Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution
Bergabung sejak: 17 Mei 2022

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Einstein Juga Manusia Biasa

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Albert Einstein.
Editor: Egidius Patnistik

SAYA yakin ada banyak orang seperti saya di negeri ini, yang sejarah hidupnya tak serapi susunan alis mata emak-emak sosialita. Terlahir sebagai anak seorang guru di kampung, tak melemahkan hasrat saya untuk memberontak dari segala sesuatu yang berbau kerapian dan keteraturan ala para guru. Mungkin itu kesalahan atau sekedar neccesary mistakes, alias kesalahan yang diperlukan.

Saya belajar merokok di umur yang relatif muda. Risikonya, saya diam-diam harus ikut bekerja di sawah orang untuk dapat upah agar bisa membeli rokok atau mengganti uang SPP yang terpakai karena kalau tidak diam-diam akan mendapatkan celetukan orang kampung, "Ih anak guru kok begitu." Ya, begitulah. Memberontak memang jarang yang gratis. Ya toh!

Saya pun ikut bolos sekolah via panjat pagar di belakang sekolahan di hari senin, menghindari upacara, lalu dikejar-kejar guru. Nilai-nilai rapor yang persis bukit barisan tak beraturan, banyak lembah dan bukit, sangat tidak tertip. Menjadi juara kelas di cawu pertama, merosot ke rangking 3 atau 4 di cawu dua, dan keluar dari lima besar di cawu ketiga. Lalu memulai lagi pola yang sama setelah naik kelas. Tren nilai yang sangat "keriting" tersebut menjauhkan saya dari kesempatan untuk mengisi formulir mahasiswa panggilan ke kampus-kampus negeri favorit.

Tren keriting itu pula yang mengharuskan saya untuk "berkelahi" secara nekat di pentas persaingan nasional, yang dulu bernama UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Saya cukup yakin kala itu, Tuhan tak terlalu membenci saya sehingga keikutsertaan di dalam "perkelahian masal nasional" itu berbuah hasil baik. Nama saya ikut mejeng di koran untuk salah satu perguruan tinggi yang cukup populer di Bandung di saat pengumuman hasil UMPTN di tahun itu.

Seiring waktu berlanjut, kejutan demi kejutan setelah kemurungan demi kemurungan yang berpola acak terus terjadi. Di banyak kesempatan, diberi peluang belajar ke banyak tempat dan lokasi di berbagai belahan dunia. Tetapi di banyak kesempatan pula, saya merenungi bahwa saya sebenarnya tidak mengetahui akan menjadi apa pada ujungnya semua itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi, pola yang demikian terpaksa saya biarkan saja berjalan bak air mengalir. Ternyata, pola yang sama terus terjaga dengan baik, layaknya hidup tukang gorengan dekat rumah saya, kadang laris dan sore sudah habis, kadang pula sepi sampai habis Isya belum juga beres. Begitulah hidup.

Namun sebagian hidup kawan-kawan seangkatan, yang iramanya terlalu "ngerock" seperti saya juga demikian. Ada yang sangat sukses, ada yang biasa-biasa saja. Begitu pula dengan yang super rapi irama hidupnya, layaknya lagu jazz yang akrab berselancar di telinga para orang kaya. Sebagian dari mereka ada yang terbilang sukses, tapi sebagian lagi rata-rata air saja.

Berhadapan dengan situasi demikian, sering kita dengar kata-kata bijak. Katanya, hidup seperti roda berputar. Kadang di bawah, kadang di atas. Karena itu, saat di bawah, jangan terlalu terpesona melihat ke atas. Saat di atas, jangan pernah lupa melihat ke bawah. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kepingan-kepingan pengalaman yang telah kita alami, baik pengalaman saat di bawah atau saat di atas.

Meminjam terminologi religius, ada hikmah yang bisa kita ambil dari setiap kejadian. Petiklah dan simpan di dalam perpustakaan hidup kita masing-masing. Tapi tidak perlu meresa minder dengan lika-liku hidup. Toh memang begitulah namanya kehidupan.

Einstein pernah gagal ujian

Perkara sukses atau tidak, relatif sifatnya, tergantung posisi memandang. Bahkan, setelah mendapati hasil penelitian tentang hidup Eisntein, saya pun jadi lega bahwa tidak hanya orang seperti saya yang berlika-liku jalan hidupnya.

Jadi, beberapa waktu lalu, Priceton University Press menggagas proyek Digital Einstein, dengan tujuan menyelami tahun-tahun Einstein sebelum ketenarannya. Materi yang dikumpulkan adalah materi-materi yang diseleksi secara hati-hati dan pencatatannya dilakukan selama 25 tahun terakhir.

"Einstein juga seorang manusia biasa," demikian hipotesis mereka setelah menggali kehidupan personal ilmuwan fisika yang sohor dengan Teori Relativitas itu, di luar kehebatan, keberuntungan, dan kebesaran namanya.

Baca juga: Mengenang Albert Einstein dan Perjalanan Hidupnya...

Beberapa catatan yang ditemukan di luar arsip utama juga menunjukkan kehidupan "manusiawi" Einstein. Misalnya, Einstein pernah gagal ujian. Walaupun terkenal dengan kecerdasan dan kegeniusannya, Albert Einstein ternyata pernah gagal dalam ujian. Pada usia 16 tahun, Einstein mengikuti ujian agar diterima di sebuah universitas. Dalam ujian tersebut Einstein gagal dan tidak diterima sebagai mahasiswa di sana.

Telisik demi telisik, ujian yang dilakukan saat itu menggunakan bahasa Prancis dan Einstein tidak menguasainya. Alangkah tidak beruntungnya.

Einstein tak diterima jadi dosen

Einstein juga pernah mengalami momen kehilangan pekerjaan yang diimpikannya. Tahun 1902, Einstein ditunjuk sebagai pemeriksa di sebuah kantor Hak Paten, Swiss, berdasarkan rekomendasi temannya. Konon, rekomendasi tersebut diberikan karena rasa iba orang tersebut kepada Einstein. Sebelumnya, Einstein ditolak saat melamar sebagai dosen.

Sejarawan New York University, Matt Stanley menjelaskan, penyebab kegagalan Einstein sebagai dosen sebagian besar karena kesalahan Einstein. "Ia bukan siswa yang hebat, ia pun tidak menghormati para profesornya dan banyak membolos kelas karena terlalu yakin bahwa ia akan lulus."

Hasil telusuran para sejarawan juga menemukan, Einstein suka mabuk. Dalam sebuah kartu pos tahun 1915 yang dikirimkan kepada temannya, Conrad Habicht, Einstein menulis, "Kami, celakanya, mabuk berat dan "tewas" di bawah meja."

"Einstein muda rupanya seorang bohemian, bukan sosok orang bijak seperti yang terpikirkan oleh kita saat ini," ungkap Stanley.

Sebagai catatan, Habicht diketahui sebagai salah satu pendiri Olympia Academy di Bern, klub minum-minum di mana orang berkumpul untuk berdebat filsafat dan sains.

Belakangan, Einstein menyebut bahwa klub itu memberikan dampak luar biasa pada kariernya.

Selanjutnya, sebagaimana kebanyakan tokoh dunia lainnya, Eisntein juga mengalami perceraian. Einstein menikah dengan salah satu rekan fisikawan, Mileva Maric, tahun 1903. Perkawinan tersebut penuh dengan dinamika dan berakhir tahun 1919, tahun di mana perjanjian Versailes ditandatangani. Isi perjanjian itu adalah Jerman mengakui kekalahan atas sekutu di Perang Dunia Pertama.

"Dalam lembar-lembar suratnya kita lihat Einstein muda sedikit pemberontak, dan tidak tahan godaan wanita," terang Stanley.

"Ia sempat menjalin beberapa hubungan romantis yang berakhir kurang baik, meski saya kira ia memetik sejumlah pelajaran di kemudian hari," tambah Stanley .

Kemudian Einstein menikahi sepupunya, Elsa, pada tahun yang sama dengan tahun perceraiannya dengan Maric. Namun, pernikahan kedua itu juga tidak berjalan mulus.

Kehidupan anak-anak Einstein juga berantakan. Einstein bahkan menyebut anaknya 'bajingan' dalam sebuah surat, walaupun layaknya orangtua lainnya, Einstein tentu amat menyayangi anak-anaknya.

Baca juga: Begini Kisah Unik di Balik Foto Ikonik Einstein Menjulurkan Lidahnya

Einstein selalu menulis surat dalam setiap kepergiannya kepada kedua anaknya, yaitu Hans Albert dan Eduard. Namun hidup Eduard berbalik tragis ketika dia didiagnosis mengidap skizofrenia di usia 20 tahun. Sementara Hans Albert, putra sulungnya, mengalami masalah keuangan. Seperti banyak ayah-ayah lain, Einstein menghadapi persoalan pula dengan anak-anaknya.

Einstein "melarikan diri"

Terakhir, Einstein juga melakukan perjalanan untuk "melarikan diri." Dalam setiap perjalanan yang dilakukan oleh sang genius, ada kisah di baliknya yang tidak banyak diketahui. Einstein pernah pergi bertualang jauh dari negaranya, ke Jepang. Kemudian diketahui bahwa perjalanan tersebut adalah tindakan untuk melewatkan upacara penganugerahan hadiah Nobel terhadap dirinya.

Sang ahli fisika itu dikabarkan juga mengakui bahwa pembunuhan Menlu Jerman, Walther Rathenau, oleh ekstremis sayap-kanan pada tahun itu, adalah salah satu alasand ia meninggalkan Jerman untuk sementara waktu. Einstein kemudian bahkan beremigrasi ke AS dari Eropa. Perjalanan ini dilakukan pada masa kekuasaan Hitler.

Einstein juga memilih negara AS sebagai tempat menghabiskan sisa hidupnya. Einstein meninggal dunia tahun 1955 di Princeton.

Ya begitulah hidup, tak mengecualikan Einstein sekalipun. Ada duka, ada suka, ada pahit, ada manis, dan ada-ada saja. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi