Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Menyambut Tantangan Masa Depan dengan Kepemimpinan Pancasila

Baca di App
Lihat Foto
Jirsak
Ilustrasi kepemimpinan
Editor: Egidius Patnistik

SEWAKTU Bung Hatta dan Bung Karno bekerja sama dengan pihak Jepang, tujuan mereka hanyalah satu: untuk kepentingan rakyat Indonesia. Begitu pula dengan tokoh bangsa lainnya. Mereka bertindak semata-mata karena kepentingan rakyat, bukan golongan. Dengan sistem pemikiran tersebut, para tokoh bangsa menjadi individu yang sangat gigih dalam berjuang, karena apa yang diperjuangkan jauh lebih besar dari sekadar kepentingan individu, yakni untuk kepentingan Indonesia.

Hal itu tampak, misalnya, ketika berhadapan isi Piagam Jakarta. Dalam rumusan Piagam Jakarta, sila pertama Pancasila berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kemudian, dengan segala perdebatan yang konstruktif, alhasil, sila pertama berubah bunyinya menjadi, "Ketuhanan yang Maha Esa." Para tokoh bangsa menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang beragam agama dan kepercayaannya, sehingga harus merangkul semuanya tanpa terkecuali.

Baca juga: Cerita di Balik Kelahiran Pancasila dan 3 Tokoh yang Merumuskannya

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia memberikan kita pelajaran penting tentang makna kepemimpinan. Bung Hatta, Bung Karno, Sutan Syahrir, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Natsir, KH Wahid Hasyim, dan lain sebagainya, memiliki jiwa besar, arif, dan menyadari sepenuhnya tentang kekuatan bangsa Indonesia.

Di atas itu semua, walaupun para tokoh bangsa berbeda pemikirannya, tetapi mereka tetap memiliki visi yang sama, yaitu mengantarkan Indonesia ke pintu kemerdekaan dan meletakkan fondasi penting bagi generasi selanjutnya. Mereka memimpin dengan contoh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa kepemimpinan Pancasila penting

Dari sedikit latar belakang sejarah itu, kita telah bisa menyimpulkan betapa pentingnya kepemimpinan Pancasila sebagai landasan dalam praktik memimpin. Para tokoh bangsa telah mengajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang dapat menjadi bahan pelajaran yang sangat kaya bagi pemimpin saat ini. Nilai-nilai luhur itu terwakilkan dalam bentuk Pancasila sebagai dasar negara kita.

Menurut Kariadi & Suprapto (2017), nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat. Ditambah pula, nilai dasar Pancasila tumbuh dari aspirasi yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dasar masyarakat yang adil dan makmur itu berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.

Konteks kepemimpinan Pancasila sangat penting karena Indonesia sedang dalam proses menuju 100 tahun kemerdekaan. Banyak hal telah terjadi di dalam negeri kita, yang telah menjadikan kita sebagai negara tangguh. Pencapaian kita juga sangat banyak, baik dalam segi politik maupun ekonomi. Yang paling terbaru, tidak ada negara berkembang yang memimpin negara maju kecuali Indonesia. Kita menjadi pemimpin dalam kelompok negara-negara terkaya di dunia, yaitu G20.

Semangat kepemimpinan Indonesia di G20 juga merepresentasikan nilai kepemimpinan Pancasila. Dengan mengusung tema, Recover Together, Recover Stronger, Indonesia ingin menyampaikan pesan bahwa dunia bisa pulih dari pandemi jika kita bergotong royong, saling membantu satu sama lain.

Tema ini menunjukkan esensi dari kepemimpinan Pancasila, yang mengutamakan kerja-kerja kolaboratif. Selain itu, jika mempertimbangkan masalah yang dihadapi dunia sekarang, masalah tersebut tidak bisa kita hadapi sendiri, mulai dari perubahan iklim hingga kohesivitas sosial. Penyelesaian masalah tersebut membutuhkan pemimpin yang mampu menggerakkan orang banyak untuk bergotong royong.

Oleh karena itu, mempraktikkan kepemimpinan Pancasila menjadi semakin relevan. Cita-cita para tokoh bangsa dan kita semua warga negara Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di dunia, baik dari segi ekonomi, politik, maupun teknologi. Ditambah lagi, banyak prediksi positif yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu dari 10 negara terbesar di dunia – bahkan ada di lima besar – negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Pemimpin saat ini, menurut saya, mewarisi semangat para tokoh bangsa dan merepresentasikan kepemimpinan Pancasila. Mereka berjuang di setiap sektor. Ada yang dari akar rumput, tingkat dewan rakyat, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain. Pemimpin saat ini membangun Indonesia dari pinggir. Terlebih, para tokoh bangsa memiliki aspirasi menjadikan Indonesia gemah ripah loh jinawi.

Ungkapan gemah ripah loh jinawi berasal dari Kerajaan Majapahit. Ungkapan ini secara garis besar menggambarkan kondisi Kerajaan Majapahit yang kaya akan sumber daya alam dan masyarakatnya makmur dan sejahtera. Kita ketahui bahwa Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang besar dan kuat. Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Nusantara dengan cara politik, militer, dan budaya.

Kemudian, para tokoh bangsa kita melanjutkan semangat tersebut, yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Mengutip SD Darmono dalam bukunya, "Bringing Civilizations Together: Nusantara di Simpang Jalan," peradaban dibentuk berdasarkan imajinasi tentang masa depan dan ruang. Dengan kata lain, peradaban atau negara dibentuk oleh visi seorang pemimpinnya. Visi tersebut berperan sebagai bintang penunjuk untuk melakukan kerja pembangunan nyata bagi lingkungan sekitar. Merealisasikan visi membutuhkan komitmen yang kuat.

Baca juga: Kepemimpinan Inklusif

Studi dari McKinsey di tahun 2018 menemukan bahwa ada 16 persen perusahaan yang berkomitmen melakukan transformasi digital jangka panjang melaporkan peningkatan performa yang berkelanjutan. Dari persentase ini, masih belum banyak pemimpin yang komitmen melaksanakan visinya. Namun, ada satu kasus menarik, dari perusahaan, di mana komitmen mewujudkan visi membawanya menuju kesuksesan.

Perusahaan Adobe, sebuah perusahaan software multinasional Amerika, memiliki pendapatan sebesar 4 miliar dollar. Kemudian, mereka memutuskan merubah model bisnisnya dari lisensi ke cloud-based subscription pada tahun 2013. Awalnya, mereka sempat mengalami penurunan pendapatan di tahun 2014 dan stagnan di tahun berikutnya. Namun, berkat komitmen CEO Shantanu Narayen dan jajarannya, mereka berhasil meningkatkan pendapatan: 6 miliar dollar di tahun 2016 dan 14 miliar dollar di tahun 2022. Selain itu, 80 persen pemasukannya berasal dari sistem berlangganan dan sumber lainnya.

Merefleksikan kisah perjalanan Adobe ke konteks Indonesia, 76 tahun sejak berdirinya Indonesia, kita punya banyak pencapaian, yang membuat kita selangkah lebih dekat menuju masyarakat adil dan makmur. Soal kemiskinan, misalnya. Dalam kurun waktu 1998 - 2020, menurut data BPS, angka kemiskinan menurun dari 24,2 persen menjadi 9,78 persen. Pembangunan Indonesia juga semakin merata. Rasio elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 99,52 persen di triwulan pertama  2022 dan Kementerian ESDM berkomitmen tahun 2022 akan mencapai 100 persen elektrifikasi. Inilah yang menjadi alasan mengapa kepemimpinan Pancasila penting untuk menjadi landasan dalam memimpin.

Lihat Foto
freepik.com
Ilustrasi Pancasila
Elemen kepemimpinan Pancasila

Deliar Noer, penulis buku Biografi Politik: Mohammad Hatta & Orde Baru, menyinggung tentang definisi pemimpin versi Bung Hatta. Ketika terlibat dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), Bung Hatta menilai bahwa ada dua macam pemimpin. Pertama adalah mereka yang hanya pandai menyuruh, sehingga setiap tanggung jawab dirasa anggotanya menjadi beban. Anggota tidak gembira dalam melaksanakan pekerjaannya. Kedua, pemimpin yang berhasil menggerakkan hati rakyat, di mana anggota yang memiliki jiwa berbakti kepada bangsa merasa lebih ringan dalam melaksanakan pekerjaannya.

Dari sini, elemen pertama dari kepemimpinan Pancasila adalah hubungan pemimpin dan anggota yang kuat. Bung Hatta pada saat itu memang berbicara dalam konteks keterlibatannya dalam organisasi PUTERA. Tetapi, jika dikaitkan dalam situasi saat ini, apa yang dikatakan Bung Hatta memiliki makna yang dalam dan kontekstual.

Ada hubungan yang kuat antara pemimpin dan anggota. Apabila anggota tidak merasakan suatu pekerjaan sebagai beban, pemimpin berhasil membangun hubungan yang baik dan memiliki kedekatan emosional, yang membuat anggota melaksanakan pekerjaan dengan semangat yang tinggi.

Penelitian dari Muterera, et al (2018) juga menyinggung soal ini. Mereka meneliti hubungan pemimpin transformasional dan follower terhadap kepuasan kerja dan performa organisasi. Hasil penelitian mereka menunjukkan, dari sudut pandang follower, pemimpin transformasional membuat anggota merasakan kepuasan kerja.

Survei Achievers tahun 2020 menyebutkan, seorang pemimpin harus mengapresiasi kinerja karyawan, di mana 35 persen karyawan menganggap penting untuk mendapatkan pengakuan dari atasan mereka. Hubungan keduanya bersifat mutualisme. Berarti, dari perspektif kepemimpinan Pancasila, hubungan antara anggota dan pemimpin sangat penting. Keharmonisan antara pemimpin dan anggota dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Oleh sebab itulah Indonesia bisa merdeka. Kemerdekaan tidak akan bisa diraih jika tidak ada keterikatan antara pemimpin dan anggotanya. Keduanya saling mendukung dan menguatkan.

Kepemimpinan berbasis etika dan akhlak-moral menjadi elemen kedua dari kepemimpinan Pancasila. Fondasi yang juga sangat penting bahwa pemimpin harus berasaskan pada etika dan akhlak-moral. SD Darmono mengatakan hal yang sangat menarik. Dia mengatakan, "Tanpa etika dan akhlak-moral, peradaban tidak akan berdiri kokoh."

Pernyataan ini memang benar dan para tokoh bangsa menyadari hal itu. Pemimpin adalah role model dan oleh karenanya, mereka harus memiliki landasan etika dan akhlak-moral yang sangat kuat. Mereka telah menunjukkan bahwa tanpa etika dan akhlak-moral, Indonesia tidak akan bisa meraih kemerdekaan.

Etika dan akhlak-moral kemudian tercermin dalam attitude manusia. Tanpa adanya attitude yang baik, seseorang tidak akan meraih kesuksesan apapun. Karena itu, hal pertama yang perlu kita perkuat adalah attitude kita. Attitude tercermin dari dalam diri, kemudian menunjukkannya kepada orang lain.

Misalnya saja bagaimana seorang pemimpin memperlakukan anggotanya: menyemangati mereka dan memberikan dorongan yang dibutuhkan agar anggota dapat berkontribusi maksimal. Dampaknya sangat besar ketika pemimpin menunjukkan attitude yang suportif, mengayomi, mengasihi, serta membangun budaya yang positif dan konstruktif.

Survei OCTanner tahun 2021 memberitahu kita bahwa anggota akan berkurang tingkat burnout-nya sebesar 57 persen ketika pemimpinnya mampu menghubungkan kerja mereka dengan tujuan dan pencapaian organisasi. Tahun 2017, Gallup menemukan bahwa pemimpin yang membangun budaya positif dapat meningkatkan produktivitas (17 persen), mengurangi tingkat resign (41 persen), menurunkan tingkat ketidakhadiran (41 persen), meningkatkan penjualan (20 persen), dan meningkatkan tingkat layanan pelanggan (10 persen).

Contoh lain yang menunjukkan attitude seorang pemimpin tercermin ketika menjelang proklamasi kemerdekaan, rakyat sangat antusias menjelang detik-detik proklamasi. Dalam autobiografi "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat," sangat terlihat jelas bahwa banyak rakyat mengunjungi kediaman Bung Karno, berusaha melindungi sekaligus mendengarkan pidato kebebasan Indonesia dari cengkeraman pihak penjajah.

Padahal pada saat itu Bung Karno sedang mengidap malaria. Namun, karena Bung Karno memiliki sikap pantang menyerah, sekaligus sadar bahwa dia memikul tanggung jawab yang maha besar, Bung Karno menguatkan hati dan tekad untuk memproklamirkan kemerdekaan bersama Bung Hatta. Bung Karno menunjukkan kegigihan yang tinggi.

Kepemimpinan Pancasila menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman. Peradaban tidak hanya mempersoalkan bagaimana caranya memakmurkan masyarakat, tetapi bagaimana menciptakan masyarakat yang madani. Menerima dan merangkul keberagaman menjadi syarat penting untuk menciptakan masyarakat madani. Apabila kita bicara keberagaman, ada pernyataan dari Bung Karno di tahun 1926 ketika menggaungkan nilai nasionalisme. Penulis mengutipnya dari buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. "Kita membutuhkan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan sepanjang hidup kita. Mari kita lepaskan gelar-gelar."

Hal ini mempunyai dua makna penting yang berkaitan dengan kekuatan kepemimpinan Pancasila. Pertama, terlepas apapun suku, etnis, ras, agama, dan lain-lain, semua punya hak untuk hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak. Artinya, kepemimpinan Pancasila menghendaki masyarakat majemuk yang inklusif dan adil.

Pada saat ini, keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusivitas (DEI) menjadi isu yang ditanggapi serius oleh perusahaan, organisasi, dan komunitas. Kita ambil contoh perusahaan. Menurut Culture Amp 2022, sebanyak 85 persen organisasi sedang membangun budaya DEI. Sebanyak 81 persen organisasi berpikir menerapkan budaya DEI akan menguntungkan perusahaan.

McKinsey dalam studinya tahun 2020 menemukan bahwa perusahaan yang menerapkan keragaman etnis dan budaya di tingkat eksekutif mereka, 36 persen akan mengalami kenaikan profit. Laporan dari ILO tahun 2022 menemukan bahwa ketika kebijakan tentang keberagaman dan inklusivitas terimplementasikan, 26 persen anggota akan lebih percaya jika keputusan promosi akan transparan dan akuntabel.

Data di atas menunjukkan kekuatan dari keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas. Kita kembali lagi ke konteks Indonesia, Indonesia memang negara yang kaya akan ras, suku, etnis, dan agama, serta antar golongan. Menurut data BPS tahun 2010, ada 1.331 kelompok suku  di Indonesia. Jumlah ini merupakan sebuah kekayaan karena masing-masing suku pasti punya nilai dan norma yang beragam. Keberagaman ini bisa menjadi senjata yang kuat untuk menyongsong masa depan.

Sampai saat ini, Indonesia bisa menjadi sebuah negara yang solid karena keberagamannya. Di atas itu semua, perlahan tapi pasti, visi para tokoh bangsa akhirnya terwujud. Memang, tidak mudah mengurusi negara besar dengan ratusan juta penduduk dan berbagai karakteristik daerahnya. Akan tetapi, pemimpin saat ini terbilang sukses membangun Indonesia. Membangun dari pinggiran, memeratakan kesempatan, dan memakmurkan masyarakat. Namun, perjalanan masih panjang.

Pancasila adalah hasil penggalian nilai bangsa. Ia menjadi panduan kita dalam bersikap dan berbuat. Kepemimpinan Pancasila merupakan kepemimpinan yang kontekstual dan menjiwai semangat Indonesia. Para tokoh bangsa serta para pemimpin generasi terdahulu telah berjuang membangun Indonesia sesuai kapasitas dan kekuatannya. Mereka telah meletakkan fondasi dan norma yang kokoh untuk dijadikan rujukan dalam bernegara.

Elemen terakhir dari kepemimpinan Pancasila adalah gotong royong. Dari ke semua nilai Pancasila, dengan mempertimbangkan aspek keberagamannya, Pancasila merupakan representasi dari nilai gotong royong. Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud-ristek, Hilmar Farid, dikutip dari Good News from Indonesia, mengingat betul apa yang disampaikan Bung Karno tentang Pancasila. “Saya tidak menciptakan Pancasila, saya menggali arti tentang gotong royong.’’

Artinya, Pancasila secara esensi adalah gotong royong. Arti gotong royong memang mirip dengan kerja sama atau kolaborasi. Namun, gotong royong berlandaskan pada keikhlasan dan dampaknya menimbulkan solidaritas di antara masyarakat yang terlibat. Masyarakat kita pun sadar bahwa nilai gotong royong menjadi inti nilai dari masyarakat. Berdasarkan survei dari Nenilai di tahun 2020, sebuah inisiatif untuk menggali nilai-nilai bangsa Indonesia, gotong royong menjadi nilai yang hidup di masyarakat kita, dengan 19.734 responden.

Nilai gotong royong telah terbukti menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai tantangan. Misalnya peristiwa tsunami Aceh, lalu gempa di Palu-Donggala, dan masih banyak lagi. Yang terbaru adalah di saat pandemi. Banyak orang saling tolong-menolong, memberikan makanan, masker, uang, hand sanitizer, alat kesehatan, dan lain-lain. Indahnya, gotong royong tersebut dilakukan oleh semua entitas: perusahaan, organisasi, komunitas, pemerintah, dan individual. Mereka melakukannya atas dasar kemanusiaan dan ingin memastikan rakyat Indonesia bisa bertahan dari situasi yang mencekam.

Tantangan kepemimpinan Pancasila

Tentu saja kepemimpinan Pancasila memiliki tantangan-tantangan yang harus kita selesaikan bersama. Akan tetapi, dua fakta ini menunjukkan bahwa Pancasila memang sudah ajeg dan tidak bisa diganggu gugat.

Survei dari SMRC tahun 2021 tentang sikap terhadap Pancasila menunjukkan bahwa 82 persen  masyarakat menganggap Pancasila adalah rumusan terbaik yang pernah dibuat dan tidak boleh diubah atas dasar apapun. Selain itu, 77 persen juga mengakui bahwa pemerintah tidak boleh dijalankan atas dasar ajaran satu agama saja, melainkan menurut kesamaan di antara berbagai agama yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.

Namun, permasalahannya lebih ke tatanan praktis, sikap bermasyarakat. Survei dari Wahid Institute tahun 2020 menunjukkan, tingkat intoleransi di masyarakat meningkat dari 47 persen menjadi 54 persen.

Satu tahun sebelumnya, yakni di tahun 2019, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan banyak hal terkait sikap intoleransi di masyarakat. Pertama, 37,2 persen responden muslim setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan atau kehendak agama mayoritas. Kedua 67,4 persen responden muslim setuju/sangat setuju pemerintah mengutamakan agama Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara. Dasar argumennya adalah Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia.

Ketiga, sebanyak 53 persen muslim keberatan apabila warga dari agama selain Islam membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya.

Intoleransi yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi kepemimpinan Pancasila. Terlebih, kepemimpinan Pancasila mengedepankan keberagaman, yang membuat masalah ini berlawanan dengan elemen kepemimpinan Pancasila. Oleh karena itu, intoleransi menjadi concern bersama dan setiap pemimpin lintas sektor perlu mempromosikan nilai toleransi dan keberagaman agar isu ini tidak lagi ada di masyarakat.

Selain masalah intoleransi, isu lainnya adalah Pancasila belum menjadi state of the art dalam bermasyarakat. Menurut survei dari Media Survei Nasional (Median) tahun 2021, sebanyak 49 persen responden menyatakan Pancasila masih belum dipraktikkan secara baik dan benar. Sedangkan yang menganggap sudah diterapkan dengan baik dan benar hanya 44,6 persen. Indikator yang menunjukkan bahwa Pancasila masih belum diterapkan dengan baik dan benar antara lain korupsi yang semakin membesar (25 persen ) dan masalah kesenjangan ekonomi (15,4 persen).

Penerapan nilai Pancasila juga belum terlihat di ranah digital. Ini divalidasi dengan Digital Civility Index (DCI) yang dikeluarkan Microsoft. Tahun 2021, skor DCI Indonesia ada di angka 76, menempati peringkat terendah di antara negara-negara Asia Tenggara. Orang dewasa menjadi kontributor terbesar bagi memburuknya skor DCI Indonesia, yakni 83 persen. Remaja menjadi kontributor kedua terbesar dengan mencapai angka 68 prsen.

Apabila dipetakan lebih detail, ada beberapa hal yang memengaruhi risiko kesopanan digital di Indonesia. Resiko paling besar dipengaruhi oleh hoaks dan penipuan dengan 47 persen, ujaran kebencian dengan 27 persen, dan diskriminasi dengan 13 persen.

Hasil riset di atas sedikit banyaknya menunjukkan bahwa kepemimpinan Pancasila akan mendapatkan tantangan yang cukup menantang. Tantangannya tidak lagi hanya ada di dunia nyata semata, melainkan di dunia maya. Dua dunia itu, dunia nyata dan maya, membutuhkan pendekatan penyelesaian yang berbeda, karena cara hidup dan beraktivitasnya juga berbeda.

Namun, di sisi lain, ini menjadi peluang untuk mendemonstrasikan nilai-nilai Pancasila di dunia nyata dan maya. Pemimpin Pancasila perlu merumuskan langkah-langkah agar masyarakat bisa mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dengan lebih holistik. Oleh karena itu, kepemimpinan Pancasila menjadi semakin relevan di abad ini.

Kenapa kepemimpinan Pancasila relevan

Dari sejarah dan semua masalah yang terjadi di masyarakat kita hari ini, kepemimpinan Pancasila menjadi semakin relevan. Kepemimpinan Pancasila mempelajari bagaimana sejarah bangsa yang kental akan praktik gotong royong dari para tokoh bangsa. Dalam hal nilai praktiknya, kepemimpinan Pancasila dengan kata lain memiliki dimensi etika, akhlak-moral, sifat tidak mementingkan diri sendiri, dan berpendirian teguh. Kepemimpinan Pancasila memiliki hubungan leaders - followers yang sangat harmonis. Yang paling penting, kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan gotong royong atas dasar keikhlasan dan solidaritas.

Tantangan hari ini memang menjadi lebih kompleks dengan kehadiran teknologi yang berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat. Teknologi membuat masyarakat terekspos dengan berbagai nilai, ideologi, dan keyakinan yang berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan banyak hal. Akan tetapi, melihat kenyataan yang terjadi bahwa masyarakat Indonesia masih belum menerima keberagaman, menjadikan kepemimpinan Pancasila semakin relevan untuk dipraktikkan. Kepemimpinan Pancasila yang humanis, merangkul keberagaman, dan memiliki ikatan harmonis yang mengedepankan prinsip gotong royong, serta mempunyai visi yang jauh ke depan menjadi aset yang berharga untuk menyelesaikan problematika yang terjadi di ranah domestik maupun global.

Kabar baiknya adalah, saya melihat anak muda saat ini mewarisi semangat para tokoh bangsa kita. Banyak inisiatif yang mereka buat berdampak luas bagi masyarakat yang menjadi targetnya. Selain itu, mereka aktif dalam mempromosikan nilai-nilai baik Indonesia di kancah internasional. Terlebih lagi, anak muda yang saya lihat sangat merangkul keberagaman. Sikap dan kontribusi mereka yang menakjubkan membuat kita berharap sangat tinggi terhadap anak muda. Harapan itu harus diimbangi dengan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya untuk menempati posisi strategis di berbagai sektor.

Melihat fenomena sejarah, data, penulis merasa bahwa kepemimpinan yang berasaskan Pancasila ini harus dilestarikan bahkan diperkuat. Tantangan zaman akan semakin sulit ke depannya. Skalanya tidak hanya nasional, melainkan global. Perubahan iklim menjadi satu isu yang krusial untuk diselesaikan. Indonesia bisa berperan banyak di isu ini jika semua rakyat bergotong royong.

Dengan mengimplementasikan nilai-nilai dalam elemen kepemimpinan Pancasila, saya yakin kita dapat melewati berbagai tantangan dan problematika yang ada di depan. Kita sudah membuktikan itu, terutama ketika berbicara pandemi. Pandemi menunjukkan jati diri bangsa sebagai negara gotong royong, yang mengutamakan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan golongan.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menguatkan sikap gotong royong dalam diri kita dan memberikan aksi nyata sesuai kapasitas dan kekuatannya. Dengan cara gotong royonglah, kita bisa menjadi bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Mari kita berkarya untuk bangsa!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi