Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

"Anak Polah Bapa Keprada", Bapak bagi Minyak Anak Berharap Suara

Baca di App
Lihat Foto
Freepik/dashu83
Ayah memiliki peran penting dalam mengurus anak.
Editor: Egidius Patnistik

DRAMA penangkapan Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi, tersangka kasus dugaan pelecehan seksual santriwati di Pondok Pesantren Majma'al Bachroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur begitu mengharu biru. Betapa tidak, sejak dua tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka, Mas Bechi begitu “licin” bagai belut. Polisi begitu kerepotan dan kesulitan untuk menghadirkan Mas Bechi di kantor polisi untuk diperiksa, alih-alih menangkapnya.

Status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang disematkan polisi kepada Mas Bechi menjadi bukti seolah-olah tersangka pelecehan seksual tersebut betapa sulit untuk dicari apalagi dicokok, padahal jelas dan cethoh weleh-weleh Mas Bechi hidup nyaman di dalam lingkungan pondok pesantren. Upaya polisi untuk menangkap Mas Bechi berkali-kali gagal karena mendapat perlawanan dan pengawalan yang ketat dari para pengikutnya.

Sebelum ditangkap, polisi nyaris membekuknya dalam iringan-iringan puluhan kendaraan roda empat. Ada kendaraan yang menghalangi laju petugas bahkan berusaha menabraknya, sementara Mas Bechi tetap lolos.

Baca juga: Soal Pencabulan oleh Anak Kiai di Jombang, Aktivis Perempuan Diintimidasi, Kepala Dibenturkan ke Dinding, Ponsel Dirampas

Bahkan upaya penangkapan terakhir melibatkan ratusan personel kepolisian dari Polres Jombang yang didukung penuh jajaran dari Polda Jawa Timur. Mas Bechi berhasil ditangkap usai negosiasi yang alot antara polisi dengan ayahnya selama 15 jam.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesulitan polisi tentu saja karena didasari antisipasi petugas untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Warga pondok pesantren yang mencapai ratusan dan mudah dihasut oleh pengikut-pengikut Mas Bechi serta tentu saja sikap ayah Mas Bechi, yaitu KH Muhammad Muchtar Mukhti, yang selalu “menghalang-halangi” upaya polisi menegakkan hukum (Detik.com, 6/7/2022).

Andai saja Kyai Muchtar Mukhti bersikap kooperatif, mengedepankan kearifan sebagai orangtua sekaligus pendidik yang layak ditiru dan digugu serta paham hukum, tentu sedari awal tidak akan menghambat proses hukum berlangsung. Soal anggapan kasus yang menerpa putranya sebagai fitnah, biarlah hukum berproses sebagaimana mestinya.

 

Mas Bechi, diusianya yang sudah dewasa, bisa mempertanggungjawabkan ajaran metafisika yang pernah diajarkan ke santriwati sebagaimana pengakuan para korbannya.

Anak polah bapa kepradah adalah sebuah peribahasa dalam Bahasa Jawa. Kata polah bermakna tingkah laku, sedangkan kepradah adalah menanggung malu. Jika ke dua kata ini dirangkai menjadi kesatuan kalimat “anak polah bapa kepradah” hal itu mengandung makna seorang ayah menanggung malu karena perbuatan yang telah dilakukan anak kandungnya sendiri.

Tingkah pola dari seorang anak akan berimbas terhadap orangtuanya. Masyarakat Jawa memiliki prinsip hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal. Nilai-nilai luhur yang terus dipahami hingga sekarang seperti termaktub dalam kalimat bijak anak polah bapa kepradah berisikan petuah dan nasehat hidup dan kehidupan bahwa manusia harusnya menjalankan kehidupan dengan lebih baik. Tidak memperlakukan sesama anak manusia seperti budak, memaksakan kehendak di luar nalar kemanusian dan selalu mengatasnamakan Sang Pemilik Kehidupan untuk kepentingan pribadi yang melenceng.

Lihat Foto
Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan saat hadir dalam pasar minyak goreng murah di Kecamatan Telukbetung Timur, Kota Bandar Lampung, Lampung, Sabtu (9/7/2022).
Bapa bagi minyak goreng, anak berharap suara

Anak polah bapa kepradah menyiratkan dengan tegas bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anak maka orangtua akan terkena dampaknya. Tingkah laku seorang anak berdampak terhadap orangtua. Jika tingkah anak berkelakuan tidak baik maka orangtua akan terimbas tidak baik juga. Begitu juga sebaliknya, jika anak bertingkah laku terpuji dan membanggakan maka nama orangtua ikut tersanjung baik pula.

Saya jadi teringat dengan perjuangan Udin Sudrajat (61), seorang pengemudi angkutan kota jurusan Cicadas – Elang di Kota Bandung, Jawa Barat, yang berhasil mengantarkan putranya bernama Udin menjadi lulusan terbaik Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Gelombang I Tahun 2022 di Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN) Jawa Barat (Kompas.com, 9/7/2022).

Baca juga: PKB soal Zulhas Bagi-bagi Minyak Goreng Sambil Kampanye: Bikin Malu, Jangan Keterlaluan!

Dengan segala keterbatasannya, Udin meraih rangking pertama jasmani terbaik dan penghargaan Adhi Makayasa untuk tiga aspek penilaian yang mencakup mental kepribadian, akademik, serta jasmani. Tak pelak prestasi Udin berimbas kepada nama baik ayah bahkan keluarganya yang berasal dari masyarakat dengan kehidupan pas-pasan. Bapak dari polisi Udin kini bisa membusungkan dada bahwa sopir angkot pun bisa punya anak gagah yang berkiprah di kepolisian.

Sebaliknya dari Lampung kita belajar mengambil hikmah, seorang pejabat negara yang juga ketua umum sebuah  partai politik bisa juga bertindak; bapa polah anak kepradah. Tingkah laku yang dipertontonkan seorang bapak menteri yang seharusnya mengurusi tata niaga perdagangan, di antaranya persoalan minyak goreng yang tengah amburadul di pasar justru menggunakan “kewenangangannya” untuk kampanye politik anaknya.

Dalam acara PAN-sar Murah di Kecamatan Telukbetung Timur, Bandar Lampung, Lampung, Sabtu lalu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, membagikan gratis minyak goreng curah berlabel Minyakita. Tentu tidak ada minyak goreng yang gratis di acara partai, Zulkifli malah meminta warga yang datang agar tetap menyimpan uang yang sedianya untuk beli Minyakita asalkan nanti memilih putrinya Futri Zulya Savitri di pemilihan legeslatif mendatang.

Alih-alih menyosialisasikan cara mendapatkan minyak goreng curah seharga Rp 14 ribu per liter yang harus menggunakan aplikasi Peduli Lindungi, si Bapa Menteri menjanjikan acara bagi gratis minyak goreng curah akan dihelat secara rutin setiap dua bulan sekali asalkan Futri putrinya dipilih di pemilu nanti (Kompas.id, 12/7/ 2022).

Sekali lagi, bapa polah dengan membagikan minyak goreng gratis dengan melupakan jabatan pejabat negara yang disandangnya di acara partai politik dan untuk kepentingan keluarganya sangat tidak pantas dilakukan. Semua sudah mahfum, bapa polah membagikan “gretongan” minyah goreng tentu berharap anaknya mendapat suara di pemilu sama saja dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Di saat masyarakat kita membutuhkan kepastian ketersediaan minyak goreng murah di pasaran, apa yang dipertunjukkan Menteri Perdagangan itu dengan membagi-bagikan minyah goreng gratis di acara partainya dan untuk kepentingan anaknya sendiri, jauh dari kata “tidak pantas” dan tidak menjelaskan azas-azas good governance yang dijunjung tinggi.

Harus diakui, sifat atau karakter budi pekerti yang luhur semakin jauh dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern. Masyarakat kita yang dulu dikenal karena keramahtamaannya, di era higtech ini menjadi sangat berkurang bahkan ada yang sudah pupus sama sekali.

Elite-elite pejabat dan pemuka agama yang dulu patut diteladani, kini menjadi diragukan perbuatan dan omongannya. Menghujat dengan sarkas, korupsi uang dan korupsi jabatan secara terang-terangan, tidak bisa membedakan mana yang halal dan haram menjadi gambaran yang umum dilihat kawula muda.

Lihat Foto
KOMPAS.COM/MOH. SYAFIÍ
Petugas gabungan dari Polda Jatim dan Polres Jombang melakukan upaya jemput paksa terhadap MSA, tersangka kasus pencabulan, Kamis (7/7/2022)
Revitaliasi "Anak polah bapa keprada"

Makna yang terkandung dalam peribahasa anak polah bapa kepradah begitu sarat dengan nilai-nilai yang luhur sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang Pancasilais. Anak polah bapa keparadah mengingatkan kita semua akan tugas sebagai orangtua untuk memberikan warisan moral, ajaran dan ujaran, pendidikan serta tingkah laku yang pantas dan baik bagi kehidupan.

Bukan harta yang berlimpah yang menjadi jaminan keberhasilan anak-anak sang pewaris kehidupan tetapi budi pekerti yang baik yang akan menjadikan mereka di kelak kemudian. Saya jadi teringat dengan kisah nyata seorang anak panggede yang dibesarkan dengan gelimang harta dan kekuasaan yang otoriter yang dimiliki sang bapak. Semua keinginan sang anak dituruti oleh ayahnya sementara sang anak “menduplikasikan” cara ayahnya menggapai kekuasaan dengan mudah.

Anaknya ingin memonopoli perdagangan suatu komiditas, ayahnya pun memfasiltasi. Anaknya ingin punya pabrik kendaraan, sang bapak pun mengamininya.

Ketika ayahnya jatuh dari singgasana kekuasaan, sang anak pun masih berlagak kalau republik ini masih di bawah genggaman kekuasaannya. Banyak yang mengatakan bahwa buah “rontok” tidak jauh dari pohonnya. Tersirat makna dalam kalimat ini bahwa kebiasaan orangtua biasanya ter-copy paste kepada diri anaknya.

Jangan menyalahkan anaknya kalau bertingkah, karena bisa jadi orangtuanyalah yang mengajarinya secara tidak langsung atau langsung. Dengan demikian muara dan akhirnya menjadi terang benderang bahwa tingkah dari orangtua akan menjadikan anak juga berulah sama. Kita semua mendapat hikmah kebijaksanan bahwa dari pemuka agamapun kita tidak bisa menarik keteladanan ketika rasa sayang yang teramat “sayang” ternyata membutakan obyektifitas perilaku menyimpang sang putra.

Kita juga mendapat arti keteladanan bahwa “kemaruk” politik kerap membutakan akal dan menumpulkan nurani. Kita pun mendapat hikmah bahwa dari seorang menteri pun, kita ternyata tidak menemukan nilai-nilai perilaku yang patut dicontoh.

Justru dari seorang sopir angkot kita bisa meneladani perjuangan sebuah keluarga yang jauh dari berkecukupan dalam mendidik putra-putrinya.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya

Jika anak dibesarkan dengan kasih saying dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan(“Childre Learn What They Live” – Dorothy Law Nolte) 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi