Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PNS dan Dosen Ilmu Komunikasi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Bergabung sejak: 17 Mei 2022

Pencinta dunia literasi

Mengapa dan Bagaimana Menulis Buku?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/ Have a nice day Photo
Ilustrasi menulis
Editor: Sandro Gatra

MARI kita merenung sejenak. Kita sampai dengan pendidikan seperti sekarang dengan bekal ilmu, dari mana ilmu itu kita dapatkan? Tentu dari sekolah dan perguruan tinggi.

Para guru dan dosen telah mendidik kita dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Mereka mememperoleh ilmu dari buku-buku yang dibaca dan kemudian mentransfernya kepada kita.

Kita pun memperlangkapi diri dengan ilmu pengetahuan dari buku-buku yang menjadi rujukan.

Kalau kita kemudian berprofesi seperti mereka – menjadi guru atau dosen, kita pun akhirnya meneruskan apa yang sudah kita pelajari kepada generasi berikutnya.

Mengapa menulis buku?

Sejak dulu hingga kini, kehadiran buku selalu berada di tempat yang strategis. Buku-buku itulah yang menjadi jembatan penghubung antargenerasi dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, dan kesusasteraan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini berlangsung sejak dulu dengan teknologi perbukuan yang semakin lama semakin bekembang. Kini, tak hanya ada buku cetak, buku elektronik (e-book) pun telah tersedia.

Apa artinya semua itu? Benar bahwa ilmu pengetahuan, kesusasteraan, dan teknologi telah dihadirkan dan diteruskan melalui sarana buku-buku. Buku sudah lama menjadi media transfer knowledge yang paling dikenal.

Kalau sejak dulu, para filsuf, para ahli, para sastrawan, menuangkan gagasan dan pengalaman hidupnya melalui buku, bagaimana dengan sekarang dan nanti?

Saya kira akan sama saja, buku akan terus berperan dalam mewadahi berbagai pemikiran dan meneruskannya dari generasi ke generasi dengan format yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Nah, bagi kaum terpelajar, apa yang disebutkan di atas adalah sebuah tantangan. Sudahkah masuk di jalur ilmu pengetahuan, kesusasteraan, dan teknologi seperti halnya dilakukan oleh banyak pendahulu kita.

Tidakkah kita tergerak untuk melanjutkan apa yang dilakukan oleh pengarang atau penulis terdahulu yang produktif berkarya dan sebagian besar dari karya mereka kita nikmati hingga sekarang?

Kaum terpelajar masa kini seyogianya menjawab tantangan ini dengan meneruskan dan membangun tradisi menulis buku.

Dengan menulis buku, maka kita sudah menjadi bagian dari mereka yang menjalankan amanat meneruskan budaya literasi yang sudah terbukti dari masa ke masa berperan demikian besar dalam kemajuan peradaban.

Oleh karena itu, ajakan untuk menulis buku mesti disambut oleh siapa pun yang berpotensi untuk itu, terutama kaum terpelajar Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Berkontribusilah untuk kemajuan dan kecerdasan anak bangsa melalui buku-buku yang ditulis dan diterbitkan. Isilah khasanah perbukuan nasional dengan karya-karya yang bermutu.

Bagaimana menulis buku?

Menulis buku tentu bukan pekerjaan yang mudah. Para penulis buku yang berpengalaman tentu sudah menjalani bagaimana suka-dukanya.

Diperlukan persyaratan tertentu untuk menjadi penulis buku. Misalnya, mesti mampu menguasai bahasa tulis dengan baik dan benar, mampu berpikir logis dan sistematis, memiliki tema tulisan yang benar-benar dikuasai, dan paham dengan teknik penulisan dan ikhwal penerbitan buku.

Memahami itu saja belum juga cukup. Yang berikutnya, diperlukan komitmen untuk menghasilkan buku. Ya, semacam tekad yang kuat untuk menulis buku.

