Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 25 Mei 2022

Mengajar paruh waktu di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI)

"Den" untuk Semua Orang

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi kata
Editor: Sandro Gatra

SAAT saya kecil, kira-kira di era menonton televisi adalah hiburan keluarga selepas magrib, ada dialog klise dalam tiap sinetron yang kami tonton.

“Sarapannya sudah siap, Den.”

“Bapak pergi dinas ke luar kota, Den.”

“Ibu lagi arisan di Puncak, Den.”

Begitu kira-kira yang diucapkan oleh pemeran asisten rumah tangga (atau pembantu) bernama dan berlogat medok Jawa, kepada anak dari majikannya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemeran laki-laki yang dipanggil “Den” itu umumnya memiliki dua ciri khas: 1) kalau perannya adalah seorang bocah SD, ia berbadan sedikit tambun untuk menunjukkan bahwa inilah gizi anak konglomerat, 2) kalau perannya adalah remaja puber, dandanannya klimis.

Meski demikian, yang lebih menarik perhatian adalah nama panggilan yang kemudian saya ketahui diambil dari “Raden”.

Sementara itu dalam ilmu yang terbatas, saya hanya mengetahui gelar “Raden” kalau bukan dari nama pahlawan Raden Dewi Sartika, ya Raden Ajeng Kartini (tanpa mendiskreditkan Pahlawan Nasional lainnya, sungguhlah saat kecil hanya mereka yang saya ketahui memiliki nama tersebut).

Entah memang kebiasaan orang Ibu Kota atau bukan, yang jelas sinetron menyuguhkan kalau anak laki-laki yang tinggal di rumah minimal berlantai dua, otomatis punya gelar kebangsawanan sebagai tuan muda.

Di sinetron, julukan “Den” jadi norma sosial yang dikonstruksi oleh sutradara agar setiap yang berkedudukan sebagai pembantu sadar kepada siapa mereka sedang berbicara.

Makanya saya sempat menduga bahwa para keturuan pahlawan kini telah merambah dunia seni teater modern.

Ternyata dugaan saya salah. Walaupun memang ada sejumlah nama, tapi “Den” dalam sinetron tak ada sangkut pautnya dengan nama para pahlawan.

Apalagi, gelar itu secara spesifik hanya ditujukan kepada anak laki-laki karena yang perempuan dipanggil “Non”.

Di era sebelum kemerdekaan hingga orde lama, ada “Bung” (dulu Boeng) sebagai sapaan istimewa khusus buat kaum lanang yang dipopulerkan Soekarno, meski sebelumnya telah lazim digunakan di Bengkulu.

Penggunaan sapaan ini memiliki sedikit perbedaan: “Bung” di Bengkulu adalah untuk laki-laki yang dihormati (mungkin bisa untuk kakak atau suami), sementara “Bung” versi Soekarno lebih persuasif untuk gerakan revolusi.

Saat itu, dari pelukis Affandi hingga penyair Chairil, semua menyebut “Bung!” untuk menyerukan gairah perjuangan.

Aura “Bung” terdengar begitu kuat. Cobalah sapa lawan bicara dengan “Bung” dalam suasana santai, obrolan akan terasa menjadi hal yang kudus seolah merencanakan urusan serius.

Sementara itu orang-orang di negara Barat, California tepatnya, menjadi pelopor sapaan istimewa (lagi-lagi khusus untuk laki-laki) yang sangat lazim diucapkan sekarang. Adalah “Bro” dari awalan kata “Brother” atau saudara laki-laki.

Sejak 1970-an, “Bro” telah menjadi sapaan akrab tanpa perlu ada yang disembah dan menyembah karena awal mula berkembangnya adalah di kalangan remaja yang gemar pesta.

Lambat laun “Bro” mulai jadi akar istilah-istilah beken. Ada bromance yang katanya julukan untuk hubungan persahabatan antara dua pria.

Ada juga brogrammer (dari bro dan programmer) untuk mereka yang sehari-harinya bergelut dengan komputer dan bahasa pemrograman.

Baik “Bung” atau “Bro” merupakan sapaan yang terdengar egaliter. Keduanya kini hadir tanpa memedulikan strata sosial subyek yang disapa.

Sebelumnya “Bung” populer pada mereka sebagai tokoh Bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, juga Bung Sjahrir.

Kini “Bung” bahkan akrab untuk pranatacara sepak bola. Sebut saja Bung Ricky Johanes, Bung Kusnaeni, hingga Bung Towel.

“Bro” yang dulunya familiar di kalangan remaja California, kini jadi panggilan untuk para politisi.

Ada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang kerap disapa Bro Sandi, atau anggota Partai Solidaritas Indonesia yang saling menyapa dengan “Bro” untuk jiwa yang katanya lebih anak muda.

Namun tetap saja, bagi saya panggilan “Bung” dan “Bro” masih distingtif. Keduanya mencolok dengan maskulinitas. Lantas, di mana letak masalah besarnya? Untuk saya, tidak ada.

Hanya saja ketika tiba-tiba teringat dengan lakon dan dialog-dialog di sinetron yang pernah saya tonton saat kecil, saya jadi memanggil sejumlah teman dengan julukan “Den”, setidaknya sejak enam bulan terakhir.

Menyapa dengan “Den” seolah membuat saya sedang berbicara dengan seorang bangsawan, walau kata ganti orang ke-dua setelahnya menggunakan sapaan yang lebih karib. Dari “aku-kamu” hingga “gue-lo”. Tapi itu bukan jadi perkara utama.

Sejak awal tahun 2022, kita dihidangkan obrolan-obrolan politik terkait usulan perpanjangan sebuah kekuasaan menjadi tiga periode.

Usulan-usulan yang mendoktrin bahwa meski melawan undang-undang, hal ini bisa jadi pertimbangan. Dengan alasan itu, saya melawan dengan memberi gelar “Den” untuk semua orang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi