Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Advokat dan Konsultan Hukum
Bergabung sejak: 26 Jun 2022

Praktisi Hukum Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Evaluasi Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi

Baca di App
Lihat Foto
Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo menghadiri acara pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat Provinsi Sumatera Utara, di di Stadion Simangaronsang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Selasa (27/10/2020).
Editor: Egidius Patnistik

PADA akhir periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres tersebut diundangkan pada 27 September 2018.

Dari aspek sosiologis, Perpres 86 didasarkan pada pemahaman dasar bahwa pemerintah masih perlu mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Artinya pemerintah sadar betul bahwa ketimpangan struktur penguasaan agraria masih tinggi.

Secara yuridis Perpres itu didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2OOI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OO7 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2O25.

Baca juga: Reforma Agraria Masalah Struktural, Tak Selesai Hanya dengan Jadikan Eks Panglima TNI Menteri ATR

Maka dalam Perpres 86 itu reforma agraria dipahami sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana capaian reforma agraria yang telah dilaksanakan pemerintahan Jokowi setelah hampir empat tahun berjalan sejak perpres dikeluarkan? Apakah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah berhasil dikurangi secara signifikan?

Ketimpangan struktural

Pasal 2 Perpres Reforma Agraria menyebutkan tujuh rincian tujuan dari reforma agraria:

  1. Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan;
  2. Menangani sengketa dan konflik agraria;
  3. Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
  4. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;
  5. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;
  6. Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan;
  7. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Pada prinsipnya, dari tujuh tujuan tersebut, dua tujuan pertama merupakan tujuan dasar, yaitu menyangkut ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah serta sengketa dan konflik agraria. Apabila dua tujuan tersebut cukup memadai pencapaiannya, akan berdampak kepada keberhasilan tujuan-tujuan lainnya.

Ketika Amien Rais pada masa debat capres tahun 2019 mengkritik pemerintah dengan mengatakan 74 persen lahan dikuasai pihak asing, banyak yang mempertanyakan kesahihan data tersebut karena dinilai tidak jelas sumber dan rujukannya. Persoalannya kemudian ternyata pemerintah sendiri sepertinya tidak memiliki data resmi terkait penguasaan dan pemilikan tanah.

Alih-alih mempublikasikan data resmi sebagai pembanding, Jokowi ketika itu justru mengakui adanya ketimpangan penguasaan tanah tetapi Jokowi menggaris bawahi bukan pemerintahannya yang bagi-bagi tanah dan lahan kepada para konglomerat atau pihak asing.

Baca juga: Pengembang Tentang Reformasi Agraria

Maka, sejak pertengahan periode pertama sampai periode kedua pemerintahannya, sampai saat ini Jokowi getol dengan program penerbitan sertifikat (tanah) untuk rakyat, yang dikatakan sebagai bagian dari redistribusi tanah.

Banyak kalangan sepakat, upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tidak cukup hanya dengan pembagian secara simbolis sertifikat tanah. Program pemerintah Joko Widodo untuk menyelesaikan pembuatan 125 juta sertifikat di seluruh bidang tanah pada 2025 baru merupakan langkah awal untuk memecahkan problem utama tersebut.

Melihat ke belakang, sertifikasi lahan yang merupakan bagian dari reformasi agraria sebenarnya telah dimulai pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, ketika itu menyatakan reformasi agraria (dia menamainya reforma agraria) merupakan "kebijakan pembangunan yang berkeadilan sosial".

Harus diakui, pemerintah Jokowi secara eskalatif mempercepat program itu. Pada era Yudhoyono, saban tahun cuma 800 - 1.000 sertifikat yang diterbitkan. Meski tidak sesuai dengan target 5 juta sertifikat, tahun lalu pemerintah Jokowi menyelesaikan 4,2 juta di antaranya. Hampir setiap pekan Jokowi berkunjung ke daerah dan secara simbolis membagikan sertifikat tanah (Tempo, 3/4/2018).

Problemnya, penyertifikatan tanah secara administrasi hanyalah penguatan status hukum atas pemilikan atas tanah. Artinya, program sertifikat sedikit sekali yang menyentuh soal pengembalian penguasaan atau kepemilikan tanah oleh rakyat. Penerbitan sertifikat dapat diproses dengan asumsi tidak ada lagi problem pemilikan dan penguasaan.

Lalu bagaimana dengan rakyat yang memang sama sekali tak menguasai apalagi memiliki bidang tanah? Atau tanahnya telah beralih penguasaan kepada pemilik modal atau pihak-pihak lain yang pastinya lebih kuat baik secara politik maupun ekonomi.

Sebetulnya di sinilah urgensinya pengurangan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah/lahan tersebut. Berapa sesungguhnya luasan tanah/lahan yang seharusnya diredistribusikan kepada rakyat? Berapa prosentase kepemilikan dan penguasaan lahan oleh rakyat dibandingkan dengan kalangan pengusaha atau pemilik modal?

Ketiadaan data terkait penguasaan dan pemilikan lahan jelas sangat mengaburkan target pengurangan ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan. Maka sudah selayaknya pemerintah memastikan data ini dulu, sehingga menjadi jelas berapa idealnya luasan tanah/lahan yang harus diredistribusikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam kerangka program reforma agraria.

Sebab, penerbitan sertifikat sebanyak apapun belum tentu menjawab soal ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.

Sengketa dan konflik agraria

Sama halnya dengan masalah ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah, sepertinya persoalan sengketa dan konflik agraria belum juga memiliki pijakan data yang kuat. Selama ini, kita belum pernah mendengar secara nasional misalnya pemerintah merilis jumlah kasus sengketa agraria yang terjadi. Berapa jumlah kasus yang sedang ditangani dan berapa pula kasus-kasus sengketa agraria yang berhasil diselesaikan.

Tentu juga kita ingin mendapatkan gambaran dari kasus-kasus yang telah selesai berapa banyak anggota masyarakat yang mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah atau lahannya. Kita justru lebih banyak mendapatkan hasil kajian dari pihak-pihak di luar pemerintahan terkait data konflik dan sengketa agraria.

Salah satunya misalnya, data yang dirilis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KPA mencatat pada 2017 sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah dan provinsi di Tanah Air dengan luasan 520.491,87 hektar dan melibatkan 652.738 kepala keluarga (KK).

Dibanding tahun 2016, angka konflik tahun 2017 menunjukkan kenaikan hingga 50 persen (kpa.co.id, 29 September 2018).

Katakanlah kita dapat mengacu kepada data tersebut. Pertanyaannya kemudian bagaimana gambaran sengketa dan konflik agraria saat ini atau setidaknya pada akhir tahun 2021? Adakah penurunan yang signifikan?

Masalahnya kemudian, penyelesaian sengketa dan konflik agraria sebagai akar permasalahan dari problematika agraria nasional kurang mendapat ruang pengaturan dalam Perpres Reforma Agraria. Dari pengaturan Perpres, terlihat penyelesaian konflik tidak menjadi prioritas utama dalam reforma agraria.

Perpres Reforma Agraria mengatur secara khusus penyelesaian pertanahan dalam Bab IV tentang Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria dengan membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria secara berjenjang. Namun, ketentuan ini hanya mengatur pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa atau konflik dan selanjutnya mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada peraturan menteri.

Artinya, regulasi penanganan sengketa dan konflik agraria masih harus menunggu dibentuknya peraturan menteri (Sulasi Rongiyati, 2018).

Sekalipun pemerintah telah pernah mengumumkan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria pada tingkat nasional yang berkedudukan di Kementerian Koordinator Perekonomian serta beberapa pemda (provinsi dan kabupaten/kota) juga telah membentuknya pada tingkat daerah, sepertinya kita masih minim mendapatkan publikasi tentang kiprah gugus tugas ini, terutama dalam penyelesaian sengketa dan konflik agraria.

Publik sepertinya belum mendapatkan gambaran utuh atas kinerja gugus tugas dalam penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Bahkan data base sengketa agraria pun tampaknya belum pernah dirilis gugus tugas secara nasional. Sedangkan, menurut data yang dirilis KPA, tahun 2021 setidaknya ada 207 konflik yang telah terjadi. Bila dibandingkan dengan tahun 2017 sebelum perpres keluar memang sepertinya terjadi penurunan konflik yang lebih dari setengahnya.

Baca juga: Ombudsman RI Temukan Potensi Malaadministrasi Terkait Reforma Agraria

Namun bila dirunut lebih jauh, menurut KPA jumlah konflik tersebut bisa saja lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan KPA. Sebab, konflik yang dilaporkan itu merupakan konflik agraria bersifat struktural yang diakibatkan oleh kebijakan atau keputusan pejabat publik. Konflik tersebut melibatkan jumlah korban dan luas lahan yang masif, serta menimbulkan dampak luas mencakup dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya (Kumparan, 6/1/2022).

Perlu evaluasi

Reforma agraria memang seharusnya bukan sekedar program penerbitan dan bagi-bagi sertifikat tanah belaka tanpa sasaran dan arah yang jelas. Aspek kebijakan dan kelembagaan untuk mendukung reforma agraria harus lebih diperkuat. Untuk memperkuat pembentukan kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria pemerintah harus segera menerbitkan peraturan menteri terkait pembentukan gugus tugas dimaksud sebagaimana amanat perpres.

Kalaulah misalnya peraturan tersebut sudah ada, pemerintah harus mendorong agar setiap daerah segera membentuk gugus tugas dimaksud. Secara kelembagaan setiap gugus tugas yang dibentuk pada semua daerah idealnya melaksanakan program secara integral berjenjang dengan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai ke tingkat nasional.

Program prioritas gugus tugas pastinya menyangkut masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pada setiap daerah serta penyelesaian konflik dan sengketa agraria. Setiap gugus tugas idealnya telah memiliki data penguasaan dan kepemilikan tanah di daerahnya masing-masing.

Begitu juga tentunya tingkat ketimpangan penguasaan dan kepemilikannya, termasuk berapa banyak konflik penguasaan atau sengketa yang terjadi antara para pihak, khususnya antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Dengan demikian intervensi program untuk mengurangi ketimpangan dan penyelesaian konflik agraria pada setiap daerah akan semakin jelas sasaran dan arahnya.

Secara periodik juga akan dapat diukur kinerja gugus tugas pada setiap daerah dalam melaksanakan reforma agraria. Hingga secara nasional nantinya publik dapat melihat secara obyektif tingkat keberhasilan program reforma agraria pemerintahan Jokowi. Semoga waktu yang tersisa masih cukup bagi pemerintahan Jokowi untuk membenahi pelaksanaan program reforma agraria dalam mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi