungkin memberi akses langsung NSA ke server Apple, Facebook, Google, Microsoft, Skype, Yahoo, dan YouTube. Akibatnya, kontrol enkripsi dan privasi menjadi tidak berfungsi (Gellman and Poitras, 2013). Program Co-Traveler NSA, misalnya, menggunakan teknik matematika guna memetakan pola hubungan pengguna telepon sebagai target operasi intelijen. Proses ini melibatkan pelacakan, agregasi, referensi silang yang merupakan beberapa sisi teknis big data (David Lyon, 2014:4).

Pada Januari 2014, Presiden AS Barack Obama merilis kebijakan “comprehensive review of big data and privacy” pasca rilis data oleh Edward Snowden. Pemerintah AS merancang aturan baru koleksi data oleh National Security Agency (NSA) AS tentang kebiasaan telepon masyarakat AS atau informasi pribadi orang-orang tertentu sebagai target operasi (Savage, 2013; Gellman and Soltani, 2013).

Rilis kebijakan Presiden Obama itu merespons Edward Snowden menyingkap data
pada 6 Januari 2013, yang dirilis oleh The Guardian (Inggris) bahwa Foreign Intelligence Surveillance Court (FISC) dari NSA mewajibkan raksasa telekomunikasi Verizon menyerahkan jutaan (meta-data) panggilan telepon warga AS ke Federal Bureau of Investigation (FBI) dan NSA (Greenwald, 2013).

Perlindungan privasi, hak-hak warga-negara, keamanan dan surveilens menjadi isu penting tata kelola big data tiap negara. Sebab koleksi data bisnis dan surveilens pemerintah melalui big data, misalnya, berisiko menerabas privasi dan hak warga negara (McQuillan, 2015). Misalnya, data-base skala besar tentang warga negara berisiko dicuri dan amalgamasi data warga negara secara online juga berisiko terhadap keamanan masyarakat.

Apalagi data-data pribadi mudah dikenal dari data visual, audio, hingga image sebagai data biometrik warga negara. Bagaimana data ini dapat diakses dan disalahgunakan kini menjadi isu penting big data (RT Ford, 2000). Karena sistem surveilens berbasis teknologi algoritma big data dapat mengenali dan mengelompokan masyarakat yang berisiko terhadap privasi dan keamanan masyarakat.

Desain robot kini dapat mengunduh dan melakukan tindakan tertentu berbasis data
big data. Robot-robot, tulis Calo (2014), dirancang sebagai “piranti lunak swa-belajar” (selflearning software) yang otomatis, dengan risiko penerapan teknologi yang tidak terduga dan mungkin berbahaya dari teknologi seperti drone, mobil-robot, dan robot-medis.

Pasal 32 ayat (2) UUD 1945 menetapkan, “Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.” Partisipasi rakyat dapat terwujud melalui tata kelola dan kapitalisasi nilai-nilai atau manfaat big data era digital kini dan ke depan.

Maka tiba saatnya, pemerintah dan rakyat perlu mengkapitalisasi AI, algoritma dan otomatisasi big data guna mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa dan pelaksanaan tugas konstitusional pemerintah sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Hal-hal ini, menurut Medina (2015), tentu berkaitan dengan legislasi dan regulasi negara bidang data (pribadi), keterbukaan informasi publik, aplikasi teknologi, privasi, keamanan, surveilens, transaksi elektronik, dan hak-hak warga negara.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi