Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 14 Agu 2018

Analis Kejahatan Narkotika

Babak Baru Drama Ganja

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Craig F Scott
Ilustrasi ganja dijadikan rokok
Editor: Egidius Patnistik

SEORANG pemuda, lulusan kampus swasta ternama di Jakarta, dan pernah tinggal di Amerika Serikat (AS). Pemuda ini sangat kesal dipaksa mengikuti proses rehabilitasi penyalahgunaan ganja. Dia tidak merasa memiliki ketergantungan apapun terhadap ganja.

Pemuda tersebut menilai, kriminalisasi ganja sudah saatnya diakhiri. Ganja semestinya dimanfaatkan, bukan dilarang secara membabi buta. Katanya, ganja tidak lebih berbahaya dari alkohol.

Diskusi dengan pemuda tersebut mengingatkan saya pada komedian yang materi lawakannya penuh kritik sosial, Pandji Pragiwaksono.

Baca juga: DPR Sebut Ada Wacana Pembentukan Badan Pengawas untuk Ganja Medis

Di laman Youtube-nya, tanpa sungkan, Pandji menceritakan pengalaman mabuk ganja bersama rombongannya saat di Belanda.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gara-gara mabuk brownis ganja tersebut, mereka giting, kekacauan pun terjadi, termasuk saat bertamu ke rumah salah satu rekan Pandji.

Belakangan, isu ganja kembali menghangat setelah Thailand menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang melegalkan ganja untuk dikonsumsi dengan cenderung bebas.

Secara spontan saya mengonfirmasi isu tersebut kepada rekan di ONCB (lembaga seperti BNN/Badan Narkotika Nasional) Thailand.

Katanya, kebijakan tersebut benar dengan syarat ganja yang dikonsumsi adalah dengan kandungan minyak tetrahydrocannbinol (THC) maksimal 0,2 persen. Di atas batas tersebut, kriminalisasi tetap berlaku.

Kelompok legalisasi ganja semakin menemukan momentum beberapa waktu lalu, saat peringatan Hari Anti Narkotika Internasional yang jatuh tanggal 26 Juni.

Seorang ibu bernama Santi melakukan aksi di area car free day Bundaran Hotel Indonesia (HI). Santi menuntut legalisasi ganja medis untuk anaknya yang sedang menderita sakit cerebral palsy.

Mengukur optimisme ganja medis

Penghapusan ganja dari tabel IV pada sidang komisi narkoba Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didorong World Health Organization (WHO) dua tahun lalu adalah angin segar bagi pendukung legalisasi ganja setelah bercokol sejak Sidang Konvensi Tunggal tahun 1961. Namun, ganja masih eksis di tabel I.

Jika sebelumnya ganja sejajar dengan golongan opiod, dinilai paling berbahaya dan memiliki nilai medis atau terapeutik yang terbatas, sekarang ganja dianggap mempunyai potensi medis.

Sebagai bagian dari daftar di Tabel I, ganja tetap dinilai mempunyai sifat adiktif dan penyalahgunaannya tetap berisiko secara serius.

Pemanfaatan ganja harus tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan di bawah konvensi ini.

Undang-undang Nomor 35 tentang Narkotika yang memasukkan ganja pada golongan I sejatinya mengadopsi pada Konvensi Tunggal 1961 ketika ganja masih eksis di tabel I dan IV sekaligus.

Dengan dikeluarkannya ganja dari tabel IV, maka mengatur ulang posisi ganja yang berada di golongan I undang-undang narkotika yang selama ini dilarang secara total kini memungkinkan untuk dikaji ulang.

Momentum tersebut hadir karena undang-undang tersebut saat ini sedang dalam proses perubahan.

Komisi III DPR berjanji di depan para aktivis legalisasi ganja akan melakukan kajian yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam kerangka revisi tersebut.

Baca juga: Pesan Singkat Santi Warastuti dan Upaya Melegalisasi Ganja demi Kepentingan Medis...

Satu persoalan penting yang akan dihadapi oleh para pengkaji adalah kurangnya kajian mendalam terhadap tanaman ganja endemik di Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki laboratorium ganja yang cukup beragam.

Seperti yang disinggung Elie Dolgin, seorang jurnalis sains di Massachusetts, yang menyebutkan bahwa setidaknya 18 perusahaan berlomba untuk memproduksi cannabinoid dalam ragi, bakteri, atau ganggang.

Variasi produksi cannabinoid berangkat dari pedoman dasar yang disusun oleh ahli biologi sintetik Jay Keasling dari University of California, Berkeley.

Sementara di Amerika Serikat, Kanada, Jerman, atau negara-negara lainnya sudah sampai fase rekayasa genetika untuk pemanfaatan ganja medis.

Indonesia tampaknya masih belum berbuat banyak. Belum ada hasil penelitian terkait pemanfaatan ganja.

Baca juga: Ada Peluang Penelitian Ganja untuk Medis, Menkes: Regulasinya Akan Segera Dikeluarkan

Karena itu, pada tahap krusial seperti sekarang adalah bagaimana menempatkan ganja secara proporsional sesuai konteks domestik. Belanda, Amerika Serikat, atau Thailand sekalipun mempunyai konteks yang berbeda.

Sejarah Thailand yang dapat mengendalikan ganja dengan cara mengalihfungsikan “kebun” ganja dengan tanaman lain adalah satu rangkaian yang tidak terjadi di Indonesia.

Sehingga merujuk legalisasi ganja di negara lain agar dapat diterapkan persis seperti di Indonesia adalah tidak tepat.

Indonesia harus memulai dengan melakukan penelitian ganja medis secara komprehensif. Kandungan cannabinoid dalam tanaman ganja sativa endemik Sumatera harus ditelaah dengan ilmiah bagaimana caranya dimanfaatkan untuk medis.

Optimisme pemanfaatan ganja medis di Indonesia sangat bergantung kepada revisi undang-undang Nomor 35 yang seharusnya dibuat untuk melindungi aktivitas penelitian tersebut.

Adil mendudukan ganja

Thailand yang terkesan melegalkan ganja dengan bebas pun sebenarnya juga ada batasan dan tidak menjual bebas seperti menjual sayuran.

Ada aturan-aturan detail yang kurang mendapat perhatian, misalnya soal ‘sertifikasi’ penanam ganja, kontrol melalui aplikasi, pelarangan pemakaian yang mengganggu orang lain, dan seterusnya.

Toh pada akhirnya Thailand juga direpotkan karena ganjanya dikonsumsi oleh remaja yang berakibat overdosis.

Pemerintah kemudian membuat aturan pelarangan konsumsi ganja untuk usia 20 tahun ke bawah kecuali untuk kebutuhan medis.

Situasi tersebut menunjukkan ada ketidakmatangan dalam liberalisasi ganja di negeri gajah putih tersebut.

Begitu juga dengan narasi ganja medis, jangan sampai menjadi tameng untuk dekriminalisasi ganja secara sporadis. Ada detail-detail yang harus mendapat perhatian.

Saya jadi ingat dengan pernyataan singkat dan padat Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, pada saat berkunjung ke Kanada tahun 2018.

Rutte merespons rencana Kanada pada saat itu dengan mengatakan, “Don’t try it.” Rutte paham bahwa ganja secara masif tersebar di Belanda dan penggunannya tidak terkendali.

Katanya, ganja yang beredar di negaranya mempunyai dampak lebih keras, buruk untuk kesehatan, khususnya untuk anak-anak muda. Belanda tampak kesulitan mengendalikan peredaran ganja.

Jalan tengah untuk Indonesia yang mungkin dapat diambil saat ini adalah menempatkan ganja seperti morfin.

Morfin adalah produk turunan dari tanaman opium. Tanaman tersebut pada dasarnya dilarang, namun morfin dilegalkan asalkan dengan resep dokter yang sangat ketat.

Jadi, bukan legalisasi tanaman ganjanya karena potensi penyalahgunaannya akan tidak terkendali.

Perlu dicatat penyalahgunaan ganja menempati rangking pertama di Indonesia dari tahun ke tahun.

Rilis terbaru BNN menyebutkan sebanyak 41,4 persen atau lebih dari 1,5 juta penduduk dalam kategori pakai ganja setahun terakhir.

Melegalkan ganja secara membabi-buta seperti yang disampaikan oleh pemuda yang saya temui adalah keliru.

Tanaman ciptaan Tuhan ini mengandung rahasia yang harus dibedah. Bukan dikonsumsi secara bebas atau selalu menganggap pelarangan ganja hanyalah bualan politik belaka.

Revisi undang-undang narkotika yang ada di depan mata ini akan membawa ganja pada babak baru. Babak baru tersebut adalah drama yang menarik untuk kita saksikan. Semoga bukan drama yang menyedihkan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi