Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 7 Jun 2022

Guru Matematika di Aisyiyah Boarding School (ABS) Bandung

Stereotip Gender pada Anak

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/Urbanscape
Ilustrasi anak bertumbuh dan berkembang dengan optimal karena memiliki daya tahan tubuh yang baik.
Editor: Sandro Gatra

SAYA termasuk orang yang kerap ragu tentang kebenaran umum yang selama ini dianut banyak orang, termasuk stereotip gender di dunia anak-anak.

Suatu hari, seseorang bertanya pada anak saya,”Alka, cita-citanya apa?” Kemudian anak saya menjawab ingin menjadi pemadam kebakaran.

Namun respons penanya malah heran dan mengatakan, "Loh, kenapa pemadam kebakaran? Itu kan biasanya untuk anak laki-laki."

Padahal semua orang berhak menentukan cita-citanya sesuai minat dan bakatnya tanpa terbatasi gender.

Kali lain, ini masih tentang profesi. Saya mengawasi anak saya yang sedang bermain dengan teman sebayanya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saya dengar, banyak yang mereka diskusikan dan tentunya dengan melakukan role play berdasarkan imajinasi mereka.

Anak saya lalu menceletuk,”Kamu jadi dokter dan aku mau jadi polisi!"

Temannya menjawab,”Jangan polisi. Itu kan untuk anak laki-laki. Jadi dokter aja!"

Selain itu, ini yang sering saya dengar bahwa laki-laki nggak boleh menangis. Saya tinggal di rumah kontrakan berpetak, sehingga celotehan orang dari luar akan terdengar.

Tidak hanya sekali, saya mendengar beberapa kali tanggapan tetangga saya ketika anaknya menangis karena terjatuh.

Tetangga saya acap berkata, “Kenapa menangis? Jangan menangis. Kan kamu laki-laki harus kuat, nggak boleh nangis."

Hati saya sedikit tercubit mendengar hal tersebut. Mengapa anak kecil dilarang menangis hanya karena dia laki-laki?

Nah, apa lagi?

Ini. Tak sedikit orangtua menekankan kepada anak-anak bila bermain harus dengan gender yang sama. Laki-laki jangan bermain dengan perempuan. Dan sebaliknya.

Sering saya mendapati ungkapan tersebut. Bagi saya bermain bisa dengan siapa saja tidak terbatas gender asalkan bermain "sehat".

Untuk dapat bermain sehat, maka kita harus membekali anak mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika bermain bersama.

Misalnya, pengetahuan mengenai bagian mana saja dari tubuh yang tidak boleh disentuh dan dilihat oleh orang lain. Contoh lain, yaitu tidak boleh pipis bersama.

Dan ini barangkali yang terakhir. Saya orangtua yang lebih memilih memakaikan celana kepada anak ketika akan berjalan-jalan atau pergi keluar rumah.

Alasannya karena aktivitas anak yang berlari ke sana ke mari, duduk di mana saja dengan posisi semaunya sehingga membuat saya sedikit risih jika menggunakan rok dan celana pendek.

Saking jarangnya melihat anak saya menggunakan rok, teman saya sampai berkomentar,” kurang feminin!”

Mendengar itu saya bertanya sendiri, apakah indikator feminin hanya dilihat dari cara berpakaiannya?

Terjebak dalam stereotip gender dapat membuat kita secara tidak sadar melabeli anak dan dikhawatirkan akan membatasi buah hati ketika ingin mengembangkan potensinya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi