KEKUASAAN tidak dapat dilepaskan dengan manusia karena sadar atau tidak, manusia pada dasarnya menurut Friedrich Nietzsche memang memiliki hasrat untuk berkuasa (the will to power) dalam eksistensinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘kekuasaan’ memiliki arti ‘kuasa untuk mengurus, memerintah dan sebagainya’. Dalam tulisan ini kita akan memahami konsep kekuasaan dari perspektif kritis dan lebih spesifik. Secara khusus, kita akan berkenalan dengan salah satu pemikir asal Poitiers, Prancis yang banyak membahas tentang konsep dan isu-isu kekuasaan, yaitu Michel Foucault (1926-1984).
Foucault seorang filsuf, sejarahwan, sosiolog, dan pemikir post-strukturalis yang dikenal dengan teori wacananya. Foucault (Jones, Pip et.al., 2016) banyak menuliskan pemikiran kritisnya melalui karya-karyanya antara lain: Madness of Civilization (1965), The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences (1966), The Archaeology of Knowledge and The Discourse of Language (1969), The Birth of Clinic: An Archaeology of Medical Perception (1975), Discipline and Punish: The Birth of Prison (1979), dan The History of Sexuality Vol. 1 & 2 (1980-5).
Baca juga: Mengapa Kekuasaan Pemerintah Harus DIbatasi?
Sepanjang karir intelektualnya, Foucault menaruh minat dan ketertarikan akademik terhadap persoalan kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan sejarah, dan pemikirannya pun telah memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai disiplin ilmu sosial-budaya termasuk sosiologi, cultural studies, dan antropologi. Bagi Foucault, sejarah merupakan situs penting untuk melihat retakan zaman (diskontinuitas), menemukan episteme (rezim pengetahuan) yang berkuasa di periode waktu tertentu dan bagaimana kekuasaan tersebut beroperasi.
Tidak hanya itu, dalam mengungkap kedok kekuasaan, dia juga banyak memusatkan perhatiannya pada tema-tema tertentu seperti kegilaan, seksualitas, disiplin yang dipahaminya sebagai wilayah beroperasinya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.
Foucault dan konsep kekuasaanUntuk memahami kekuasaan, Foucault tidak menyarankan kita untuk mengajukan pertanyaan ‘Apa itu kekuasaan?’ dan ‘Siapa yang memilikinya?’, tetapi dengan memberikan pertanyaan ‘Bagaimana kekuasaan beroperasi?’ dan ‘Melalui cara apa kekuasaan itu dioperasikan?’
Pemaknaan Foucault tentang kekuasaan berbeda dengan tradisi Marxian dan Weberian yang melihat kekuasaan sebagai privilege dan ‘properti’ yang hanya dimiliki oleh segelintir orang tertentu untuk memdominasi dengan memanipulasi ideologi. Baginya, kekuasaan juga tidak selalu beroperasi secara negatif melalui tindakan yang koersif dan represif dari suatu institusi pemegang kekuasaan, termasuk negara.
Uniknya, Foucault berargumen bahwa sebenarnya kekuasaan bisa bersifat tidak stabil, positif, produktif, dan menyebar (omnipresent) seperti jaringan yang memiliki ruang lingkup strategis di setiap relasi sosial, contohnya dalam hubungan orangtua dan anak, suami-istri, guru dan murid, pertemanan, hubungan kerja, dan lain-lain.
Relasi-relasi sosial tersebut selalu timpang, seperti orangtua yang kerap melarang anaknya untuk tidak keluar malam hari, seorang guru yang meminta anak didiknya untuk mengerjakan soal ujian, dan seorang atasan yang meminta karyawannya untuk menuliskan laporan.
Namun kita tidak bisa secara terburu-buru mengatakan bahwa kekuasaan selalu bersifat negatif, karena seorang ayah yang melarang keras anak perempuannya keluar malam supaya terhindar dari kriminalitas tidak bisa dikatakan sebagai tindakan buruk dan memaksa. Demikian juga seorang guru yang meminta anak didiknya mengerjakan soal supaya lulus ujian dan mendapatkan nilai dapat dimaknai sebagai bentuk relasi kuasa yang bersifat positif, artinya kekuasaan itu bersifat relatif, bisa ‘baik’ dan ‘buruk’.
Baca juga: Kaum Intelektual, Kekuasaan dan Harapan Perubahan
Foucault juga berargumen bahwa kekuasaan secara evolutif mengalami transformasi, artinya jika dulu seorang raja melakukan kontrol sosial dan menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan cara-cara kekerasan dan represi (sovereign power) melalui kepatuhan hukum, sedangkan dalam konteks masyarakat modern hal tersebut sudah mulai ditinggalkan secara perlahan di banyak negara. Cara tersebut digantikan dengan moda disciplinary power atau normalisasi tindakan yang dirancang diinternalisasi dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif tubuh serta menempatkan subjek sebagai efek dan kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power).
Misalnya, dalam konsep panopticon Foucault, masyarakat modern akan mengenakan helm pada saat berkendara karena aturan tersebut dibuat negara, berjalannya kekuasaan tanpa tekanan adalah ketika pengendara merasa bersalah karena tidak memakai helm dan orang lain membantu negara menegakkan aturan dengan cara menegur pengendara yang tidak menggunakan helm.
Kekuasaan dan pengetahuanSalah satu pemikiran penting Foucault terletak pada bagaimana ia mencurigai pengetahuan sebagai bentuk atau wujud kekuasaan, kekuasaan selalu ditopang oleh pengetahuan yang menjelma menjadi formasi wacana. Kemudian, wacana tersebutlah yang diklaim Foucault sebagai wajah kekuasaan, contohnya wacana ilmiah tentang psikiatri melahirkan yang ‘normal’ dan ‘gila’, wacana kecantikan melahirkan salon-salon kecantikan yang mengidealisasi bentuk tubuh tertentu, dan wacana seksualitas melahirkan heteroseksualitas versus homoseksualtas.
Mirisnya, dampak vital dari formasi wacana melahirkan apa yang disebut sebagai ‘benar’ dan ‘salah’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, pusat dan marginalitas yang kesemuanya itu padahal adalah efek atau kemungkinan-kemungkinan dari suatu wacana tertentu yang bersifat temporer.
Menurutnya, apa yang selama ini diklaim sebagai ‘kebenaran’ ilmiah yang objektif perlu dikoreksi kembali secara kritis karena boleh jadi, apa yang dianggap sebagai keilmiahan tersebut justru malah tidak bebas nilai (Haryatmoko, 2020).
Hal ini pernah terjadi di abad pertengahan ketika seorang ahli ilmu astronomi asal Italia, Galileo Galilei, dimusuhi oleh otoritas Gereja Katolik selama dua dekade karena temuan ilmiahnya yang dianggap bertentangan dan mengancam dominasi gereja, meskipun berabad-abad kemudian gereja akhirnya mengakui kebenaran dari pemikiran Galileo. Singkatnya, rezim penguasa memerlukan ‘klaim’ kebenaran ilmiah untuk melanggengkan kekuasaannya, sehingga ‘kebenaran’ tertentu secara mati-matian dipertahankan hingga dinormalisasi sementara ‘kebenaran-kebenaran’ lainnya yang dianggap mengancam rezim kekuasaan ditiadakan hingga dimusnahkan.
Hal ini pernah terjadi di rezim Orde Baru yang mempertahankan kekuasaannya dengan dominasi militer, dan siapapun yang bertentangan dengan rezim ini atau berpotensi mengancam kekuasaannya akan dibumihanguskan.
Kesimpulannya, melalui pemikirannya Foucault sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak ada suatu klaim kebenaran yang final dan bersifat universal, ia menekankan pada relativitas kebenaran yang bersifat versi.
Kita dapat menggunakan pemikiran Foucault untuk membedah bagaimana suatu kekuasaan beroperasi dan dengan cara apa kekuasaan tersebut bisa terlanggengkan, karena kekuasaan berada di area yang tidak stabil sehingga perlu dipertahankan dengan berbagai cara, sekalipun ‘baik’ atau ‘buruk’.
Karena karakteristiknya yang tidak stabil itulah, sebagian orang secara mati-matian mempertahankan kekuasaan demi privilege dan keuntungan sekalipun dengan cara yang manipulatif dan mengabaikan ‘kebenaran’ yang lainnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.