Diperlukan juga konsistensi dalam prosesnya. Menulis buku tidak sekali jadi, sekali dikerjakan lantas selesai, melainkan butuh waktu yang panjang. Tanpa konsistensi, buku yang diidam-idamkan tidak akan pernah selesai.

Kita mungkin sering melihat ada sejumlah buku yang acapkali memiliki banyak halaman, lebih dari 150 halaman. Ada yang sampai 500 halaman, bahkan lebih.

Melihat banyak buku yang setebal itu, mungkin saja nyali kita yang tidak terbiasa menulis panjang menjadi ciut. Di dalam hati bertanya, bisa tidak ya menulis buku setebal itu? Sepertinya tidak bisa.

Lalu, terpikir lagi, banyak pengarang yang bisa menulis ratusan halaman buku. Bagaimana mereka melakukannya?

Tidakkah mereka merasa bosan dalam menjalani prosesnya, tidakkah mereka didera banyak kesibukan karena kebanyakan dari mereka adalah profesional yang sibuk?

Mengalokasikan waktu menulis

Kalau ditelusuri lebih jauh, sebetulnya menulis buku adalah masalah pengaturan waktu saja. Di samping dibutuhkan komitmen di awal dan konsistensi dalam pengerjaannya, pengaturan waktu menjadi bagian yang menentukan.

Penulis buku biasanya mengalokasikan waktunya sedemikian rupa sehingga selalu ada kesempatan baginya untuk menulis, betapa pun sibuknya. Kesibukan dengan berbagai kegiatan tidak menjadi alasan untuk tidak menulis.

Ia bisa mengalokasikan waktu menulis di sela-sela kesibukan yang mungkin saja sangat padat. Misalnya, ia memilih waktu menulis pada pukul 04.00 sampai pukul 06.00, sebelum mempersiapkan diri berangkat kerja.

Atau, dia mengalokasikan waktu malam hari sekitar pukul 21.00 – 23.00, saat orang lain bersiap-siap untuk tidur. Ia senantiasa berusaha untuk mentaati waktu yang ditetapkannya sendiri.

Kalau saja dia bisa menulis setiap hari sebanyak 3 halaman, maka dalam sebulan dia akan mampu menulis minimal 75 halaman. Itu pun setelah dikurangi Sabtu dan Minggu untuk istirahat.

Dengan 3 halaman per hari selama 25 hari, ia akan menghasilkan 75 halaman buku dalam sebulan.

Lalu, jika mau bukunya berketebalan 225 halaman, maka ia butuh waktu tiga bulan untuk menulis secara kontinu.

Dengan demikian, dalam waktu hanya 3 bulan, seorang penulis yang produktif sudah mampu menyelesaikan naskah bukunya sebelum disunting lagi dan dikirim kepada penerbit.

Melalui gambaran di atas, sebenarnya konsepnya sederhana saja. Menulis itu bagaikan menabung di tabungan berjangka.

Kita menabung secara rutin dan disiplin, tahu-tahu dalam waktu tertentu, saldo tabungan kita di bank menjadi banyak.

Misalnya, kita menabung sebanyak Rp 1,5 juta setiap bulan -- dalam perhitungan bunga bank yang bunga-berbunga, maka dalam 5 tahun kita sudah memiliki saldo sekitar Rp 100 juta.

Dalam menulis juga demikian. Kita menabung tulisan secara rutin, sedikit demi sedikit, lama-lama sudah banyak dan siap diterbitkan menjadi buku.

Oleh karena itu, tidak perlu berkecil hati ketika melihat para pengarang yang mampu menulis buku yang berketebalan ratusan halaman.

Mereka tidak menulis sekali jadi. Mereka menggunakan jurus menabung tulisan: sedikit demi sedikit lama-lama menjadi buku.

Yuk teruskan dan semarakkan budaya literasi dengan berkontribusi di dalamnya melalui penulisan buku.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi