Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komunitas Kajian Bahasa
Bergabung sejak: 13 Apr 2022

Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) adalah himpunan profesi yang menghimpun bahasawan, dosen, guru, mahasiswa, peneliti, maupun pengamat bahasa atau siapa saja yang tertarik dengan kajian bahasa dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara.

Pesona Nama Orang Baduy

Baca di App
Lihat Foto
KRISTIANTO PURNOMO
Leuwit atau lumbung padi di Kampung Gajeboh, Desa Kanekes, Lebak, Banten, Selasa (1/3/2016). Bertani menjadi salah satu mata pencaharian orang Baduy.
Editor: Egidius Patnistik

Oleh: Cece Sobarna*

BERBICARA tentang Baduy, seakan-akan tidak akan ada habisnya. Selain lingkungannya yang masih alami, juga adat istiadatnya yang unik dan memesona.

Masyarakat Baduy termasuk yang masih kuat memegang tradisi sekalipun penetrasi budaya luar memengaruhinya secara masif. Ketaatan pada tradisi ini setidaknya tercermin pula dalam pemberian nama orang (proper name).

Sementara itu, masyarakat Sunda lainnya sudah hampir kehilangan identitas dirinya sebagai orang Sunda.

Selisik saja, apakah pemilik nama khas Sunda seperti nama penulis masih ada pada generasi muda (alfa) Sunda saat ini ataukah nama itu sudah “punah”?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa orang dari seluruh penjuru masyarakat penutur bahasa Sunda di muka bumi ini!

Baca juga: Suku Baduy: Sejarah, Adat, dan Agama

Ihwal nama, memang sebagian dari kita sedang menuju kondisi kritis. Padahal, nama jelas-jelas merupakan bagian dari identitas dan sekaligus eksistensi suatu etnik.

Sebagai masyarakat yang melek literasi budaya, tentu hal ini harus menjadi pemikiran bersama, jika tidak ingin Sunda hanya tinggal sebuah nama nantinya!

Bagi sebagian orang, mungkin nama tidaklah begitu berarti, what is in a name? Namun, harus diingat bahwa nama menjadi bagian penting dalam rentang kehidupan seorang manusia untuk mengidentifikasi dirinya.

Nama merupakan properti (Rais dkk., 2008) yang pertama kali diberikan oleh orang tua dan melekat terus sepanjang hayat.

Bahkan, sampai meninggal pun nama tidak akan hilang. Orang yang banyak jasanya akan terus dikenang dan disebut-sebut namanya.

Konvensi budaya yang linguistis

Pemberian nama orang merupakan peristiwa budaya yang universal. Setiap masyarakat memiliki konvensinya.

Masyarakat Baduy menempuh tiga cara. Pertama, upaya melalui impian seorang sesepuh yang biasa dimintai pertolongan untuk memberi nama.

Jika tidak kunjung mendapat pituduh ‘petunjuk’, sesepuh akan menyiapkan beberapa nama alternatif.

Kedua, pemberian nama dilakukan dengan menyesuaikan hari kelahiran, misalnya jika lahirnya hari Rabu, si bayi akan diberi nama Rebo.

Ketiga, pertimbangan linguistis dilakukan dengan mengambil sebagian nama dari orangtuanya.

Anak perempuan akan mengambil dari nama ayahnya, sedangkan anak laki-laki dari ibunya. Bagian nama yang diambil itu biasanya suku kata awal.

Misalnya, anak perempuan yang bernama Arsunah, Calinah, Sani memiliki hubungan dengan suku awal nama ayahnya, Ardi, Caiwin, Sadi.

Begitu pula dengan nama anak laki-laki, Caikin, Sarda, Taki diambil dari suku awal nama ibunya, Caiah, Sarti, Taci. Intinya, harus ada keterkaitan walaupun hanya satu huruf.

Pemberian nama anak pertama ini menentukan panggilan kepada orangtuanya, yaitu dengan menambahkan ayah dan ambu di depan nama si anak (Ayah Sani, Ambu Sani).

Panggilan baru ini akan terus digunakan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan sampai ada orangtua yang lupa pada nama aslinya sendiri.

Lihat Foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES
Orang Baduy dalam berpose dengan koleksi gelangnya di desa Gajeboh, Desa Kanekes, Lebak, Banten, Rabu (2/3/2016). Orang Baduy hari-hari ini sudah mulai tersentuh modernitas dan mengalami perubahan baik dari cara berpakaian hingga memiliki barang-barang modern.
Bersifat sakral

Nama yang diberikan kepada seorang anak bukanlah asal-asalan, melainkan hasil “kontemplasi” selama tiga hari tiga malam.

Oleh karena itu, pemberian nama bagi masyarakat Baduy merupakan peristiwa yang sakral karena melewati beberapa tahapan ritual.

Pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi (tujuhna), orangtua mendatangi sesepuh untuk meminta nama yang cocok sambil menyerahkan seupaheun berupa daun sirih, pinang, dan gambir yang diletakkan di tengah kain putih persegi empat, lalu dilipat berbentuk tas jinjing supaya bisa digendong.

Setelah mendapat petunjuk dari karuhun, ketika si orangtua bayi datang lagi, sesepuh menyampaikan nama yang diperoleh dari impiannya tersebut.

Baca juga: Mengenal Mata Pencaharian Warga Baduy di Pedalaman Banten

Selanjutnya, setelah bayi mendapatkan nama, ritual peureuhan ‘selamatan pemberian nama’ pun dilaksanakan dengan mengundang para kerabat dan tetangga.

Pada acara peureuhan ini, hal yang wajib ada adalah seupaheun tadi, yang ditaruh di atas bokor untuk disajikan dan dimakan bersama oleh para tetua kampung.

Setelah acara pokok selesai (makan sirih), selanjutnya tetamu menyantap hidangan. Acara peureuhan ini cukup meriah karena dihadiri pula oleh pemuda-pemudi.

Bernilai filosofis

Adakalanya juga nama yang diberikan tidak cocok. Misalnya, si bayi cecegékan, yaitu sering menangis, sering cedera, sakit-sakitan, bahkan meninggal dunia.

Untuk mengatasinya dilakukan cara seolah-olah bayi itu “dibuang” ke paraji (dukun beranak) untuk di-pulung ‘diambil, dipungut’.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di Baduy banyak orang yang bernama Pulung. Bahkan, lebih ekstrem lagi ada orang yang bernama Runtah atau Cudih ‘sampah’.

Hal ini tentu saja menyangkut kepercayaan masyarakat Baduy sebagai upaya menghindarkan “gangguan” pada si bayi.

Pengambilan sebagian nama pada anak dari orangtua dan pemberian silang secara jenis kelamin anak ini pun tidak terlepas dari unsur kepercayaan.

Konsepsinya, suku kata pertama ayah/ibu yang digunakan pada anak perempuan/laki-laki ini dapat diturunkan seutuhnya (Arbi--Arni), sebagian atau berubah (Tardi--Talci), ataupun mengalami pelesapan (Karni--Arji).

Penggunaan suku kata pertama ayah yang diturunkan pada anak perempuan, begitu pula sebaliknya ibu pada anak laki-laki, pada prinsipnya mengandung nilai filosofis bahwa ayahlah yang harus melindungi anak perempuannya dan anak laki-lakilah yang harus melindungi ibunya.

*Cece Sobarna, Guru Besar linguistik Universitas Padjadjaran dan anggota Masyarakat Linguistik Indonesia

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi