Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Editor Buku Lepas, Ghostwritter
Bergabung sejak: 27 Mei 2022

Editor Buku

Lidah Tak Bertulang Sang Pemimpin

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi kata
Editor: Sandro Gatra

ADA sebuah kisah seorang filsuf dan muridnya. Para murid itu tengah bingung menentukan pemimpin.

Oleh karena itu mereka memancing Sang Guru dengan pertanyaan, "Guru, seandainya guru jadi pemimpin negeri ini, apa yang pertama-tama akan guru kerjakan?"

"Pertama sekali saya perbaiki bahasa. Sebab, kalau saya menggunakan bahasa yang tidak beres, maka yang saya ucapkan bukanlah yang dimaksud. Kemudian yang terjadi, yang dimaksud malah tidak dikerjakan, dan justru yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Kalian paham?" kata Sang Guru.

Para murid menggelengkan kepala.

"Bahasa yang tidak beres itu menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Jadi bagaimana mau mengerjakan yang dimaksud?" kata Sang Guru menambahkan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para murid manggut-manggut sekadar menyenangkan Sang Guru.

Guru yang dimaksud adalah filsuf Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tse. Sayang, Kung Fu-tse tak pernah menjadi pemimpin negeri sehingga murid-murid tak tahu persis praktik bahasa yang beres itu.

Namun, dari nasihat-nasihat Sang Guru, mereka bisa tahu bahwa bahasa beres itu menganut prinsip moralitas.

Adapun moralitas bahasa itu bisa dibaca dari pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang dan penuh pertimbangan.

"Penuh pertimbangan", inilah yang luput dari bahasa seorang pemimpin kita. Atau setidak-tidaknya pernah memimpin kita.

Andai mau mempertimbangkan ucapannya atau pilihan bahasanya, rasanya tak akan ada reaksi negatif dari masyarakat, terutama warganet.

Jangan salahkan warganet bilamana berkomentar "rasis" atau "pelecehan profesi". Celaka lagi tatkala warganet melihat pemimpin kita itu menghidupkan elitisme.

Bahasa adalah pikiran manusia

Kita dapat membaca pikiran seseorang lewat bahasa. Kitapun bisa melihat cara seseorang berekspresi juga dari bahasa. Ini terkait dengan hakikat bahasa.

Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah filsuf bahwa bahasa mengungkapkan pikiran manusia, dan juga bentuk empirik yang merupakan sarana ekspresi manusia.

Lebih dalam dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer (hidup pada 11 Februari 1900 – 13 Maret 2002), bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, maupun pikiran.

Sebenarnya kita bisa membaca karakter pemimpin dengan mendengarkan cara mereka berbahasa.

Ada yang meledak-ledak penuh serangan. Jangan-jangan ia seorang pendendam. Maunya terus menerus menyudutkan lawan politiknya dengan bahasa vulgar sehingga terdengar kasar.

Sebaliknya ada yang terkesan hati-hati sehingga yang terdengar datar-datar saja. Biasanya bahasa macam ini milik orang yang penuh pertimbangan.

Jauh menengok ke belakang, ada seorang capres pada Pemilu 2009 -- yang dari analisis psikologi politik -- memiliki beberapa kelemahan, di antaranya konservatif dan tidak fleksibel, mudah tersinggung, dan dingin terhadap orang yang baru dikenal, serta terkesan superior.

Maka dalam berbahasapun cenderung menyerang dan enggan dikritik. Begitu ia dikritik pihak lain, seketika ia akan menyerang ulang dengan bahasa yang lebih vulgar.

Ia menciptakan istilah yang membuat telinga lawan memerah. Kita pun acap dibuat risih mendengarkan bahasanya, namun para loyalis pura-pura tak mendengarnya.

Teladan "berbudi bawa leksana"

Tatkala berbicara bahasa pemimpin, seketika ingat sosok Haji Agus Salim. Ia bisa digambarkan "unen-unen" Jawa yang berbunyi "berbudi bawa leksana".

Karakter berbudi bawa leksana ini diberikan kepada pemimpin yang setiap ucapannya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab.

Setiap berkata disertai tanggung jawab. Ibarat peribahasa, karakter ini bukanlah tipikal "lidah tak bertulang" alias asal berkata.

Sikap berbudi bawa leksana akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, karena pemimpinnya menjalankan semua peraturan dengan penuh dedikasi demi kemaslahatan rakyat.

Pada akhirnya tentu berujung pada pemerintahan yang berwibawa dan bersih, kemudian masyarakat menemukan apa yang disebut sebagai "tepa tuladha", yakni sosok yang bisa diteladani.

Agus Salim layak menyandang berbudi bawa leksana. Lihat saja penggalan hidupnya. Ia menduduki posisi pejabat tinggi (menteri muda dan menteri) setelah Indonesia merdeka, tetapi hidupnya tak pernah berubah.

Kata Prof. Schermerhorn (wakil dari Belanda yang menandatangani persetujuan Naskah Perjanjian Linggarjati) dalam catatan hariannya, "Orang tua [Agus Salim] yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam sembilan bahasa. Mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat".

Adakah sosok Haji Agus Salim sekarang ini? Adakah tepa tuladha bagi masyarakat?

Ada juga sih. Namun acap tenggelam oleh mereka yang menganggap gampang untuk menjadi pemimpin sehingga tak menyadari bahwa lidah mereka tak bertulang.

Tampaknya mereka yang punya "lidah tak bertulang" itu lupa harga diri terletak pada bahasanya.

Inilah yang digambarkan masyarakat Jawa dengan "ajining dhiri ana lathi". Sayang kalau kita punya pemimpin yang kehilangan harga dirinya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi